Chapter 21

1299 Words
“Alan.” Suara asing yang menghentikan langkah gerangan. Sang pemilik nama pun lekas memutar badannya. “Eh, Bu Megan?” Karena yang berdiri di hadapannya adalah seorang wanita yang beberapa hari lalu Mr. Jazz angkat sebagai pimpinan tim AI dan Machine Learning jadi, sudah sepantasnya kan Alan memanggil dengan sebutan Bu. “Ada apa ya, Bu Megan?” tanya Alan. “Tidak perlu terlalu formal, kau bisa memanggilku seperti biasanya.” Namun, cepat-cepat Alan menggelengkan kepalanya. “Tidak masalah, Bu. Sekarang Anda kan leader kami,” katanya. Suasana pun berubah canggung. Namun, sepertinya hanya Alan yang beranggapan demikian. Sementara Megan, wanita itu tampak tenang biasa saja. Ya, seperti sebagaimana biasa tingkah robot, kaku. “Baiklah, terserah kau saja.” Megan mengeluarkan sebuah benda persegi panjang agak kecil dari dalam map biru yag ia bawa dan menyerahkannya kepada Alan. “Ini.” Yang membuat lelaki asli Indonesia tersebut tentu saja mengernyit bingung. “Ini apa ya, Bu?” tanyanya. “Tolong letakkan di atas meja di dalam ruanganku, aku harus menghadiri pertemuan penting sekarang. Bisa kan Alan?” “Oh iya, tentu saja, Bu. Saya letakkan di atas meja Anda.” Megan tersenyum tipis sembari mengucapkan terima kasihnya. “Baik, tolong ya Alan. Saya tinggal dulu,” ucap Megan sekali lagi sebelum benar-benar hengkang dari sana. Dan kembali Alan sahuti dengan anggukan dan persetujuannya. Siapa juga yang bisa menolak perintah atasan, kalau masih ingin bekerja. Huh ... Alan jadi teringat apa kata Ayahnya saat itu, “Pekerjaan yang paling mengasikkan itu adalah hobi yang dibayar. Dan pengusaha, karena sekecil apa pun usaha tersebut, tetap kitalah yang menjadi bosnya.” Itu adalah wejangan saat Alan masih duduk di bangku SMA dan bercita-cita menjadi pekerja kantoran yang sukses. Namun, ayahnya sela pada detik berikutnya. Dan sekarang Alan paham apa yang dikatakan ayahnya saat itu, fakta. Dan oleh sebab itu pulalah Alan ingin menjadi scientist yang meneliti benda-benda langit. Itu adalah kegemarannya, mana tahu suatu saat nanti bisa ikut NASA terbang ke luar angkasa kan? Wow! Mimpi yang masih tetap Alan damba-dambakan sampai pada hari ini. Tuk! Benda persegi panjang kecil yakni, fleshdisk yang Megan berikan padanya tadi untuk ditaruh di atas meja pun Alan laksanakan sesuai perintah. Bunyi tersebut berasal dari suara meja kayu dan bahan benda tersebut. Ruangan tim leadernya yang lama, kini menjadi ruang pribadi Megan. “Bu Megan.” Alan menggumamkan nama tersebut. “Kok kayaknya aneh ya memanggilnya dengan embel-embel Bu?” “Bu Megan,” kicau Alan. Bersamaan dengan racauannya, matanya tak sengaja menangkap sebuah laptop yang masih dalam keadaan menyala. Alan mendekat. Mana tau saja Bu Megan lupa mematikannya kan. Oleh sebab itu, Alan bermaksud baik untuk mengnonaktifkannya. “Memang ya, orang sibuk suka sekali melupakan hal-hal yang penting,” ocehnya sembari mulai menempelkan tangannya pada mouse. Namun, saat tak sengaja matanya justru menangkap isi layar tersebut di bagian pojoknya. Kegiatan Alan sontak terhenti seketika. Matanya bahkan nyaris keluar membaca sesuatu yang tertera di layar tersebut. “Ini?!” Sementara di luar sana, ada Megan dan Mr. Jazz yang menyunggingkan senyum puas. Menatap pada monitor di ruangan lain melalui kamera pengintai yang mereka pasang secara diam-diam. “Kerja bagus, Megan. Sekarang kita hanya perlu melangkah ke babak berikutnya,” ucap Mr. Jazz dengan tangan bersedekap. Ya, sesuai rencana mereka. Akankah bisa berjalan lancar jaya sebagaimana keinginan keduanya? Bumi, tidak hanya dihuni oleh manusia, tumbuhan, dan hewan. Tapi juga makhluk lain diantaranya, yang tak kasat mata, dan lain-lain. Termasuk juga Megan yang menjadi salah satunya. “Sekarang, lacak perangkat yang Andrew kerjakan. Dia hacker mahir jadi kemungkinan dirinya menyadari sistemnya ganda pun akan ketahuan. Minimalisir segala hal yang dapat terbaca.” “Baik, Sir.” “Ambil semua data-data proyek yang ia kerjakan baru-baru ini. Atau adanya data baru yang mencurigakan.” “Sistem inputnya lumayan sulit dan pria itu pandai mengatur strategi,” sambar Megan cepat. Terlihat dari matanya yang menyerupai pupil berputar 360 derajat dan sesekali mengeluarkan kilatan biru safir atau merah, yang berarti Megan telah mencari data proyek milik Andrew. Tidak sampai tiga menit, setelah Mr. Jazz mengatakan keinginannya, manusia setengah robot yang datang dari masa depan itu pun cepat menemukan beberapa file yang tuannya perintahkan. Tapi ... “Seluruh file dan perangkat yang terhubung dengan Andrew sudah terlacak, Sir. Sistem terkonfirmasi. Input dan search selesai.” Kalimat yang megan ucapkan dan membuat Mr. Jazz tersenyum puas. Pria setengahbaya itu menarik lengkungan kedua bibirnya selebar senyuman Joker. Jenis tawa yang mengerikan di mata beberapa orang yang paham jika melihat langsung. “Bagus, sekarang hubungkan dengan satelit milik kita. Konektifitas beberapa data harus kita hapus secepatnya atau Andrew akan menyadari seseorang sedang menggunakan perangkatnya.” “Baik, Sir.” *** Lelah, satu kata yang menggambarkan kondisi Alan saat ini. Benar-benar yang menjadi kesibukkannya hanyalah kerja,kerja, dan bekerja. Kemudian? “Belajar lagi,” gumamnya sembari mendatangi meja belajar dan meletakkan segelas minuman berkafein di sana. Melirik jam dinding sesaat, Alan baru menyadari kalau waktu sudah cukup malam. Sementara tugas kuliahnya masih banyak yang belum diselesaikan. “Ck, gara-gara ngikutin omongan si kadal nih pasti. Udah capek-capek dateng ke cafe biasa malah dianya gak ada!” omel Alan dengan raut wajah muram. Ya, sepulangnya bekerja sore tadi, Alan mendatangi tempat biasa mereka nongkronng sesuai yang Andrew katakan padanya di telefon tadi siang. Tapi ternyata, sampai hampir dua jam Alan menunggu Andrew tidak kunjung datang. Pun saat ia meneleponnya, nomor Andrew tidak aktif. “Awas aja kau kadal!” Dengan kesal, dan masih terlihat tidak terima, Alan mulai membuka buku-bukunya dan mencatat segala macam yang menjadi tugasnya. Tahu begitu, seharusnya Alan bisa pulang lebih awal dan bisa mengerjakan tugas kuliahnya lebih banyak kan? Tapi, karena mengikuti perkataan Andrew sementara orangya saja tidak ada di sana, Alan kesal maksimal. Tok tok! Terkesiap, Alan mendelik horror. Sejak kapan pintu kamarnya ada yang mengetuk? Tok tok! Sekali lagi, terdengar nyata bahkan sangat nyata. Siapa gerangan? Jujur, Alan sedikit takut. Lagi-lagi netranya berlari melihat anak jarum jam yang berhenti di angka sembilan lewat. Dia di rumah sendirian, dan biasanya makhluk halus memang suka muncul di jam-jam genting tengah malam atau meyambut malam seperti ini kan? Seketika Alan menjadi parno. Namun, ia tetap beranjak dari kursinya. Berdiri untuk menghampiri pintu kamarnya yang diketuk. Tak lupa mengambil sebuah kemoceng yang tergantung di dekat lemari pakaian. Sukur-sukur maling bukan hantu ataupun sejenisnya. Supaya bisa Alan pentung dan colok matanya pakai gagang bulu pembersih ini. Oke, abaikan. Itu hanyalah pikiran ngaco Alan saja. Ia menstimulasi pikirannya untuk tetap beranggapan yang baik-baik, agar tidak tiba-tiba merasa khawatir atau takut yang berlebihan. Tak! “Sekarang, buka pintunya pelan-pelan,” ucap Alan seolah memerintah. Matanya yang merah dan tatapan yang tajam, sedikit membuatnya kewalahan mengalahkan rasa takutnya. Oh bukan-bukan. Bukan takut tapi parno. Ya, seperti itu. Pikir Alan yakin. Ia enggan mengakui kalau ini adalah sebuah ketakutan. Ctek! Kunci pintunya sudah ia buka. “Satu ...” Alan pun mulai menghitung. Tak! Kriet ... “Hai George!” Deg! “Eh?” Dan disaat gagang kemoceng yang Alan pegang hampir melayang pada sosok di hadapannya, lelaki itu sudah terkejut lebih dulu. Refleks yang cepat saat keseimbangan kakinya tidak tepat sementara tangannya memegang handle pintu. Jadi, selamat. Ya, Alan tidak jatuh ke lantai. Tapi jantungnya seolah aktif kembali dan merasa lega luar biasa. “FUTURE!” Klik klik! Dret ... Namun, wanita di depannya hanya mengerjap biasa dan menatap Alan dengan raut datar. Tak ambil pusing dengan kepanikkan lelaki itu yang sempat membuatnya seperti orang dalam film hantu. “George, kenapa diam saja?” Lagi, suara Future terdengar. Maka di detik berikutnya, Alan menghembuskan napas panjang. Lega, leluasa, damai, dan tentram pula pikirannya. Huh ... dasar Alan. “Ya ampun, kenapa bisa lupa kalau di rumah ini sudah ada Future sih,” racaunya. Di sana, Alan mencak-mencak seperti penari yang melakukan gerakan break dance. Yeah, terserah sajalah Alan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD