Mereka berdua tiba dirumah sekitar pukul delapan malam, masih dengan diam dan dingin.
" mas...," panggil Naura.
"Hmmm..," balas Alex tanpa melihatnya dan sibuk membuka gesper.
" Ternyata aku tidak sanggup mendengar kejujuran kamu, saat melihat kamu menatap Alya, memujinya, mencintainya. Apa sebaiknya kita berpisah saja?"
Alex yang sejak tadi sibuk sendiri seketika menghentikan aktivitasnya dan melihat ke arah Naura yang terlihat tegar dan tegas memancar di raut wajahnya.
"Tidak akan ada perceraian" jawab Alex tenang seraya berhasil membuka gesper.
"Egois "! jawab Naura.
" kamu pikir berpisah semudah itu?"
" kamu pikir semuanya akan lebih mudah ketika hidup bersama dengan orang yang tidak mencintai kita. Bayangkan tiga tahun kamu bergumul dengan kebohongan, mas! apa kamu pikir aku tidak sakit?"
Alex diam, jauh di lubuk hatinya ada sebuah perasaan bersalah, tapi iya tidak bisa mengungkapkan segala apa yang dia rasakan saat ini.
Setelah tidak ada jawaban dari Alex, dengan kecewa Naura pergi meninggalkan suaminya itu, tapi ia tidak masuk ke kamarnya, melainkan kamar tamu.
" kamarmu disini Naura!" ujar Alex seraya memegang tangan istrinya dan menunjukkan kamar mereka berdua.
" Mulai sekarang aku tidak ingin satu kamar denganmu, rasanya aneh berada satu ranjang dengan pria asing."
"aku suamimu" jawab Alex
" secara status iya, tapi hatimu bukan."
Naura melepaskan pegangan tangan Alex kemudian masuk kedalam kamar dan langsung mengunci pintu. Sementara Alex mematung melihat istrinya berlalu.
Di tempat lain, Alya sedang duduk sendiri menyandarkan tubuhnya pada dipan. Ia tinggal di apartemen yang tidak jauh dari kantor, hidup mandiri dan Yaris tidak memiliki pergaulan selain Naura .
Sejak dulu, sejak ia di tarik oleh keluarga Naura, ia tidak di izinkan dekat dengan siapapun. Bahkan ketika mereka sekolah, naura marah jika Alya dapat teman baru, jadi kemanapun Naura harus ditemani dirinya. Sempat ada perasaan lelah di hati Alya, tapi ia menyayangi Naura seperti saudaranya sendiri.
Sebelum Alex menikah dengan Naura, Alya di panggil oleh kedua orang tua angkatnya itu, ia disidang semalam dengan kata-kata yang cukup sakit.
" saya tidak mau tahu, kamu harus ngalah untuk Naura. saya tidak ingin anak saya patah hati. Kurang apa kami padamu, bahkan kami tidak pernah membedakan apapun yang diberikan pada Naura untuk mu." ucap ibu Naura .
" saya mencintainya, Bu". jawab Alya.
" Halah.. kamu bisa cari yang lain, Naura itu sakit-sakitan sejak kecil, saya tidak mau lihat dia sakit karena patah hati, jadi tolong mengalah!"
Sebagai manusia biasa ada sakit di hati Alya ketika apa yang sudah diberikan menjadi bahan ungkitan, tapi ucapan ibu Naura benar, semua yang sudah diberikan tidak bisa terbalas, mungkin hanya dengan mengorbankan perasaan kecilnya untuk membalas.
[Aku oke!]
Alya melihat ponselnya, sebuah jawaban singkat dari Naura. Ia tak bisa begitu saja tidak peduli. Bahkan hingga saat ini ia masih berusaha terlihat baik-baik saja, ceria dan merasakan sakit sendiri ketika Alex yang masih dicintainya begitu mementingkan Naura.
Ada sejumput rasa tidak nyaman ketika Alex mengungkapkan perasaanya, ingin sekali aja egois dan membalas cinta itu, tapi rasanya Alya tidak sanggup. Ia pun beranjak, pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri.
keluar dari kamar mandi, ponsel Alya berdering, sebuah panggilan dari Alex .
" Hallo," jawab Alya
" Ay, maaf aku ganggu malam-malam begini, laporan tadi sudah kamu kirim ke email belum?"
" Sudah, mas"
" Gak ada. Bisa kamu kirim ulang? mau ku kerjakan malam ini."
"Baik "
" kamu baik-baik saja?"
"Aku, oke", mungkin karena baru pulang saja". jawab Alya
" jaga kesehatan, jangan terlalu lelah! kamu masih sering mimisan?"
Naura yang hendak masuk kedalam kamar tak sengaja mendengar percakapan terakhir suaminya itu. Ia yakin bila yang ditelepon adalah Alya. Sebuah rasa sakit sudah tak bisa diungkapkan, tapi ia memilih untuk diam sekarang.
Sementara Alex termangu ketika panggilan telepon ditutup dan ia melihat Naura sedang mematung di ambang pintu. Raut wajah Alex seketika memucat.