Scars 9 Baby Andra

1193 Words
Sementara itu, di rumah petak kontrakan, Adhia bingung setengah mati. Andra tak hentinya menangis. Diarenya sudah berhenti. Hanya dua kali saja seharian ini. Tapi demamnya masih tinggi. Segala cara sudah dia lakukan agar sekiranya bisa membuat Andra berhenti menangis. Membuatnya tadi juga ikut menangis. Belum punyai pengalaman mengurus anak, tidak punya orang tua yang bisa dia jadikan contoh, membuat Adhia semakin sedih. Dia tadi menyusui Andra, digendong, dinyanyikan nina bobo, diberi cemilan kesukaannya. Tapi tidak ada yang berhasil. Sesaat Adhia teringat kata ibu pengurus panti jika ada adik-adik panti yang rewel, dia biasanya melantunkan ayat-ayat suci Al Quran. Dan Andra menjadi tenang, membuat Adhia bisa menarik nafas lega. Setidaknya dia bisa sejenak beristirahat. Disentuhnya kening Andra, masih terasa sangat panas walau Andra sudah tenang. Tapi saat petir berbunyi dengan kerasnya, baik Adhia dan Andra sama kagetnya. Adhia beristighfar. Sedangkan Andra kembali menangis, bahkan lebih keras lagi. Entahlah, seperti ada sesuatu yang tidak biasanya. Bahkan sekarang Andra sampai kejang. Membuat Adhia juga semakin ikut menangis. Dengan cemas, Adhia kembali menelpon Tarendra. Sudah puluhan kali. Ini hari Sabtu, bengkel Surya hanya buka setengah hari. Dan tadi dia sudah menelpon Bang Doel menanyakan keberadaan Tarendra. Yang membuatnya bingung saat Bang Doel bilang bahwa Tarendra sudah pulang selepas dhuhur. Sekarang magrib, sebentar lagi malam datang. Adhia semakin panik, karena tidak ada jua kabar dari Tarendra. Akhirnya dia menelpon Tyas, kakak iparnya, minta tolong untuk diantar ke rumah sakit. Sayangnya Tyas sedang di Ciputat, mengunjungi keluarga suami tercinta. Tyas khawatir karena Adhia menelponnya sambil menangis. Pasti ada sesuatu yang terjadi entah pada Tarendra atau Andra. "Nanti mbak akan menelpon istrinya Pak Ilyas. Beliau pasti akan bantu. Dia teman pengajian mbak kok. Kamu yang sabar ya. Mengenai Tarendra, coba nanti mbak berusaha cari tahu. Terpenting sekarang, kamu bawa dulu Andra ke dokter, biar segera ditangani. Kalau ada obat turun panas, segera diberi lagi ke Andra agar gak kejang lagi. Duuh mbak juga jadi panik ini." "Tapi mbak..., aku malu. Ibu dan Pak Ilyas sudah sangat baik pada kami. Aku tidak mau semakin merepotkan mereka. Biar nanti aku pakai bajaj saja ke klinik terdekat." "Tunggu saja Adhia, lagipula kalau pakai bajaj kamu harus menunggu di tepi jalan kan? Wis, sabar ya. Mbak sudah w******p Bu Ilyas. Sebentar lagi beliau akan sampai rumah kontrakanmu." Sekira lima belas menit kemudian, sebuah mobil berhenti tidak jauh dari gang rumah petak kontrakan Adhia. Seorang lelaki tampan, membuka pintu mobil kemudian berjalan ke sisi pintu penumpang, sambil membawa payung yang cukup besar untuk mereka berdua. Tentu saja mereka jadi tontonan di sore hari itu. Walaupun rumah petak kontrakan itu ada di Jakarta, tapi masyarakat di sekitar situ jarang melihat orang semacam Ilyas dan istrinya. Yang laki super ganteng. Yang perempuan super cantik. Melihat animo orang-orang yang memandangi mereka, Ilyas segera saja melingkarkan tangannya ke pundak istri cantiknya. Protektif. Istrinya menoleh ke arahnya dan tersenyum. Berjalan agak susah karena sambil sedikiiit mengangkat gamis dan tangan satunya membawa payung yang akan dipakai Adhia nantinya. Adhia tentu saja merasa tidak enak hati sampai merepotkan si bos. Tapi mau bagaimana lagi? Dia sungguh membutuhkan bantuan. "Sudah, gak usah nangis. Gak usah sungkan juga. Ini tadi kami kebetulan memang lagi perjalanan pulang pas Tyas menelpon. Jadi bisa sekalian mampir. Tadi suara Tyas terdengar panik. Gimana keadaan Andra?" Ibu bos bertanya lembut pada Adhia yang duduk di sebelahnya sambil menggendong Andra yang masih saja rewel. Tampak Adhia menggeleng lemah. "Saya gak tahu bu." Jawabnya memelas sambil melihat ke arah ibu bos. "Kemarin Andra diare, beberapa kali pup. Terus demam tinggi juga. Sampai sekarang masih panas. Bahkan tadi... tadi... Andra sempat kejang bu. Beberapa kali dia kejang. Badannya kaku, terutama kaki kirinya. Saya takut. Saya takut terjadi sesuatu pada Andra, bu." Isaknya. Adhia merasa pundaknya dipeluk lembut. Hangat. Dia memejamkan matanya. "Saya tidak pernah merasakan pelukan dari ibu saya. Mungkin begini rasanya ya bu, pelukan seorang ibu, terasa nyaman dan menenangkan. Terima kasih. Saya berhutang budi banyak sekali pada bapak dan ibu. Selama ini kami sudah banyak merepotkan. Sekarang malah tambah merepotkan lagi." "Kalau kamu butuh saranku, butuh bantuan kami, jangan sungkan untuk menghubungi. Kamu kan sudah punya nomer ponselku. Punya bayi itu, susah-susah gampang. Kamu masih sangat muda dan ini anak pertama. Pasti butuh banyak saran dari orang-orang yang sudah berpengalaman." Senyap sebentar. Adhia sibuk menenangkan Andra. "Tarendra gimana? Sudah berhasil dihubungi?" Ilyas yang saat ini bertugas menjadi supir, bertanya pelan. Kepalanya ikut pusing karena Tarendra tadi sudah pamit pulang tapi nyatanya belum juga bertemu Adhia. Semoga tidak ada hal buruk terjadi padanya. Adhia menggeleng, wajahnya semakin pias. "Prioritas utama saya sekarang adalah Andra, pak. Tarendra sudah dewasa, sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Saya yakin, dia tahu apa yang sepatutnya dia lakukan. Semoga... " Adhia menjeda sejenak, menghela nafas, "Tarendra baik-baik saja." Saat tiba di rumah sakit, kembali Andra terkena kejang, kali ini disertai muntah, membuat Adhia dan ibu bos segera berlari ke UGD agar Andra segera mendapatkan penanganan yang tepat. Adhia kembali menangis sesenggukan melihat tenaga medis yang sibuk menangani Andra. Entah apa yang dilakukan mereka tapi yang pasti Adhia tahu, dokter dan perawat akan melakukan yang terbaik untuk anaknya. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama, saat Adhia harus mengurus administrasi. Semakin pusing kepalanya mendengar perkiraan biaya yang akan mungkin timbul. Apalagi pihak rumah sakit meminta uang muka sebagai deposit. Tabungannya tidak cukup. Andra juga belum punya BPJS karena terganjal masalah surat-surat resmi yang belum mereka punya. Buku nikah, kartu keluarga, mereka belum punya. Tarendra belum sempat mengurusnya. Gimana mau mengurusi surat-surat? Lah mereka sendiri kan nikah di bawah tangan. Waktu itu, asalkan tidak berbuat zina, asalkan sah dihadapan agama dan Tuhan, adalah pertimbangan utama. Berfikir bahwa restu orangtua Tarendra akan bisa dicapai seiring berjalan waktu. Nyatanya.... tidak. Bahkan walau sudah ada Andra. Ternyata... bahkan dengan cinta yang tulus, belum mampu untuk mengatasi segala rintangan. Tapi Adhia bisa bernafas lega, saat ibu bos berkata bahwa dia yang akan mengurus semua masalah biaya. Adhia berjanji akan melunasi dengan cara mencicil, potong gajinya tiap bulan. Tapi istri bos yang baik hati itu menggeleng dan berkata, "Yang penting sekarang Andra sudah mendapat perawatan terbaik. Soal uang, anggap saja ini rizki Andra dari Yang Di Atas yang diberikan lewat kami." Tak hentinya Adhia berucap syukur, berterima kasih karena sudah sangat terbantu. Berkali-kali dia memeluk ibu bos, serasa seperti memeluk ibu kandung sendiri, yang tidak pernah ia punyai. Kadang dia merasa heran jika ada teman sebayanya yang suka marah-marah pada orang tuanya hanya karena hal sepele. Mereka tidak tahu, bagi dirinya dan teman di panti, harapan terbesar mereka adalah mempunyai ayah ibu, dicintai oleh ayah ibunya. Andai bisa bertukar posisi, Adhia pasti mau. Adhia merasa waktu berjalan sangat lambat. Dia duduk ditemani ibu bos. Sementara Ilyas tampak mondar mandir menelpon seseorang. Waktu terasa berhenti bagi Adhia, saat seorang dokter akhirnya memanggilnya dan memberi kabar untuknya. Kabar buruk! Adhia bagai tersengat listrik mendengar penjelasan dari dokter. Dia menangis pilu, meratapi nasib anaknya. "Andra..." Rintihnya mengiris hati. "Adhia..." Terdengar suara lembut di telinganya, "Saya yakin ada hikmah dari kejadian ini. Kamu harus kuat ya. Lahir, hidup, rizki, jodoh dan mati, murni kuasa-Nya. Saya dan bapak akan selalu mendukungmu!" Adhia mengangguk lemah, matanya nyalang melihat ke arah Andra di brankar, yang tampak tenang. Tidak menangis lagi. Sungguh tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD