Siapa Dia?

1266 Words
Janda kembang itu berbalik badan dan menatap tajam ke arah pria berambut hitam yang kini berdiri ada di depannya. "Jangan, sok tahu. Kamu bukan cenayang!" sergah Nirmala sembari memelototi. "Saya tahu kalau setan perempuan itu sebenarnya mengincar nyawamu," sahut Akmal sembari melangkah maju. Mereka berhadapan, saling memandang lebih dalam, ke bola mata masing-masing. Akmal berpendapat kejadian semalam tadi adalah setan itu ingin membunuh Nirmala. Hening. Ada sesuatu asap putih aneh masuk ke dalam badan Nirmala dan ia pun mendadak melengkungkan senyum ke arah pria berhidung bangir itu. "Temui aku, besok malam di belakang panggung acara wayang golek," ucap Nirmala dengan suara begitu halus dan lembut terdengarnya. Akmal mengkerutkan dahinya, memicingkan mata, dan bola matanya berkeliling. Tidak ada siapa-siapa di jalan, hanya mereka berdua, tetapi seperti ada sesuatu yang mengawasi percakapan mereka. "Saya mau bicara sekarang," jawab singkat Akmal sembari meraih lengan janda kembang yang ada di hadapannya itu. "Auuwww, panas sekali tanganmu!" pekik Akmal sembari terbelalak. Senyum menyeringai dari bibir seksinya sang wanita. "Jangan coba menyentuhku, kalau tidak kamu akan terbakar oleh api cinta." Nirmala memutar badannya dan melangkah gontai, meliuk-liukkan pinggulnya. Jalannya seperti model papan atas ayam negeri. Ia memutar-mutar rambut panjangnya yang dikucir kuda. Akmal terpaku, merasakan kejanggalan dalam diri Nirmala. Tadi awal bertemu sikapnya jutek sekali, tetapi sekarang berubah dengan cepat, kadang semanis gulali dan kini berubah menyeramkan kata-katany. Ia pun menggaruk-garuk kepalanya. Setelah sampai di depan rumahnya sendiri. Nirmala merasakan badannya tiba-tiba lemas dan terduduk dengan wajah pucat. Asap putih itu keluar dengan sendiri dari lubang hidungnya. Rumah berdiri kokoh itu, ibarat punya tameng penjaga. Sehingga, wanita bermata belo itu merasakan ada sesuatu yang panas menyergap rongga-rongga parunya dan terasa terhimpit, ia menghela napas kasar. "Kenapa aku ada di sini? Bukannya tadi lagi ngobrol sama hidung Beo itu," gerutu Nirmala sembari berusaha berdiri. Kakinya terasa linu dan ia melihat telapak bawahnya terluka seperti menginjak pecahan kaca. Wanita berambut kucir kuda itu meringis kesakitan sembari menyeret kaki kirinya yang terluka. Sungguh ini di luar alam sadarnya, ia lupa kenapa kakinya sengaja menginjak pecahan kaca? Berjalan pelan membuka pintu, memutar knopnya dan matanya menyapu isi ruangan rumah. "Bun, ada obat merah atau betadine, nggak?!" teriak Nirmala sembari menaruh bokongnya di atas kursi sofa. Sang ibu datang tergopoh-gopoh datang dari arah dapur. "Kenapa itu, Neng?" "Aku lupa, Bund. Tiba-tiba seperti ini, Ayah lagi ngobrol dulu sama pegawainya. Nanti juga pulang," sahut Nirmala sembari merintih kesakitan. Ibu Susi mengerutkan dahinya dan sorot matanya menyalang ke arah luar rumah. Ia langsung bergegas mencari obat merah dan mengobati telapak kaki Nirmala yang terluka. "Bu, apakah aku punya saudara kembar?" Pertanyaan dari Nirmala membuat sang ibu menjadi gugup. Tangannya gemetaran. "Kenapa kamu menanyakan, hal itu?" tanya sang ibu berusaha tenang sembari tangannya mengolesi obat merah ke kaki sang anak. "Aku sering bermimpi dengan diriku sendiri, Bun. Ada dua anak yang aku lihat dalam mimpi, bermain di halaman rumah dan taman anggrek," jawab Nirmala sembari matanya berbinar. "Kamu tidak punya saudara kembar, oke. Sekarang istirahat supaya besok bisa mengikuti pesta adat," ujar Ibu Susi sembari mengusap puncak kepala sang anak. Nirmala mengangguk pelan. Ia berjalan sembari menyeret kaki yang sakit dan masuk ke dalam istana tidurnya. Wanita bermata belo itu menghempaskan tubuhnya ke atas peranduan mimpinya, terlentang menatap langit-langit atap kamarnya itu. Ia berpikir keras, kenapa mimpi bertemu anak kembar berkali-kali? Rasa kantuk menghinggapinya. Lalu, ia terlelap dalam mimpi. Dalam sebuah taman bunga dan dekat sungai, ada dua anak kembar kecil bermain berlarian saling kejar-kejaran. Salah satu dari mereka memegang sebuah boneka. Raut kebahagiaan yang terpancar dari wajah polos dua anak perempuan itu. Nirmala berdiri di antara mereka, seulas senyum dari bibir merahnya. Mereka bermain kupu-kupu, tetapi, tiba-tiba ada sosok seorang wanita yang samar dalam pandangan Nirmala. Wanita itu membawa salah satu dari mereka ke kandang kerbau tidak terpakai lagi. Anak berambut pirang itu menangis, karena ditinggal oleh saudara kembarnya itu. Nirmala mengikuti dari belakang dan terperangah melihat kejadian dalam kandang itu. Sang anak kecil dikasih makan rumput dengan paksa, ditampar, dan didorong sehingga kepalanya terbentur oleh kayu besar. Darah segar melumuri baju anak kecil itu dan menoleh ke arah Nirmala, meminta tolong. "Hei, lepaskan anak itu! kamu jahat sekali!" teriak histeris Nirmala menangis. Tangannya mencoba mendorong sosok wanita misterius itu, tetapi hanya angin belaka yang dipegang. "Argghh, jahat sekali!" Teriakan Nirmala membuat sang ibu yang sedang nonton televisi tersentak kaget dan ia pun berjalan menghampiri kamar serba hijau itu. "Bangun, Neng. pamali tidur menjelang Magrib!" bentak Ibu Susi sembari menepuk pipi sang anak keras. Nirmala pun terbangun. Terduduk dan matanya menyesuaikan dengan cahaya lampu kamar yang baru saja sang ibu nyalakan. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya, ada sosok ibunya duduk di tepi ranjang. "Salat, cepat ambil air wudhu!" perintah Ibu Susi sembari beranjak pergi dari kamar sang anak. "Siapa dia? Tega sekali menyiksa anak kecil dengan kejam," tanya lirih Nirmala sembari menutup wajah dengan kedua tangannya. Butiran air mata mengalir deras dan ia pun menangis tersedu-sedu. *** Di lain tempat Akmal mencari tahu data-data riwayat para pria yang menjadi suami Nirmala. Ia berada di kantor desa di gudang. Matanya mengamati dan tangannya sibuk membuka tiap lembaran buku tebalnya 200 halaman, hanya ada suara napasnya yang menggebu dan suara-suara kertas dibuka tiap lembarnya. Ia mencari nama-nama dan silsilah keluarga suami wanita yang kini sedang ingin diungkap. Ternyata delapan suami Nirmala itu sebenarnya mempunyai keturunan darah biru, semuanya saling berkaitan. Kecuali Rian, cuma ia yang dari kalangan petani dan lebih tepatnya hanya pegawai Pak Boni. Matanya menyipit ketika mengetahui semua tanggal lahir para suami Nirmala jatuh di tanggal 26. "Kenapa bisa kebetulan sekali tanggal mereka sama?" gumam Akmal sembari mengacak-acak rambutnya. Ia sungguh pusing memecahkan misteri di kampung janda. Lalu, ia merogoh ponselnya dan menghubungi Bonbon. Menanyakan kabar Marini dan pria berbadan besar itu menjawab dari sebrang telepon memberi kabar, sudah mendingan, besok janda itu bisa pulang ke rumahnya. Akmal bernapas lega mendengar keadaan Marini sudah membaik. Ia pun berencana mau membawa dokumen-dokumen yang semua ada nama Nirmalanya, tetapi ada sebuah angin p****g datang tiba-tiba datang mengelilingi dirinya. Ia melayang terbawa angin besar dan Akmal berteriak sekencang-kencangnya minta tolong. "Sayang, aku sudah tidak sabar menunggumu jadi pengantinku." Suara serak seorang perempuan menggema di seluruh ruang gudang. "Siapa kamu?" tanya Akmal sembari meronta-ronta dan tangannya memeluk kencang dokumen sampul biru itu. Ia takut setan perempuan itu merebut dokumennya. "Aku kekasihmu," jawab suara serak yang masih belum menampilkan wujud aslinya. "Bukan, kekasihku hanya Tina!" sergah Akmal menjawab lantang, ia menggeram. "Siapa Tina? Dia harus aku bunuh!" Angin p****g itu tiba-tiba berhenti dan suara serak itu menghilang. Akmal tersungkur jatuh, tubuhnya menabrak sebuah meja besar. "Sial, setan wanita nggak ada akhlak. Kalau mau nurunin hati-hati, main lempar saja. Lo kira gue itu boneka," gerutu Akmal sembari memegang punggungnya terasa remuk. Bahasa logat betawinya keluar. Pak Ridwan yang sedang duduk mendengar suara bising dari arah gudang. Berlari menuju arah suara itu. Ia tersentak kaget melihat ruangan gudang berantakan dan sang keponakan terkapar di atas meja yang ambruk. "Ada apa?" Pak Ridwan memapah Akmal untuk berjalan. "Setan wanita itu mengaku kalau dia adalah kekasihku." "Kenapa tidak kamu tanya nama dan no WA-nya saja? 'Kan bisa saling chat," ujar Pak Ridwan meledek. Akmal mengembungkan kedua pipinya. Sungguh tidak lucu, kalau setan jaman sekarang punya ponsel. Tiba-tiba suara notip pesan dari aplikasi bulat berwarna hijau, masuk ke ponsel hitamnya itu. Ia pun merogoh saku celananya. @nomer tidak dikenal [Aku akan mencari Tina dulu, Jangan duakan aku dengan wanita lain lagi.] Akmal mengatupkan bibirnya. Lalu, jarinya sibuk mengetik ke ponsel. @Akmal [Siapa kamu? Jangan macam-macam sama kekasihku.] Pria bermata sipit itu menatap layar ponsel dengan tajam, dalam pikiran seribu pertanyaan hinggap, ketika nomer itu dihubungi tiba-tiba di luar jangkauan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD