05. Bukan Pacar, Tapi Atasan

1394 Words
“Dara, dia atasan kakak, bukan pacar kakak. Namanya Arik Dierja Hartono, dan tolong jangan bilang sama mama kalau aku dianterin pulang oleh pria.” Dara melihat kakaknya menghela napas lalu menaikkan sebelas alis meski kelakuannya itu tertutup helm yang dipakai. “Apa atasan kakak itu nganterin semua karyawannya pulang?” “Mana aku tahu, dek.” “Duh, kak Dila itu polos banget, sih!” Dara jadi gemas. “Maksud kamu apa coba?” tanya Dila sambil menatap adiknya. “Gak mungkin kan seorang atasan nganterin semua karyawannya pulang? Pasti kakak spesial.” Dara menaik-turunkan alisnya. “Si atasan yang punya Lexus itu suka sama kakak!” “Dia cuma kebetulan lewat sini aja mungkin, Dara. Kamu jangan berlebihan, deh.” Dila melewati pagar untuk memindahkan pot-pot bunga miliknya yang kata adiknya membuat macet pagar saat dibuka. Kemudian Dila berbalik lagi, “Inget, jangan bilang apa pun sama mama tentang ini.” “Emang kenapa??” “Nanti mama berpikir yang aneh-aneh seperti kamu.” “Kalau kak Dila nyembunyiin soal ini berarti beneran pacaran ya???” Dila menghela napas beberapa kali. “Udah kakak bilang, dia itu atasan kakak di rumah sakit.” “Jadi kak Dila gak punya pacar?” Dara tampak kecewa. “Nggak.” Dila menggeleng. “Padahal kan seru kalau kak Dila punya pacar!” sahut Dara. “Aku pengen liat cowok yang bagaimana yang dipilih oleh Dila Mahira.” “Kakak mau fokus kerja, Ra. Gak memikirkan hal-hal seperti itu.” “Tapi, kak, gimana kalau...” Dara sengaja menggantung kata-katanya. “Pria Lexus itu suka sama kakak?” “Nggak mungkin.” Terkadang Dila harus menjelaskan lebih ekstra kepada adiknya yang keras kepala jika sudah berasumsi. “Kakak pasti nggak akan termasuk menjadi selera seperti beliau.” “Kok kakak insecure? Kakak itu cantik, baik, sopan, lembut, pinter. Paket komplit! Kakak aku cocok turun dari Lexus dan jadi nyonya Hariyono.” Kening Dila mengerut. “Siapa itu Hariyono?” “Nama belakang si pria Lexus tadi?” Dara mengangkat bahunya lalu menahannya di atas. “Bener, kan?” “Nama belakangnya Hartono.” Dila geleng-geleng kepala karena adiknya ngotot, tapi salah. “Oh? Hartono? Ya, maaf.” Dara hanya mendengar sekali, wajar jika salah. Sebenarnya ia kurang hebat dalam menghafal. “Intinya aku dukung kalau kakak mau berpacaran dengan si pria Lexus dari keluarga Hartono itu,” tambah Dara sangat yakin. Ia tidak kenal pria yang baru saja mengantar kakaknya, namun ia mengakui wajah si pria Lexus sangat tampan. “Semoga dia bukan psikopat aja.” “Bukan lah, Ra. Kamu ini ada-ada aja.” Dila lalu menunjuk motor matic milik Dara yang sedang dipanasi mesinnya. “Kamu mau pergi, kan? Ntar telat lho.” Dara berlari kecil menuju motornya, duduk di jok dan memajukkan motornya tepat di depan Dila. “Aku akan bilang sama mama kalau ada pria yang mengantar kakak.” “Dara, jangan, ya ampun.” Adiknya itu benar-benar keras kepala. “Oke aku gak akan bilang mama tapi ada uang tutup mulut.” Dara menyeringai. “Dasar pemerasan.” Dila mengambil dopet di tasnya, lalu mengambil selembar uang berwarna biru. Dila tak pernah merasa terpaksa memberi uang untuk adiknya, sebab ia tahu gajinya itu tidak sepenuhnya miliknya. Dan Dila senang jika adiknya berkecukupan. “Terima kasih, ibu peri!” Dara mengambil uang tutup mulunya sangat kegirangan. “Rahasia kakak, aman!” Nyatanya, setelah Dara kembali dari acara main dengan teman-teman semasa SMA-nya, saat makan malam gadis itu membongkar rahasia Dila kepada sang ibu, Gina Mahira. “Ma, kak Dila tadi dianterin pulang sama cowok!” Dara tak gentar meski kakaknya menatapnya memelas bagaikan anak kucing yang tersesat. “Eh, bukan cowok, lebih cocok disebut pria. Lelaki dewasa.” “Jangan bicara saat mengunyah, habiskan dulu makanan kamu.” Gina Mahira berkata sedikit sinis kepada Dara yang mengoceh padahal ada nasi di mulutnya. Gina lalu menatap anak pertamanya dan bertanya lembut, “Dila, apa itu benar? Ada pria yang mengantarkan kamu?” “Sampai ke depan pagar!” Dara berkata lagi. “Telan dulu makanan kamu, Dara!” Gina benar-benar kesal sebab putri bungsunya itu tidak mau mendengar kata-katanya. “Dan mama sedang bicara dengan kakak kamu, jangan memotong sembarangan. Itu tidak sopan.” Dara akhirnya diam, memilih untuk melanjutkan menikmati makan malamnya. Dila mendapati ibunya menatapnya dengan pandangan ingin tahu. Kemudian Dila melirik Dara yang mengangkat bahu—tanpa rasa bersalah sedikit pun padahal sudah mengadu. “Atasan aku, Ma,” jawab Dila sesuai kenyataan. “Atasan kamu di UGD?” Gina tahu shift dan di mana Dila di tempatkan saat bekerja sebab ia selalu membuat anaknya itu bercerita kepadanya tentang hari-harinya. “Bukan, Ma.” Dila tidak diajarkan berbohong sehingga ia tidak akan bisa mengelak, maka dari itu Dila berencana untuk jujur. Lagipula adiknya sudah bertemu dengan pria yang menjadi topik pembahasan ini. “Dia atasan aku yang sebenarnya—direktur Vale Medical Center,” tambah Dila dengan suara kecil namun memastikan ibunya bisa mendengar jawabannya. Gina terdiam beberapa saat. “Direktur Vale?” Dila mengangguk kepada ibunya. Karena percakapan ini sangat lambat, Dara ikut nimbrung lagi, “Mobilnya Lexus empat miliyar, lho. Si direktur itu orang kaya.” Gina mengerutkan kening mendengar informasi dari si bungsu, tapi tidak tertarik menbalas Dara. Gina lebih memilih untuk bertanya lagi kepada Dila. “Maksud kamu itu yang mengantarkan kamu adalah direktur Vale yang memiliki nama belakang Hartono?” “Seratus poin untuk Mama!” Dara menyahut cukup kencang. “Bener, nama belakangnya Hartono. Kalau gak salah namanya Eric. Pria itu bener-bener pakai Lexus!” “Mama tidak bicara dengan kamu, jadi kamu tidak perlu heboh seperti itu.” Gina terganggu dengan suara Dara. “Kalau kamu tidak tahu siapa yang kamu bicarakan, jangan sok tahu.” Dara menjawab dengan santai, “Ya elah, aku kan cuma bercanda. Aku tahu kok nama pria itu adalah Arik, telinga aku masih berfungsi.” “Ini yang membedakan kamu dengan Dila.” Gina langsung menyahut, seperti biasa mengatakan hal favoritnya; membandingkan kedua anaknya. “Kamu selalu menganggap semuanya candaan. Tidak pernah serius. Bagaimana kamu mau sukses kalau apa-apa hanya dianggap mainan, Dara? Kapan kamu dewasanya? Bisanya hanya menyusahkan Mama.” Kata-kata Gina terkesan sangat yakin, meski begitu Dara tidak berniat memasukkannya ke dalam hati. Ibunya pernah mengatakan hal lebih menusuk dari ini, jadi mengapa Dara harus tersinggung? Dara sudah kebal. “Maaf kalau aku cuma menyusahkan Mama soalnya aku gak pintar seperti kak Dila. Skripsi aku aja gak selesai-selesai dan terkesan menganggapnya enteng.” Dara membalas kata-kata ibunya, tanpa nada. “Kamu sadar bahwa kamu tidak berguna?” Gina mendengus kepada Dara. “Selesaikan makan malam kamu dan langsung masuk ke kamar. Kerjakan skripsi kamu, jangan malas-malasan. Kamu harus wisuda tahun ini.” “Aku udah selesai, selera makan aku diambil tikus.” Dara memundurkan kursi, membawa piring yang masih tersisa seperempat makan malamnya ke wastafel. “Mama...” Dila melihat adiknya meninggalkan ruang makan dan merasa tidak enak hati dengan kata-kata ibunya. “Dara nggak malas-malasan sama skripsinya, aku selalu lihat dia masih bangun sampai jam dua pagi.” “Masih bangun untuk mengerjakan skripsi, atau main game dan mengirim pesan tidak jelas dengan teman-temannya?” Gina mencoba memberikan penjelasan kepada Dila tentang kegiatan Dara. “Kamu jangan membela adik kamu terus, nanti dia seeenaknya. Kalau kamu shift malam, dia juga ikut-ikutan main sampai malam. Mau jadi apa sebenarnya anak berandaI itu?” “Mama,” Dila mencoba menghentikan ibunya. “Mama malas membicarakan adik kamu.” Gina menghela napas, kemudian merubah ekspresinya menjadi lebih bersemangat ketika berkata, “Mari membahas pria dari keluarga Hartono yang mengantarkan kamu pulang. Jangan malu sama Mama, sayang. Apa dia pacar kamu?” “Mama, Pak Arik Dierja Hartono bukan pacar aku.” Dila berusaha menjelaskan agar ibunya tidak salah paham. “Dia bukan pacar, benar-benar hanya atasan yang baik yang kebetulan mengantarkan aku pulang.” “Seorang direktur mengantarkan satu perawat UGD dan itu kebetulan?” Gina menaikkan sebelas alis. Ini alasan Dila memohon kepada Dara agar adiknya itu tidak buka mulut. Sejak jaman sekolah, jika ada lelaki yang mengantar Dila pulang, pasti ibunya selalu ingin tahu sampai ke akar-akar. Sekali lagi Dila menegaskan kepada Gina, “Mama, Pak Arik hanya mengantar aku. Udah, berhenti di sana.” Tapi ternyata, di hari-hari berikutnya, Arik Dierja Hartono tetap mengantar Dila pulang sampai ke depan pagar rumah gadis itu. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD