Chapter 27

1159 Words
Cerah, sinar matahari unjuk diri memamerkan silaunya yang berkilau. Tak seperti pagi-pagi sebelumnya yang mendung ataupun berawan, hari ini langit terpantau terang benderang. Namun, berbeda dengan raut wajah Andrew yang terpantau mendung pagi ini. Kantung mata menghitam, pancaran mata yang redup saat memandang. Juga, senyum yang biasanya ia umbar sana-sini, pagi ini malah terlihat merengut. Sikap jail dan usilnya pun mendadak menguap begitu saja. Usai pertengkaran mereka tadi malam dengan Alan, keduanya sempat diam-diaman beberapa saat. Namun, ketika Andrew kembali setelah usai mencas Future, Alan membuka suaranya. Sejenis ungkapan maaf karena sikapnya yang menyebalkan. Alan juga mengatakan alasan mengapa ia menyuruh Andrew datang ke rumahnya tengah malam itu. Mengenai Future dan pertemuannya dengan sebangsa wanita itu. Itulah yang membuat Andrew tidak bisa tidur semalaman. Pasalnya, pertengkaran mereka yang sempat Andrew layangkan sebuah tonjokkan di wajah sang sobat tak berarti apa pun bagi keduanya. Mereka memang sempat saling lirik-melirik tajam, tapi hanya sebatas itu. Ketika Alan mendatanginya yang sedang rebahan di atas kasurnya dan menjelaskan mengenai Future. Andrew kembali seperti semula. Bahkan mereka langsung akrab kembali. “Jadi maksudmu, makhluk seperti Future ada dua di dunia ini?” tanya Andrew dengan wajah keras. Ekspresinya menggambarkan keterkejutan yang sangat. “Tidak hanya dua, mungkin saja lebih dari itu. Tapi untuk saat ini hanya Future dan orang itulah yang kita ketahui.” “Bagaimana bisa, Al?” “Kebetulan, di mini market komplek.” “Dan kau yakin pertemuan itu hanya sebuah kebetulan semata?” “Kenapa kau bertanya begitu?” “Tentu saja, makhluk yang seperti Future ini datang dari masa depan. Seribu tahun kemudian, dan mereka bukan hanya robot biasa tapi, lihatlah caranya bergerak dan bertingkah laku. Semua sempurna sebagaimana manusia pada umumnya.” Dengan kening mengkerut, Alan mencoba memahami penjelasan Andrew. “Lalu?” “Makhluk seperti mereka pasti memiliki misi terntentu datang ke bumi manusia. Walaupun ya ... aku juuga sempat ragu. Pasalnya seribu tahun itu bukanlah waktu yang sebentar, Al.” “Dan kira-kira apa yang terjadi dengan kita seribu tahun lagi?!” Alan mulai meracau. “Pasti tinggal fosil,” sambungnya berupa gumaman yang amat pelan. Begitulah kurang lebih percakapan mereka pada tengah malam yang menegangkan. Dan sekarang, di pagi hari yang indah nan cerah ini wajah tampan sekelas Andrew malah terlihat buram, kusut, lepek. “Huh ... kalau tahu paginya bakal banyak kelas seperti ini lebiih baik kutolak saja pertemuanku dengan Alan tadi malam. Kan masih ngantuk jadinya,” gerutu Andrew komat-kamit. Belum lagi beban pikiran yang ia tanggung juga semakin bertambah banyak. Tugas kuliah yang semuanya mepet deadline, beda dengan tugas kelompok dan segala macamnya. Lalu di kantor, karena usulan semprul Alan waktu itu mengenai terobosan AI terbaru, ia juga terkenan imbasnya. Kemudian, sketsa robotnya yang harus cepat ia selesaikan untuk percobaan pertama di laboratorium robotik di Singapura, bulan depan. Dan kini, ia terbebani dengan Future. Well, meski sebenarnya itu adalah masalah Alan tapi, bagaimana pun itu juga tetap menjadi masalah baginya. Karena memang seperti inilah definisi sahabat sebenarnya. Tidak hanya muncul disaat ladang bunga sedang semi, tapi juga senantiasa membersamai ketika daunnya berguguran. Ya, walaupun keduanya kadang bertingkah seperti Tom and Jerry. Yang lebih parah ya seperti tadi malam itu misalnya. Adu jotos. Jalan keluar satu-satunya bagi kaum adam. Huh ... “Andrew, buruan makannya. Ini dekan mau bertemu denganmu katanya.” Seorang lelaki menghampiri Andrew yang masih bersemayam di sana. “Loh, tiba-tiba, Dit?” “Gak tau juga, And. Yaudah ya.” “Oke, thanks ya Adit.” “Iya, And.” Setelah Adit hengkang, Andrew terlihat linglung untuk sejenak. “Dekan? Tumben-tumbenan,” monolognya. “Ck, malah belum dapet buku panduan yang pas untuk ngebobol sistemnya Future lagi. Atau telepon Alan saja ya?” Lelaki itu tampak berpikir beberapa saat. Kemudian mengeluarkan ponselnya dengan cepat. “Yaudahlah, gak ada cara lain. Resiko orang sibuk,” katanya. Iya, sibuk. Begitu-begitu Andrew juga orang sibuk ya. Jadi, jangan sepelekan. Namun, belum sempat Andrew mendial up kontak Alan, ponselnya sudah bunyi terlebih dahulu. Nama Clava tertera di sana. “Clava?” gumam Andrew. Tanpa pikir panjang, panggilan tersebut lekas Andrew angkat. Dan dengan cool-nya ia bertanya, “Ada apa?” Tanpa basa-basi terlebih dahulu. Benar-benar ciri khas Andrew sekali. Dan seorang Andrew memang seperti itu kan aslinya. Kalau tidak seperti bukan Andrew namanya. Di seberang sana, terdengar ringisan dari si gadis yang menelepon. Andrew sih kalem. Dia tahu menempatkan sikap dengan siapa ia berbicara. Targetnya mendekati Clava adalah untuk proyeknya bersama Alan mengenai Future. Tidak lebih. Dan mengapa Andrew enggan mendekati Clava dengan manis dan suka rayu-rayu seperti biasanya ia menggombali perempuan-perempuan lain. Itu karena Andrew tahu menempatkan diri. Kembali lagi ke pembahasan utama. Karena, biasanya perempuan-perempuan cerdas apalagi yang modelan Clava. Cantik plus dari keluarga terhormat. Mereka tidak akan luluh hanya dengan omongan-omongan tanpa modal. Jadi, dari pada Andrew capek-capek merayu dengan mengerahkan seluruh jurus andalan. Lebih baik ia menjadi Andrew yang sebenarnya. Mengutamakan image, cool, dan tertutup. Tetapi tidak kendor di prestasi. Thats the point! Bukankah para perempuan akan lebih terpesona dengan laki-laki yang seperti itu? “Iya, Kak.” Adalah jawaban Clava atas pertanyaan Andrew mengenai pertemuan mereka yang lagi-lagi harus diundur. Karena kesibukkan si gadis yang sangat mengesankan. Ya, Andrew saja kalah sibuk darinya. “Aku bisa malam ini, Kak. Pasti Kakak pikir ini sangat tiba-tiba kan? Tapi, aku betulan cuma bisa malam ini, Kak. Kakak gak papa kan? Gak lagi sibuk kan?” Diserbu pertanyaan seperti itu, mendadak Andrew merasa lucu. Ia membayangkan ekspresi wajah Clava yang sedang berharap-harap cemas. Meskipun baru mengenalnya tapi, Andrew bisa menebak bahwa gadis itu adalah tipikal yang polos. Pure. Terlihat jelas dari caranya berbicara dan berperilaku. Seperti saat ini misalnya, rasa kepedulian dan tanggung jawabnya juga bagus. Terbukti dari rasa sungkannya karena terus-terusan mangkir dari temu janji mereka. “Ekhem!” dan tiba-tiba saja Andrew juga merasa suaranya teredam habis. “Tidak, tidak sibuk. Tapi, tidak bisa terlalu malam atau terlalu sore. Jam berapa kau akan datang?” Nyatanya Andrew masihlah si kulkas yang berlagak cool. Oke abaikan! “Jam delapan bagaimana, Kak? Alamatnya masih yang sama kan?” “Jam delapan ya?” dia juga masih berpura-pura menimang waktu. Padahal kegiatan terakhirnya adalah saat pulang kampus di rumah Alan sampai malam. Atau mungkin bisa sampai pagi. Seperti tadi malam misalnya? Who knows. “Baiklah, jam delapan. Kali ini kau yang membuat pertemuannya jadi, kalau kau juga yang mengingkari lebih baik aku meminta bantuan dengan orang lain saja. Karena seharusnya aku sadar, kalau anak orang kaya sepertimu pasti tidak sudi berteman dengan kami kan?” “Nggak kok, Kak. Kok bicaranya begitu. Aku pasti datang malam ini.” “Yasudah, terserahmu.” Panggilan segera Andrew akhiri sepihak. Diam-diam lelaki itu terkikik geli sesudahnya. Senyumnya yang mirip Joker itu pun berkembang lebar. “Seru juga gangguin itu anak,” gumamnya masih sambil tertawa. Selanjutnya ia mendial up kontak Alan di sana. Oke cukup. Bercandaannya sampai di sini saja. Dia harus cepat-cepat menghubungi Alan setelah itu segera mendatangi dekan yang memanggilnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD