Sebuah tangan kecil melingkar di leher kanaya, memberikan pelukan hangat pada gadis berhidung bangir yang masih enggan membuka mata. Kecupan-kecupan kecil mendarat bertubi-tubi di seluruh wajahnya, mau tidak mau membuat Kanaya harus membuka sedikit ujung mata, melihat siapakah pelaku yang telah berani mengusik paginya yang indah.
Gadis kecil dengan rambut ikal terikat, berpura-pura terlelap saat ia melihat wanita yang dipanggil mama terbangun karena ulah jahilnya. Kedua mata dengan bulu mata hitam lentik itu, tidak dapat membohongi Kanaya yang telah mengubah posisi tidur, menghadap pada gadis kecil pengganggu itu.
“Siapa tuan putri yang tidur di samping Mama ini? Ooh ... ternyata putri Abigail yang imut.” Kanaya menggelitik tubuh mungil Abigail yang spontan bergerak bangun menghindar.
Tawa mereka pecah di pagi yang sudah mulai meninggi. Bercanda dan bergulung di dalam selimut seolah sudah menjadi rutinitas wajib mereka setiap hari. seringnya Abigail mengusik tidur kanaya atau gadis itu yang mengganggu pagi Abigail.
“Mama, jangan cium Abi, napas Mama bau naga!” seru Abigail menghindari ciuman kanaya yang gemas dengan tingkah lucu gadis kecil itu.
“Whaaatt? Napas Mama bau? Terus yang tadi cium Mama siapa?” Kanaya semakin kuat menggelitiki tubuh Abigail yang kini sudah berlari menjauh ke arah pintu kamar.
Kanaya tertawa lepas melihat bocah kecil itu berlari membuka pintu, setelah sukses mengacaukan tidurnya. Perempuan itu mengikat rambut panjangnya, kemudian beranjak menuju kamar mandi, membersihkan diri dan turun ke bawah untuk sarapan. Ingin melanjutkan tidur lagi, kantuknya sudah hilang, turun ke bawah dalam keadaan belum gosok gigi dan napas bau naga, jelas membuat malu.
***
Aasfa, duduk di meja makan dengan muka cemberut. Abigail yang biasa menurut, kali ini agak sedikit rewel. Menolak untuk duduk diam menikmati sarapannya. Semenjak ada Kanaya tinggal di rumah mereka, Abigail terlihat semakin bertingkah dan manja.
“Abi, makan sarapanmu atau Papa beri hukuman berdiri di samping pintu kamar!” seru Aasfa tidak sabar.
Uap kopi panas yang mengepul menebarkan aroma khas, tidak dapat meredakan kemarahan Aasfa. Ia menikmati sarapan dengan terus memperhatikan Abigail yang menunduk takut, tetapi kedua tangan bocah itu tetap membuat keriuhan dengan memukulkan sendok pada piring.
“ABI! Kalau kau tidak berhenti membuat keributan, Papa akan benar-benar menghukummu!”
Bentakan keras Aasfa membuat beberapa pelayan yang lewat kaget, Baby sitter yang berusaha memujuk Abigail, dilarang oleh Aasfa untuk mendekat. Sementara bocah kecil yang nakal itu menunduk semakin dalam, Abigail tidak menangis tetapi dalam hatinya terucap doa semoga Kanaya segara keluar dari kamar.
“Beginikah caramu membesarkan seorang anak? Dengan bentakan? Apa kau dulu juga sering mendapatkan kekerasan, hingga dendammu kau lampiaskan pada Abigail?” tanya Kanaya ketus.
Gadis itu merasa kesal, dirinya yang berada di ujung tangga saja, merasakan kaget luar biasa mendengar bentakan Aasfa, apalagi Abigail yang baru berusia tiga tahun.
Abigail yang merasa mendapatkan bantuan seperti tertiup angin segar, wajah yang tadi hanya menunduk takut mulai memainkan peran menjadi anak yang teraniaya. Tangis yang semula tidak ada, mulai terdengar seperti isakan kecil, semakin lama tangis itu menjadi, Sedu sedan yang sangat memilukan.
Kanaya memelototkan mata pada Aasfa, ini sangat tidak bisa diterima. Bagaimana bisa suasana pagi seorang anak kecil yang masih polos, sudah dirusak oleh laki-laki tua bangka yang tidak sadarkan diri. Gadis itu mendekati Abigail, mengusap air mata di pipi montok anak tersebut.
“Apa yang kau lihat? Dia tadi tidak menangis, anak ini hanya berpura-pura mencari simpatimu!” ujar Aasfa membela diri.
Anak ini sangat pintar berakting, mirip mamanya! Batin Laki-laki itu kesal.
Mata Aasfa melotot pada Abigail. Menuntut agar anaknya memberikan penjelasan pada Kanaya, tetapi gadis kecil itu semakin menguatkan tangisnya dan masuk semakin dalam di pelukan Kanaya.
“Ya ... awalnya Abigail tidak menangis, tetapi setelah kau berteriak padanya dan sekarang memelototkan matamu, tangisnya semakin besar,” rungut Kanaya.
Wanita itu heran, kenapa sulit sekali untuk Aasfa mengalah pada seorang anak kecil, ternyata sifat egois laki-laki itu tidak pernah berubah, bahkan semakin bertambah parah.
“Sesukamu saja, manjakan dia dan buat dia jadi artis besar. Karena bakat akting anak ini, bisa meruntuhkan sebuah negara!” ujar Aasfa, sambil menujuk pada Abigail.
Aasfa meletakkan koran yang belum dibaca sama sekali, keluar dari ruang makan menuju ruang utama. Dirinya tidak mau berlama-lama melayani dua orang manusia yang tercipta satu gender dan terkenal di dunia ini sebagai mahkluk yang tidap pernah salah.
Berhadapan dengan perempuan tidak akan pernah menang, apalagi jika mereka sudah berkolaborasi. Sebagai manusia yang masih waras lebih baik aku mengalah dari pada menjadi korban keganasann perempuan yang selalu benar! Rutuk laki-laki itu pelan.
Kanaya mendekatkan wajahnya pada Abigail. “Lihat ayahmu, sifat kekanak-kanakannya mengalahkan bocah. Apa salahnya mengalah dengan anak,” sesal kanaya. “Dan Abi, Mama tau kamu hanya berpura-pura menangis, cepat hentikan, kemudian minta maaf pada Papa!”
Kanaya mengangkat dagu Abigail, anak kecil itu memberikan senyum lebar padanya sebelum memeluk erat leher wanita itu dan mencium kedua pipinya.
“Mama, sangat wangi,” Abigail memberikan pujian pada Kanaya.
“Ya, Mama sudah mandi dan tidak bau naga lagi, tetapi anak Mama yang nakal ini harus segera minta maaf pada papa, karena sudah membuatnya kesal,”
Hidung bangir Kanaya menyentuh hidung Abigail, kebiasaan yang selalu dilakukannya ketika berbicara pada anak kecil itu.
“Ayo, kita temui Papa untuk minta maaf,” ajak Kanaya. Tangannya cekatan membetulkan pita pada rambut ikal Abigail.
Gadis kecil itu berlari ke ruang utama di mana Aasfa masih menggerutu. Kesal disalahkan karena ulah anak kecil yang suka mencari perhatian, tetapi saat putrinya mendekat, ia tidak bisa untuk memasang tampang galak.
Aasfa menggendong dan mencium pipi montok milik Abigail, sekilas tercium bau khas parfum yang biasa Kanaya gunakan. Pria itu jadi semakin suka mencium wajah putrinya.
Ayah yang baik, tetapi terlalu jahat untukku. gumam Kanaya sendirian saat melihat Aasfa memperlakukan putrinya dengan sayang. ia hendak berbalik arah, namun langkahnya terhenti saat Aasfa memanggil.
“Kay, apa kau punya acara hari ini?” tanya Aasfa, ia berencana mengajak Kanaya dan Abigail piknik di taman kota.
“Hanya janji nonton dengan Revan, dan pulangnya kami akan mampir ke apartemen Amelia,” sahut Kanaya.
Aasfa melepaskan Abigail dari gendongannya, mendekat perlahan pada kanaya, tetapi gadis itu justru melangkah mundur.
“Aku ingin mengajakmu piknik. Bertiga dengan Abigail,”
Ada rasa panas di hati Aasfa saat mendengar Kanaya megatakan dirinya sudah memiliki janji dengan Revan.
“Maaf, aku tidak bisa membatalkan janji,” tolak Kanaya tegas.
Kanaya dapat melihat raut kecewa di wajah Aasfa dan Abigail, tetapi mau bagaimana lagi. Janjinya untuk menemani Revan menonton sudah terucap seminggu yang lalu dan sudah dua kali batal karena urusan pekerjaan. Jika sekarang harus batal lagi, dirinya tidak akan memiliki muka untuk bertemu Revan dan Amelia.
***
Metropole XXI, salah satu bioskop terbaik di Jakarta, tak pernah sepi pengunjung. Wajah Revan yang semula semringah, bahagia bisa menghabiskan ujung minggu bersama kanaya berubah suram melihat Aasfa dan Abigail menyusul mereka tanpa permisi.
Aasfa ternyata pejuang cinta sejati. Lihat saja, dia sangat pintar memanfaatkan putrinya untuk menjauhkan Kanaya dan Revan. Gadis kecil itu selalu menempel pada Kanaya, mirip ulat bulu yang hinggap di daun muda. Bagaimana Revan bisa melancarkan aksi untuk membuka hati wanita yang dulu pernah dekat dengannya, jika kedua ayah dan anak itu sama sekali tidak memberi kesempatan?
Akhirnya acara menonton film romantis berubah menjadi ajang menjaga Abigail. Bocah kecil itu, lincah melompat kesana kemari tanpa kenal lelah. Lebih menyebalkan lagi, walaupun baby sitternya ikut serta, tetap saja Abigail selalu menempel pada Kanaya. Mau tidak mau Revan harus mengikhlaskan pujaan hatinya bermain bersama Abigail dan membiarkan Aasfa membawanya terdampar di sebuah Coffeshop, menikmati segelas kopi.
“Kau ingat, empat tahun lalu aku pernah mengatakan menyukai seseorang?” tanya Revan pada Aasfa. Tangannya memainkan batang rokok yang sedari tadi menyala, tetapi tak di hisapnya.
Revan merasa sudah saatnya Aasfa mengetahui siapa orang yang sejak dulu di sukai olehnya dan bagaimana cinta itu kandas demi nama persahabatan. Namun, sayang pengorbanan yang ia lakukan sia-sia karena sahabatnya terlalu buta dengan cinta. Sudah saatnya juga Aasfa mengetahui, bahwa kali ini ia tidak akan menyerahkan Kanaya lagi, bertandinglah dengan adil untuk mendapatkan cinta wanita itu.
“Aku ingat, bukankah teman kuliah Amelia? Si gajah Afrika yang dulu dijodohkan denganku? Di mana dia sekarang?” tanya Aasfa bertubi-tubi.
Kopi yang di minum Aasfa nyaris tumpah, mengingat sahabatnya yang terkenal seantero jakarta bisa mencintai seorang gadis dengan fisik yang minimalis.
Revan mengeluarkan tawa sinis. “Kau terlalu memandang rendah pada fisik seseorang, tidakkah kau tau empat tahun sudah cukup untuk membuat seseorang berubah?” tanya Revan lagi.
Mata tajam Revan melihat Aasfa dengan pandangan merendahkan, sedangkan Aasfa yang mendengar setiap ucapan Revan, merasakan ada getar amarah di balik suaranya. Apakah Revan merasa Aasfa telah menghina perempuan yang ia cintai?
Terbit rasa bersalah di hari Aasfa. “Aku minta maaf, aku pikir kau sudah melupakan gajah Afrika itu,” ucap Aasfa tanpa perasaan.
Revan meneguk kopinya dan memesan sebotol air mineral pada waitres yang lewat, kemudian menyerahkannya pada Aasfa yang keheranan.
“Ambillah! Air ini akan membantu mengusir rasa bersalahmu saat tau siapa yang kau panggil gajah Afrika,”
Aasfa tidak ingin berdebat dengan Revan, sahabatnya itu memiliki temperamen yang mudah panas jika menyinggung soal hati. Ia menerima begitu saja air mineral yang diberikan oleh Revan. Tatap matanya mengikuti arah pandang sang sahabat yang tak berkedip memperhatikan sosok gadis berambut panjang yang sedang sibuk melayani tingkah Abigail.
“Kau lihat di sana? Yang sedang menemani anakmu bermain? Itulah gajah Afrika yang kau tinggalkan di hari pernikahan kalian. Wanita berhati emas yang aku ikhlaskan untukmu empat tahun lalu!” ujar Revan.
Mata tajamnya tak lepas memperhatikan Kanaya yang sesekali melemparkan senyum manis saat mata mereka beradu pandang.
“Tapi sekarang, aku tidak akan dengan mudah menyerahkan cintaku padamu. Cukup kebaikan hatiku kau abaikan satu kali, setelah ini jika kau inginkan Kanaya bersainglah yang adil. Karena aku pasti akan mendapatkan cintaku kembali!” tegas Revan.
Pemuda itu mereguk habis kopinya, menepuk pundak Aasfa perlahan sebelum meninggalkan sahabatnya yang tampak terkejut mendengar semua yang ia ucapkan. Biarlah sekali ini Revan menjadi seorang sahabat yang egois, mencintai dan kehilangan tanpa berjuang rasanya sangat sakit karena di penuhi penyesalan, dan pemuda yang memiliki tatapan tajam itu tidak akan mengulangi kebodohannya untuk yang kedua kali.
Aasfa tersentak, ada rasa tidak percaya dalam hati pemuda berlesung pipi itu, tetapi melihat keseriusan di wajah Revan, tidak mungkin sahabatnya berbohong. Berulang kali ia meneguk air mineral pemberian Revan. Sahabatnya benar, ia membutuhkan air ini untuk mengurangi rasa keterkejutannya.
Ia memperhatikan Revan dan Kanaya yang sedang bermain bersama Abigail, terlihat bagaimana mereka begitu akrab. Sahabatnya benar dan selalu benar, selama ini ia terlalu dibutakan cinta Arinda hingga melupakan pengorbanan sahabat baiknya sendiri yang telah mengikhlaskan cintanya.
Namun, sekali lagi Aasfa lalai karena menerima begitu banyak kemanjaan dari orang-orang disekitarnya, hingga ia lupa menjaga perasaan sesama manusia. Dirinya tidak pantas mengejar cinta Kanaya, tidak pantas mendapatkan kebaikan dari gadis itu.
Penghinaan yang dulu ia berikan pasti telah menyakiti hati perempuan lembut itu. Bersyukur saja Kanaya tidak menyimpan dendam padanya. Namun, sekali lagi. ini soal hati, bisakah ia melepaskan Kanaya? Hatinya sudah dipenuhi oleh sikap keibuan gadis itu pada Abigail yang juga sangat menginginkan Kanaya menjadi ibunya.
“Abi, ayo kita pulang. Papa tiba-tiba di telepon Klien,” ajak Aasfa.
Revan dan Abigail melihat penuh keheranan, kenapa tiba-tiba Aasfa mengajak putrinya pulang, alasan klasik yang tidak masuk akal diberikan laki-laki itu mengundang kecurigaan mereka berdua.
“Aku akan bersaing sehat denganmu. Untuk sekarang aku persilahkan kau maju lebih dulu,” bisik Aasfa pada Revan.
Sudah saatnya, ia menunjukkan sifat gentlemen sebagai seorang laki-laki. Rasa malu, bersalah, sesal dan kecewa membuat Aasfa memilih memberikan kesempatan pada Revan untuk maju lebih dulu, tetapi tidak berarti ia akan mundur.
Revan tersenyum lebar, menunjukkan tinjunya mengajak Aasfa untuk tos ala laki-laki macho versi mereka berdua. seolah sudah terjalin kesepakatan yang tak kasat mata di antara mereka berdua.
Mata Kanaya menyipit, melihat kedua laki-laki di hadapannya dengan penuh curiga. Feelingnya mengatakan ada sesuatu yang terjadi antara Revan dan Aasfa, tetapi juga berhubungan dengan dirinya.