Teror Pertama

1985 Words
Nirmala mendengar pernyataan Willy membuatnya geram, masih berdiri mematung menatap punggung Willy yang sedang duduk di tepi batu, dengan kaki yang menjulur ke sungai. "Kamu yang menyebarkan fitnah itu, kalau aku pembawa kematian, argghhh!" Sorot tajam wanita bermata belo itu menghujam tepat ke arah Willy. Pria pecinta hitam itu, menoleh sembari mengkerutkan dahinya dan tangannya menarik kasar sang janda kembang itu, hingga terduduk tepat di hadapannya. "Tenang, cantik. Aku cuma mau kamu itu terkenal dan tidak ada yang mendekatimu. Tapi, sepertinya para suamimu sungguh malang nasibnya. Ini kabar yang bahagia untukku, kalau kau tidak dimiliki orang lain." Willy dengan tenang menjawab sembari tangannya mengusap lembut pipi Nirmala. "Ku tunggu jandamu, sekarang sudah janda. Mau jadi istriku?" Lanjut pria yang sudah memendam cinta begitu lama. Semenjak Nirmala menikah dengan Faiz--kakak Willy suami ketujuh, ditemukan meninggal mendadak di kamar mandi, saat mau malam pertama. Willy jatuh cinta pada pandangan pertama kepada wanita bermata belo itu, ketika sang kakak memperkenalkan Nirmala akan menjadi kakak iparnya. Nirmala yang mendengar perkataan pria bersweater hitam itu langsung naik pitam, ia mendorong tubuh kurus di depannya. Sehingga sang pria tercebur masuk sungai. Sungguh tidak menyangka, kalau mantan adik iparnya sendiri mau menikahinya. pikiran Nirmala seperti benang kusut. "Jangan mimpi di siang bolong!" bentak Nirmala sembari memelotot dan bangkit beranjak melangkah lebar meninggalkan sungai menuju ke rumahnya. "Sial, licin sekali kamu ini. Nirmalaaa!" geram Willy dengan lantang, tangannya memukul air sungai bening itu. Air dingin menembus tulang sumsumnya, pria pemilik tahi lalat kecil di atas bibir itu menenggelamkan kepala ke dasar sungai. Sudah terlanjur basah, dilanjutkan berenang saja. *** Akmal dan Bonbon yang sedang menyusuri setiap tempat di kampung janda kembang. Mereka melihat sebuah rumah tua desain rumah jaman Belanda dengan tiang dan pintu yang lebar. Rumah mewah bergaya klasik berlantai dua, dengan cat putih kusam berdiri kokoh di hadapan mereka. Pintu yang tinggi dengan jendela-jendela besar menambah kesan anggun pada rumah elegan nan eksotis itu. Akmal terpaku di pintu pagar. Mata sipitnya menyapu setiap inci depan rumah itu dari pintu pagar berjeruji tebal. "Maaf Kang, maaf sekali. Ini demi kebaikan Akang, jangan sembarangan ambil foto-foto di rumah tua ini,” ucap Bayu yang datang dengan tergesa-gesa. Lelaki yang mengenakan sarung dan peci itu tiba-tiba menghampiri sembari menceritakan soal suasana mistis di rumah itu. Menceritakan kalau warga di sini sering melihat penampakan di depan rumah mewah itu, seorang perempuan menari jaipongan diiringi musik. Kejadian itu jam dua belas malam. Bulu halus di tangan Akmal dan Bonbon berdiri sampai ke tengkuk leher. Mereka mengamati rumah yang memang sudah lama tidak ada penghuninya. "Kami cuma foto-foto saja. Ini termasuk peninggalan sejarah, 'kah? Rumah ini beda dari penduduk di sini," tanya Akmal penuh selidik. "Dulu ada warga di luar desa ini main ke tempat ini. Sejak dari itu, tamu tersebut langsung jatuh sakit hingga dua minggu. Dia mengambil foto tanpa izin, saya mohon Akang harus izin dulu," sahut Bayu berpesan. "Izin ke siapa?" tanya Bonbon sembari tangannya sibuk menghapus foto rumah itu yang tadi sempat dipotret. "Juragan Pak Boni, tuan tanah di desa ini. Dia yang bertanggung jawab dengan rumah ini, katanya ini rumah peninggalan nenek moyangnya Neng Nirmala." Bayu menjawab sembari pandangannya merasa cemas, tidak nyaman berada di depan pagar rumah tua itu. Akmal mengulas senyum, pantes saja Nirmala beda dengan wanita yang ada di kampung ini. Ternyata memiliki darah campuran Belanda. Bayu menarik tangan Akmal dan Bonbon, supaya lekas menjauh dari rumah mewah itu. Akhirnya, mereka berjalan beriringan dan pria bermata sipit itu mengorek informasi tentang semua keluarga Nirmala dari lelaki berpeci hitam itu. Bayu pun mengundang Akmal dan Bonbon untuk datang ke pernikahannya yang akan berlangsung satu minggu lagi. "Kamu akan menikah di kampung ini dengan gadis sini?" tanya Bonbon sembari mengkerutkan dahinya. "Iya, jangan takut untuk menikah. Mungkin para janda di sini sudah takdir mereka," balas Bayu sembari melempar senyum lalu, ia pamit untuk ke masjid. Bayu---marabot di masjid kampung janda. Akmal mengangguk kasar, rasa penasaran semakin membuncah ingin menyelisik wanita bermata biru itu. Mereka pun sampai di depan rumah Pak Ridwan. *** Lembayung jingga menguasai langit dan lambat laun menghilang dan sebentar lagi datanglah penguasa malam bintang gemerlipan. Wanita berkulit putih itu malam ini memakai dress warna putih dengan rambut dikepang dibuat sanggul. Ia berdiri di depan cermin sambil memperhatikan titik tiga di telapak tangannya adalah tahi lalat tanda lahirnya. "Apakah benar orang yang memiliki tanda titik tiga di telapak tangan akan mengalami sial terus dalam hidupnya?" gumam Nirmala sembari mengusap-usap tahi lalat itu. Nirmala pernah dikasih tahu oleh orang pintar yang menutup mata batinnya. Tentang tahi lalat tiga yang berkumpul dalam satu titik. Wanita berkulit putih itu mendengar suara sang ibu memanggil dan ia pun langsung beranjak keluar kamar. Pandangannya mencari sendal tingginya, langkahnya menghampiri tempat sepatu. Ia pun menaruh bokongnya di atas kursi lalu, memakai sendal tinggi berwarna putih senada dengan baju yang dipakai. "Ayo, sayang cepat. Acaranya sudah dimulai di lapangan, ayahmu udah ada di sana!" Bu Susi mengajak sembari menggeleng kecil. Sang anak dandannya sangat lama sekali. Nirmala tertawa kecil, bangkit lalu, menggandeng tangan sang ibu keluar rumah. Mereka naik dokar Mang Usep menuju tempat acara. Suara notip pesan masuk ke ponsel Nirmala. Ia mengira pasti dari Rosa ternyata bukan, tetapi dari orang asing dengan memakai nomer tidak dikenal. @nomor tidak dikenal [Teror pertama akan dimulai di atas panggung.] Nirmala merasakan debaran jantungnya semakin kencang, merasakan gelisah. dalam pikirannya semoga tidak ada yang aneh. Ia pun memilih tidak membalas pesan misterius itu. Setelah sampai di tempat acara. Di atas panggung beberapa wanita sedang berjaipongan, sebelum Wayang Golek dimulai. Nirmala dan sang ibu mendapat kursi paling depan dan tepat berdampingan dengan sosok pria yang sangat wanita itu benci. "Hai, hari ini cantik sekali," sapa Akmal memakai kemeja warna putih sembari melempar senyum melirik wanita yang duduk di sampingnya. Nirmala cuma berdeham, fokus menatap ke arah panggung. Pandangannya berkeliling sekitarnya mencari sosok sang sahabat yang belum datang. Ponsel yang digenggamnya pun berbunyi sebuah panggilan. Ia pun bergegas menekan tombol hijau dan menjawabnya. "Halo, ada apa?" "Tolong aku, Ria datang ke sini sedang ngamuk-ngamuk di rumah," Rosa menjawab dengan nada parau dan gemetar. "Ambu sama abah ke mana?" Syila bangkit dari duduknya dan melangkah pelan melewati para penonton. "Mereka lebih dulu berangkat. Cepat ke sini, wanita itu udah gila mau membunuhku." Wanita bermata biru itu mempercepat langkahnya menuju rumah Rosa, tanpa ia sadari ada sepasang mata mengekorinya dari belakang. Butuh lima belas menit menuju rumah sahabatnya itu kalau dari lapangan. Nirmala sampai di sebuah rumah yang gelap tanpa ada penerangan sama sekali. Ria sudah mematikan meteran listrik rumah yang bercat putih itu. "Ria, keluar. Hadapi aku, jangan ganggu Rosa!" teriak Nirmala dengan lantang masih berdiri di depan pintu. Sedetik, semenit, sampai tiga puluh menit. Hening, tidak ada sebuah jawaban dari dalam rumah. Nirmala langsung menghubungi Rosa, tetapi nomer yang dituju tidak aktif. Ia pun mengkerutkan dahinya dan mencoba memutar knop pintu itu terkunci. Tiba-tiba sebuah pukulan sebongkah batu besar menghantam belakang kepalanya. Wanita bermata belo itu membulatkan matanya, terhuyung dan terduduk ke lantai sambil memegang kepalanya yang sakit. Keluar darah deras mengalir. "Kamu sudah gila!" pekik Nirmala sembari tangannya memegang belakang kepalanya. Ria tertawa terbahak-bahak lalu, ingin memukul lagi. Namun, sebuah tangan kekar menghadang wanita bibir dower itu. "Kamu lagi, bikin ulah saja!" bentak Akmal sambil membuang batu dari tangan Ria. "Ini bukan urusanmu!" sergah Ria mendelik dan berusaha melepaskan diri dari tangan pria bermata sipit itu. Ria menyeringai lalu, melayangkan sebuah tendangan ke arah jimat pusaka milik Akmal satu-satunya. Spontan pria bermata sipit itu melepaskan pegangannya dan meringis sambil memegang bawah perutnya. Wanita bibir dower itu langsung lari menerobos kegelapan malam. Nirmala menunduk malu, baru kali ini ia melihat seorang pria secara langsung mengeluh kesakitan sambi memegang barang saktinya. Akmal menyandarkan tubuhnya ke tembok. Nirmala berusaha bangkit dari duduknya dan menghampiri pria berbaju putih itu. Karena wanita bermata belo itu menginjak kulit pisang, tangan Akmal dengan gesit menahan tubuh sang wanita supaya tidak luruh ke lantai. Tangan pria berbaju putih itu melingkar di pinggang sang wanita dan sebaliknya wanita bermata biru itu tangannya mendarat di pundak Akmal dengan erat. Terjadilah momen romantis, mereka saling memandang satu sama lain. Kedua netra itu bertemu. Hening, hanya ada deru napas mereka saling bersahutan. Nirmala pun sadar, memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia pun berusaha melepaskan dekapan Akmal. "Lepaskan aku hidung Beo," pinta Nirmala lirih. Namun, permintaan sang wanita tidak diindahkan oleh sang pria, apalagi mendengar wanita yang tepat di depan wajahnya itu meledek hidungnya. Akmal lebih mengencangkan dekapannya itu sembari mengulas senyum lalu, Tangannya memegang dagu sang wanita. "Hai, mau m***m, yah!" teriak Nirmala sambil berontak di dalam dekapan Akmal. Apalah daya, tenaga seorang wanita itu lemah. Semakin Nirmala berontak melepaskan diri dan semakin erat Akmal memeluknya penuh canda. "Ternyata seperti ini rasanya memeluk wanita paling cantik di kampung janda, hehehe," ledek Akmal sambil mencubit hidung mancung wanita di depannya. "Lepaskan aku, Rosa dalam bahaya!" pekik Nirmala sembari memelotot. Akmal spontan melepaskan dekapannya itu, Nirmala terjatuh ke lantai. "Arrgghh, nyebelin," gerutu wanita bermata belo itu. Pria bermata sipit itu mendobrak pintu rumah Rosa dengan tiga kali dobrakan, pintu pun terbuka. Nirmala bangkit dan berdiri di ambang pintu, terbelalak tidak percaya, Rosa tergeletak di lantai bersimbah darah dengan pisau dapur berada di dadanya. Wanita bermata belo itu menjerit histeris memeluk sang sahabat. Ini di luar dugaannya, ternyata Ria serius dengan ucapannya akan membuat Nirmala sedih. Akmal merogoh saku celananya dan menghubungi sang paman untuk membawakan mobil ambulans. Suara bariton seorang pria meminta tolong terdengar dari arah timur. Akmal keluar mencari sumber suara itu dan terlihat seorang pria sekitar dua puluh tahun, lari ke arahnya. "Tolong, ada sosok tinggi besar menculik temanku, di pertigaan jalan itu," ucap pria itu dengan napas tersengal-sengal. "Tunjukkan tempatnya di mana?" tanya Akmal sembari pandangannya berkeliling ke sekitarnya. "Jangan ke sana," balas Nirmala sambil menggeleng kasar, sungguh kejadian ini membuat dirinya frustasi. Belum saja terpecahkan, kenapa suaminya semuanya meninggal? Sekarang sosok tinggi besar menculik para pemuda kampung. Ia pun masih mendekap Rosa. Butiran hangat itu gerimis di pipi meronanya. Pria kurus itu pamit pergi untuk meminta pertolongan ustaz. Pak Ridwan dan Bonbon datang dengan ambulans lalu, Rosa langsung dibopong masuk oleh para petugas kesehatan. Ia dibawa ke rumah sakit dengan jarak tempuh hampir dua jam perjalanan, karena kondisi wanita hitam manis itu sangat parah. "Akmal, ada apa ini?" tanya Pak Ridwan dengan dahi yang berkerut. "Hei, gue itu lagi mules sakit perut. Masa disuruh jagain orang sakit lagi, sich," keluh Bonbon sembari manyun. "Sabar, Bon. Orang sabar badannya lebar, besok ceritanya aja paman." Akmal mendaratkan tangannya di pundak pria di hadapannya itu. "Badan gue udah lebar, kali. Ada yang belum lebar itu, rumah gue masih minimalis," sahut Bonbon berharap temannya itu mengerti kalau ingin pindah dari kostsannya. "Gue mau diam di rumah, luh. Enak, luas udah kaya satu kecamatan itu rumah luasnya," lanjut Bonbon bercanda. Akmal hanya mengacungkan jempolnya, tandanya oke sembari melempar senyum. Nirmala ingin menemani Rosa dalam mobil ambulans, tetapi Akmal mencegahnya karena sudah ada Pak Ridwan dan Bonbon yang menemani. Akhirnya, wanita bermata biru itu meminta tolong kepada Akmal untuk mengantarkannya ke rumah. Sebuah desiran aneh menghinggapi relung hati pria bermata sipit itu, ada rasa tidak mau jauh dari Nirmala. "Terima kasih kamu sudah menolong aku dan Rosa. Aku tidak tahu kalau Ria akan nekad seperti itu," ucap Nirmala sambil berdiri di depan pagar hitam rumahnya. "Kebetulan saja, tadi aku lewat rumah Rosa," sahut Akmal sembari mengulas senyum lalu, pamit pulang. Nirmala beranjak masuk ke dalam rumahnya dan merasakan ada sesuatu yang memelesat di belakang punggungnya. Ia pun menoleh tidak ada siapa-siapa. Wanita bermata belo itu masuk ke dalam kamar, menghempaskan tubuhnya dan air mata itu membanjiri kasur berbalut wool. Ia terus menangisi Rosa. *** Derap langkah Akmal begitu pelan masuk ke dalam kamarnya dan merasakan malam ini begitu panas. Ia beranjak masuk ke dalam kamar mandi dan menikmati sapaan air shower menerpa tubuhnya. Ada rasa gelisah dan dilema menghantui. "Tidak mungkin, rasa ini tidak boleh hadir. Arggghh," gerutu Akmal sambil mengacak-acak rambutnya dengan guyuran air.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD