Karena cinta saja...,
Tak akan pernah cukup!
~~~
"Di... aku pulang agak malam hari ini ya. Mama minta aku pulang ke rumah. Aku usahakan tidak menginap. Dari kampus kalau masih sempat, aku jemput kamu di toko baru aku ke rumah mama. Maaf, aku belum bisa mengajakmu. Mama dan papa bahkan belum tahu kalau kita sudah menikah." Pemuda tampan itu, berbisik pelan ke telinga istrinya. Takut istrinya yang masih sangat belia itu semakin kecewa karena bahkan sampai tiga bulan setelah mereka menikah, dia sama sekali belum mengenalkannya sebagai istri ke keluarganya.
"Iya... gak papa. Kamu pergi aja. Kalau gak sempat jemput juga gak papa. Aku nanti ke panti aja, numpang tidur di panti. Lagian udah lama gak ketemu bunda dan adek-adek panti." Jawab Adhia, memalingkan wajah hingga memunggungi suaminya. Hendak berdiri dari kasur menuju kamar mandi sebelum suaminya tahu perubahan air mukanya.
Dia tidak pernah menuntut macam-macam dari suaminya itu. Dia tahu diri. Tapi sebagai seorang perempuan dia ingin diakui statusnya. Status sebagai seorang istri. Sah secara agama dan negara. Tak dipedulikannya gunjingan orang lain di sekitar rumah petak yang mereka sewa.
Dia memang tidak tahu persis keluarga suaminya karena memang belum pernah dikenalkan. Dia hanya tahu suaminya berasal dari keluarga kaya. Tapi bukan kekayaan yang dia incar hingga ia akhirnya mau menikahi pemuda itu. Tarendra Yudhistira.
"Hei... lihat aku..." Tarendra membalik badan istrinya, tercetak senyum kecut yang kentara dipaksakan di wajah ayu itu.
"Aku janji akan pelan-pelan membujuk mama papa untuk dapat menerimamu, menerima pernikahan kita. Bukan perkara yang mudah memang tapi aku akan tetap berusaha membujuk keluargaku ya..."
Anggukan disusul kecupan panjang di kening, tanda cinta.
"Kamu mandi dulu gih..., gantian, aku masak sebentar. Kemarin udah beli telur sama daun bawang agak banyak, jadi bisa bikin martabak telur ala-ala nih." Kata Adhia, melepaskan pelukan suaminya itu.
"Mmm... kamu udah ada uang? Maaf aku belum kasih uang bulanan. Mama baru mau kasih sekalian nanti pas ketemu." Tarendra meringis.
"Ini kan sudah awal bulan sayang..., jadi aku sudah gajian kemarin. Semalam uang kontrakan sudah kubayar. Jadi sisanya mayan bisa buat biaya sehari-hari kita makan." Jelas Adhia, tanpa tendensi apapun. Baginya, karena dia sekarang yang bekerja walaupun hanya bekerja di toko roti tak jauh dari sekolahnya dulu, upah yang didapatnya bisa dia gunakan untuk biaya hidup sehari-hari mereka.
"Ah ya... ibu juga kasih bonus dua ratus ribu. Semua karyawan dapat tambahan bonus karena penjualan meningkat bulan lalu. Aku dapat yang paling sedikit tapi alhamdulilah bisa buat tambahan beli beras." Kata Adhia lagi sambil sibuk membuat martabak telur ala dirinya, dipelajari dari ibu panti. Martabak telur ala-ala, disebutnya, karena tidak sanggup membeli martabak telur yang asli, jadi mereka harus kreatif dengan membuat yang mirip dan rasa yang juga hampir sama. Enak juga kok, wong sama-sama dari telur dan daun bawang. Cuma beda pakai daging dan tidak aja sih.
Adhia tidak tahu, apa yang dirasakan suaminya sekarang. Wajah tampan Tarendra menegang, berubah, tapi dia berusaha untuk tetap tenang. Dia merasa tidak berguna sebagai suami. Keputusan nekatnya menikahi Adhia, murni karena dia tidak ingin berbuat zina. Lebih baik menikahi Adhia. Tapi dia lupa kalau bahkan sampai sekarang dia masih menengadahkan tangan pada orang tuanya. Dia sama sekali belum bisa menghasilkan rupiah. Kalah jauh dibandingkan istrinya yang lebih muda darinya, tapi malah lebih dewasa.
Lima bulan menikah, dia selalu menyisihkan uang bulanan yang diberikan mamanya. Bahkan dia sengaja pindah dari kontrakan mewahnya ke rumah petak kontrakan bersama Adhia. Semua agar pengeluaran bisa tercukupi. Dia sengaja menghindari berkumpul dengan teman-teman akrabnya yang biasa nongkrong di kafe sekedar minum kopi mahal ataupun mencari wifi gratisan hanya dengan beli satu cup kopi. Sekarang, dia lebih bijak dengan memilih minum kopi Starling, Starbuck keliling yang sering mangkal di dekat rumah petak, atau bahkan minum kopi s**u ala Adhia. Berasa Vietnamese coffee ala Indonesia, alias kopi s**u. Adhia kreatif. Saat dia ingin minum kopi s**u ala Vietnamese, dia membuat kopi tubruk diseduh langsung di panci didihkan dengan air, kemudian disaring dan diberi krimer sachet. Hasilnya? Whoalaa... enaaak... karena dibuat dengan cinta.
Dia hanya tak menyangka, kehidupan pernikahan yang sebenarnya, ternyata penuh tantangan. Apalagi keluarganya belum memberi restu karena status Adhia yang anak panti. Dia harus pintar menutupi status pernikahannya, dari keluarga dan teman-teman kampusnya. Tujuannya menikahi Adhia, murni karena ia tidak mau berbuat zina. Adhia gadis baik, walau berasal dari panti tanpa asal usul yang jelas. Dan dia lelaki pertama bagi Adhia. Membuatnya sangat mensyukuri hal itu. Istrinya yang masih belia, belum genap sembilan belas tahun, tidak neko-neko, tidak pernah mengeluh. Bahkan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup mereka. Membuatnya semakin jatuh cinta pada Adhia.
"Terima kasih sayang... love you..."
~~~
"Ren... aku berangkat dulu ya. Ibu minta aku datang agak pagi karena nanti mau diajak beli buku resep sama beli perlengkapan dan bahan-bahan kue. Uang aku taruh di atas dompetmu ya. Daaa... aku berangkat dulu. Assalamualaikum..."
"Tungguuu Di... aku antarrr..." Tarendra segera melesat keluar dari kamar mandi agar bisa mengejar Adhia.
"Kamu cantik banget. Tambah cantik banget hari ini." Pujinya tulus pada Adhia yang tampak beda hari ini. Memakai midi skirt warna hitam dan kemeja berlengan warna peach sampai siku. Bibir Adhia yang penuh dipoles lipstick warna senada baju. Cantik tapi tidak berlebihan.
Semalam Tarendra bilang ingin pinjam uang dua ratus ribu. Mamanya belum transfer. Sepertinya mamanya sudah curiga. Jadi dia harus bisa mensiasati uang yang tersisa. Dan Adhia berinisiatif memberinya uang. Dia sungguh merasa jadi suami yang tidak berguna kalau seperti ini. Makanya kalau cuma mengantar Adhia ke toko, dia masih mampu.
Kuliahnya hampir beres, kurang satu semester lagi dia bisa mengajukan judul skripsi. Dengan otaknya yang encer, dia berharap bisa segera selesai kemudian cari pekerjaan yang layak. Tidak mungkin minta kerja di salah satu usaha keluarganya. Selama status pernikahannya dengan Adhia belum direstui, selama itu pula dia harus berusaha sendiri.
Siang menjelang sore, teman-teman kampus mengajaknya nongkrong di salah satu mall. Sambil menunggu dosen matkul berikutnya. Ada lima orang termasuk dia. Tiga cowok, dua cewek. Salah satunya dia tahu, suka padanya, bahkan sampai sekarang, yang tidak malu-malu duduk di sebelahnya, sesekali terkadang menempelkan tubuh seksinya ke badannya.
Tarendra tidak habis pikir dengan gadis-gadis macam ini. Dia saja merasa sungkan dan beberapa kali menggeser tubuhnya menjauhi gadis itu. Untunglah Adhia bukan tipe gadis macam ini. Tapi temannya itu tipe nekat, semakin Tarendra menjauh semakin berani dia menempelkan tubuh seksinya. Hingga akhirnya terdengar suara temannya yang lain.
"Eeh lihat tuh... arah jam sebelas. Cewek bening banget. Hari gini masih ada gitu ya cewek macam gitu. Cantik, tapi sederhana. Istri-able banget."
Mereka yang sedang berada di meja itu segera melihat ke arah yang dimaksud. Terlihat seorang perempuan awal empat puluh yang masih tetap cantik terawat, berjalan bersisian bersama seorang gadis. Ada seorang pemuda juga. Sepertinya sih anaknya ibu itu, karena bertampang mirip.
"Aah... gitu doang kok dibilang cantik. Di mana cantiknya? Kampungan gitu. Coba lihat, dari atas sampai bawah, bajunya biasa aja, sepatunya juga cuma kaya gitu." Celetuk salah seorang cewek yang segera diamini oleh perempuan satu lagi yang sedang asyik memeluk Tarendra.
"Looh... ngaca dong! Gue mah yakin semua yang ada di gadis itu original! Bukan hasil oplas kaya lu berdua, atau hasil make up. Coba kalian berani gak keluar rumah tanpa bermake up tebal kaya gitu? Diih... gue mah ogah punya bini cem kalian ini. Fake semua!"
"Nuduh ih... ini bukan oplas! Tapi karena kami pandai mempercantik diri tahu!" Bentak salah seorang gadis
"Alis... ditato. Bulu mata... dikeriting, lagian gue heran kok bulu mata bisa dikeriting sih. Apa lagi? Rambut... pakai hair extension. Taah... eta naon deui?"
Sementara yang lain sibuk adu mulut, Tarendra memperhatikan gadis tadi yang juga melihat ke arahnya, walau hanya sebentar. Dilihatnya gadis itu segera mengikuti perempuan setengah baya itu. Langkah kakinya tergesa, berusaha mengimbangi. Tubuhnya imut, mungil. Keningnya berkerut saat melihat si pemuda yang kemudian mendekati gadis mungil itu, mengulurkan tangan besarnya, mungkin berniat menggandeng gadis tadi agar bisa menyamai langkahnya. Tapi ditolak oleh gadis itu. Kepalanya menggeleng, bahkan sekarang dia sedikit berlari.
~~~
"Dari mana saja? Jam segini baru pulang?" Suara menahan emosi Tarendra, bukannya menjawab salam yang diucapkan Adhia saat membuka pintu rumah petak mereka malah mengomel gak jelas. Jam delapan malam saat Adhia membuka pintu. Biasanya Adhia sampai rumah sebelum magrib. Menyiapkan makan malam untuknya.
Tampak Adhia menghela nafas. Kepalanya pusing, perutnya mual. Tadi dia telat makan. Ibu Bos memintanya untuk membantu mencoba resep baru. Dan karena keasyikan, dia lupa jam makan dan pulang. Belum masak makan malam juga untuk Tarendra.
"Ini tadi aku beli lele bakar untukmu makan malam. Maaf aku tidak sempat masak. Aku capek sekali. Mau mandi terus tidur. Makanlah!" Adhia tidak mau menjawab pertanyaan itu, tapi segera menyiapkan piring dan segelas air untuk makan malam suaminya.
"Adhia! Kamu belum jawab pertanyaanku! Dari mana kamu sampai jam segini baru pulang? Apa begitu seorang istri yang baik ha?!!" Entah kenapa emosi Tarendra meluap, mengingat kembali sosok pemuda yang tadi memberi perhatian pada Adhia. Dia... cemburu!
Tarenda membalik tubuh mungil istrinya. Tapi seketika dia kaget melihat sudah ada kolam air mata di mata bulat indah istrinya. Adhia punyai mata bulat yang sangat cantik. Ditambah lagi dengan bulu mata yang sangat lentik, alis yang melengkung sempurna walau tanpa bantuan pensil alis.
"Apa aku pernah kamu anggap sebagai seorang istri? Apa begitu tingkah laku seorang lelaki yang sudah beristri? Bermesaraan dengan perempuan lain? Aku tidak pernah minta macam-macam. Bukan masalah uangnya yang kamu pakai untuk nongkrong di kafe. Bukan itu. Aku tidak pernah menuntut macam-macam padamu! Aku cukup tahu diri siapa aku. Aku bukanlah perempuan cantik dari keluarga kaya raya dengan asal usul jelas! Aku hanyalah Adhia, anak buangan, anak panti asuhan! Bahkan sampai sekarang pun aku masih menunggu janjimu untuk membawaku ke keluargamu! Tapi mana? Aku tidak berharap yang muluk-muluk padamu, yang dengan bangga menggandengku, mengenalkanmu pada teman-temanmu bahwa aku adalah istrimu! Tidak. Cukup kamu akui saja aku sebagai seorang istri. Perlakukan aku selayaknya seorang istri!" Suara itu bergetar, sebisa mungkin menahan tangis. Adhia, selama sembilan belas tahun ini, dia sudah kenyang dihina, dicaci maki. Tapi dia telah terbiasa, tidak akan menangis untuk hal itu.
Dia tidak pernah tahu apa alasannya hingga ayah ibu kandungannya membuangnya ke panti asuhan. Setidaknya dengan dia tinggal di panti, dia tidak kekurangan kasih sayang. Pengurus panti menyayangi mereka. Dan jangan lupa, banyak teman senasib dengannya di panti.
Ini adalah pertengkaran pertama mereka setelah menikah. Tarendra kaget mendengar pengakuan Adhia. Dia tahu dia yang salah, tapi layaknya pengecut, dia malah mengkambinghitamkan Adhia. Padaha selama ini, Adhia-lah tulang punggung keluarga karena dia masih menengadahkan tangan pada mama papanya.
Seharusnya dia malu, tapi dia malah marah-marah gak jelas. Pikirannya kacau. Antara kuliah, skripsi, mama dan keluarga besarnya, dan yang terpenting adalah Adhia. Seharusnya dia melindungi istri mungilnya itu. Bukannya malah bersikap pengecut seperti ini.
Tarendra kesal bukan kepalang. Dia butuh tempat untuk bercerita. Didengarnya suara isak tangis dari dalam kamar mandi. Adhia, yang dia tahu, adalah perempuan tangguh. Hanya sekali dia melihat istrinya menangis. Pada saat acara sungkeman pernikahan mereka. Saat Adhia memohon ijin pada ibu pengurus panti. Tarendra tahu, harusnya dia yang bertanggung jawab dalam rumah tangga mereka, selain sebagai kepala keluarga juga karena dia yang berinisiatif menikahi Adhia, walau secara siri.
Dia sungguh mencintai Adhia. Dia tidak mau merusak kesucian gadis itu. Bisa saja dia meminta Adhia untuk melayani nafsunya. Tapi dia tidak mau. Keputusannya menikahi Adhia, murni karena dia tidak mau berbuat dosa dengan berzina. Tergesa-gesa memang. Tapi dia bisa apa? Mereka berdua yakin, dengan cinta, akan sanggup mengalahkan rintangan yang ada. Papa mamanya sekalipun!
Dilajukannya motor secepat yang dia bisa. Motor sport pemberian mamanya sebagai hadiah ulang tahun. Tak butuh waktu lama, dia tiba di tempat yang dituju.
Sebuah coffee shop kecil yang sedang ramai pengunjung. Tukang parkir yang dikenalnya mengangguk tanda hormat. Segera setelah parkir, dia menuju sebuah ruangan yang bisa disebut kantor. Orang yang dicarinya pasti sedang ada di situ. Mungkin sedang menghitung pendapatan coffee shopnya hari ini.
Benar saja. Dia melihat sosok perempuan cantik itu. Dipeluknya dari belakang perempuan itu. Malam ini dia membutuhkannya, setidaknya, sejenak dia bisa melupakan Adhia saat dia sedang ada di sini bersama perempuan cantik ini.