09. Hari Melelahkan

1482 Words
Dila melihat adiknya memasuki salon, ia langsung melambaikan tangan kepada Dara. “Hai, kamu tepat waktu.” Dara hanya mengangguk seadanya. Sebenarnya ia ingin pulang dan lanjut tidur, namun urusan rambutnya belum selesai. Ibunya akan mengomel jika Dara pulang dalam keadaan rambut masih berwarna merah. “Kamu mau cat warna hitam?” tanya Dila. Dara menggeleng. “Kalau cat warna item, nanti susah mau diwarnain lagi.” “Kalau gitu coklat seperti kakak aja. Supaya kembar.” “Nggak akan ada yang nganggep kita kembar, kak.” Dara meragukan itu. Meskipun rambutnya memiliki warna yang sama dengan kakaknya, Dara yakin Dila tetap lebih cantik. Lagipula Dara tidak mau terlihat seperti Dila. Karena, dirinya ya dirinya. Kakaknya ya kakaknya. Berbeda. “Mbak, warnain coklat aja.” Dila berkata kepada pegawai salon yang menangani rambut Dara. Dara disuruh duduk di kursi yang menghadap langsung kaca besar dan tinggi. Karena Dara ingin cepat selesai, ia menurut. “Ra, cukup lama sampai rambut kamu bener-bener beres. Kakak mau keliling dulu ya?” Dila mengusap bahu Dara. Dara bertanya, “Mau belanja, kak?” “Lihat-lihat aja. Kalau ada yang bagus, dibeli.” Dila terkekeh. “Yaudah. Oh, aku titip boba ya sekalian.” Dara butuh sesuatu yang manih untuk menghilangkan ingatannya beberapa saat lalu ketika melihat pacarnya—yang kini sudah jadi mantan—berada di atas tempat tidur berdama teman baiknya. Dara penasaran, orang-orang seperti itu karmanya akan seperti apa, ya? Jika tertabrak mobil ketika sedang makan bakso, mungkin akan keren. Setelah Dila pamit untuk keliling toko di mall, Dara menghela napasnya. Mbak-mbak pegawai salon mengira Dara panik. “Tenang kak, warna coklat pasti cocok. Kulit kakak terang.” Dara hanya mengangguk. “Iya, mbak. Kerjain aja.” “Kakak mau menikah, ya?” Si mbak salon bertanya saat dirinya mengeramasi rambut Dara dan memberikan pijatan-pijatan kecil. Menikah? Dara beberapa saat lalu baru saja memergoki pacarnya selingkuh. “Mungkin, masih lama.” Dara menutup matanya menikmati air mengalir pada rambutnya. “Yang mau menikah itu kakak saya. Yang tadi, yang cantik.” “Ohh, iya saya juga tahu kalau kak Dila mau menikah. Kita sering ngobrol.” Mbak salon mengenal Dila sebab Dila selalu melakukan perawatan di salon Tietie. “Saya udah lihat foto calon suaminya kak Dila, ganteng ya, kak.” Dara sudah tahu semua orang pasti akan memuja wajah Arik Dierja Hartono. “Jago main gitar ya kayanya,” kata si mbak salon. “Saya lihat calon suaminya kak Dila nyanyi sambil main gitar sambil bilang ‘will you marry me?’ di akhir video. Jujur, Dara tidak tahu kalau Arik bisa main gitar. Pasti banyak hal yang Arik perlihatkan khusus untuk Dila seorang. “So sweet, mbak?” Dara meladeni obrolan pegawai salon. “So sweet banget, kak.” Mbak salon cekikikan sendiri. “Saya juga mau dilamar begitu dan punya calon suami seganteng itu. Kak Dila beruntung ya.” Siapa coba yang tidak mau punya calon suami seperti Arik Dierja Hartono? Dan benar, Dila memang beruntung mendapatkan Arik. Begitu pun sebaliknya. Dara seolah tahu bahwa Dila dan Arik akan berjodoh sejak pertama kali ia melihat pria dari keluarga Hartono itu dengan mobil Lexus-nya mengantar Dila pulang sampai ke depan pagar rumah. “Aamin, mbak. Saya doain dapet yang seperti calon suami kak Dila,” kata Dara merasa lucu dengan celotehan si mbak salon. Ketika rambut Dara mulai diwarnai dan ini memakai waktu sekitar satu jam untuk menunggu warnanya meresap, Dila kembali. Matanya sembab. Tidak membawa boba yang Dara inginkan, mau pun tanda-tanda wanita itu kembali dari acara berbelanja. Dara bisa melihat pantulan wajah Dila dari cermin besar di depannya, dan Dara yakin sisa-sisa ekspresi di matanya adalah air mata. Dara bertanya kepada Dila, “Kakak habis nangis? Kenapa, kak?” Dila menatap kepada wajah Dara yang memperlihatkan raut khawatir. Dila langsung mengusap pipinya. “Gak pa-pa. Kakak lagi baper.” “Baper? Bawa perasaan kenapa?” Dara tidak mengerti. “Tadi kakak lihat ada orang yang dilamar di restoran, di lantai tiga. Kakak jadi ingat saat...” “Dilamar kak Arik?” potong Dara langsung. Kemudian ia terkekeh. “Astaga kak Dil, aku kira kakak kecopetan atau apa.” “Kakak gak kecopetan.” Dila menggeleng, dengan polos gadis itu memperlihatkan dompetnya kepada Dara. “Syukurlah. Kalau kakak kecopetan, aku panik banget pasti. Masalahnya nanti siapa nanti yang bayar uang salon aku.” Dila terkekeh kecil mendengar kata-kata adiknya, sehingga Dara menghela napas lega. Dila pasti sedang berada pada krisis menuju hari H. “Kakak gugup ya mau menikah sama kak Arik? Sampai lihat orang yang dilamar aja langsung baper.” Dila duduk di sofa belakang Dara, di tempat duduk menunggu. “Begitulah, Ra.” “Jangan panik dan jangan gugup, kak. Semua pasti berjalan dengan lancar. Kakak akan memiliki pernikahan paling bagus dan keren.” Dara tahu ia kurang baik ketika harus menyemangati, namun semoga pesannya tetap tersampaikan. Dara hanya tidak mau Dila stress menuju pernikahannya. Si mbak salon yang menangani rambut Dara ikut menyeletuk, “Bener, kak Dila jangan panik berlebih. Calon suami kakak itu ganteng banget lho. Kalau saya sih pengen cepet-cepet nikah kalau punya calon suami begitu. Nangisnya nanti aja di altar, kak Dila.” Dara tersenyum kecil mendengar kata-kata si mbak salon. “Iya, deh, aku coba gak memikirkan secara berlebihan.” “Gaun kakak siap digunakan, begitu juga sepatu dan segalanya. Saat hari H tiba, kakak akan jadi pengantin paling cantik yang pernah ada,” kata Dara mencoba menaikkan rasa percaya diri Dila dan menyingkirkan kegelisan yang tak perlu. “Kakak akan menikah dengan the one and only Arik Dierja Hartono, pria yang sangat mencintai kakak. Dia akan menunggu kakak di altar. Bayangkan yang indah-indah, supaya kegelisan kakak hilang.” “Dan ngomong ngomong...” Dara sedikit kesulitan menggerakan kepalanya dengan proses pewarnaan rambut ini sehingga ia menggunakan jarinya sebagai media untuk mengatakan, “Ponsel kakak bunyi terus. Mama, ya? Apa mama mau kakak pulang sekarang?” Dila diam, tidak menjawab Dara. Dan suara ponsel yang sepertinya adalah panggilan terus menerus, membuat Dara berujar, “Kakak pulang duluan aja.” “Boleh kakak pulang duluan?” “Tentu aja boleh. Tapi bayar dulu biaya warna rambutnya, ya.” Dara terkekeh. Dila bangkit dari sofa, tersenyum kepada Dara. “Iya, kakak bayarin.” “Thank you, ibu peri.” Dara mengangkat jempolnya. “Kakak pulang aja. Nanti sore kan harus ke bandara. Cek lagi barang-barang dan koper kakak jangan sampai ada yang ketinggalan.” “Koper kamu sendiri udah siap kan, dek?” “Tenang aja, kak Dil. Udah siap semua.” Jempol tangan kanan Dara naik lagi. “Oke, kalau gitu kakak pulang duluan ya.” “Hati-hati, kak.” “Setelah selesai, kamu kabarin kakak.” “Iya, aku pasti langsung pulang.” Dila mencium pipi adiknya, membayar biaya salon dengan kartu kredit yang diberikan Arik kepadanya, kemudian berlalu. Setelah beberapa jam melakukan rangkaian pergantian warna rambut, kini Dara melihat warna merah cerah pada rambutnya tergantikan menjadi warna rambut Dila. Benar-benar percis. Dara harus mengapresiasi salon Tietie karena apa yang diinginkan konsumen, bisa mereka wujudkan dengan nyata. Terutama kepada mbak salon yang mengurusnya hari ini. Setelah selesai, Dara langsung pulang dan menemukan Sharon berdiri di pagar rumahnya. “Dara...” Sharon memasang ekspreksi bersalah pada wajahnya, namun Dara tak ingin melihatnya sehingga ia mencoba langsung masuk setelah membuka pagar namun tangannya ditahan. “Ra, bisa kita ngomong sebentar?” Dengan canggung Sharon melepaskan tangan Dara ketika gadis itu diam saja. “Aku gak tahu menjelaskan gimana apa yang kamu lihat tadi—“ “Lo dan Evan berhubungan seks.” Dara langsung memotong. “Gue lihat sendiri. Udahlah, gak perlu alasan ini itu.” “Gue dan Evan udah kenal sebelum lo kenal dengan Evan. Kami berdua sadar saling menyukai, Dara. Sorry...” suara Sharon sangat kecil. “Lo terdengar seperti gak benar-benar mengatakan sorry. Kalau lo merasa bersalah, lo gak akan meniduri pacar teman lo sendiri.” Dara menatap Sharon tepat di mata namun nadanya datar. “Tapi tenang aja, gue gak akan menghakimi lo. Gue menghakimi kalian berdua. Thanks karena lo tidur dengan Evan, gue jadi tahu kualitas pria itu. Kalian berdua cocok. Selamat ya.” “Biar gue yang berhenti dari Star Studio.” Sharon menahan Dara lagi yang ingin cepat-cepat masuk rumah. Star studio adalah tattoo shop yang menjadi tempat Dara dan Sharon bekerja bersama-sama. “Baguslah kalau lo tahu diri.” Dara sedang menahan amarahnya, jangan salahkan dia kalau menjadi ketus. Melihat hanya Sharon yang datang meminta maaf dan Evan tidak melakukannya, Dara memasukan pria itu ke daftar orang-orang pengecut yang tidak akan lagi Dara biarkan menghalangi hidupnya. Dara tidak menunggu Sharon menjelaskan kejadian sialan hari ini. Ia juga tidak mau repot-repot menantakan sejak kapan Evan dan Sharon punya hubungan di belakangnya. Dara terlalu capek. Ia ingin tidur dan melepaskan sejenak kekecewaannya di alam mimpi. Hari ini sudah menjadi mimpi buruk bagi Dara. Semoga esok hari menjadi lebih baik. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD