Awal Pembalasan Dendam

2076 Words
Seluruh pelayan disibukkan oleh permintaan Kanaya yang ingin bertukar kamar dengan Aasfa, walaupun mereka khawatir nantinya akan menjadi bulan-bulanan lelaki itu, tetapi Kanaya bisa meyakinkan mereka, kalau semuanya akan menjadi tanggung jawabnya. Kanaya tersenyum puas melihat hasil kerja pelayan di rumah Aasfa, ternyata semua sangat cekatan. Dalam hitungan menit, semua pakaian dan barang-barang pribadi milik Aasfa telah bertukar tempat dengan miliknya. Gadis itu tidur menelantang di kamar barunya dengan bibir yang selalu merekahkan senyum, ia membayangkan bagaimana reaksi Aasfa ketika mengetahui sebuah kenyataan pedih yang sebentar lagi akan diterima. Ini baru permulaan Aasfa, masih banyak cerita sedih yang akan aku siapkan untukmu. Batin kanaya. Semua rencana sudah tersusun rapi di otak gadis itu, memberi pelajaran pada tuan muda yang angkuh agar mengerti bagaimana caranya menunduk hormat pada orang lain, sangat menyenangkan. Lagi pula ini sudah lama menjadi skenario yang dirancang olehnya. Mengubah seekor tikus menjadi singa sangat sulit, bahkan tidak mungkin. Namun, mengubah seekor singa menjadi tikus, sangat mudah. Patahkan saja taringnya, cabut semua kuku dan kurung singa itu di dalam sangkar, percayalah singa itu akan menurut padamu. Kini saatnya Kanaya bersantai, melihat seekor singa berubah menjadi seekor kucing tanpa taring. Pertunjukkan hari ini masih permulaan, besok aksi panggung yang sesungguhnya akan memeriahkan kehidupan Aasfa. “Nona, Anda sudah di tunggu oleh Tuan Anggono dan Nyonya Wike di lantai bawah,” panggil seorang pelayan dari balik pintu kamar. “Ya, aku akan segera turun!” sahut Kanaya setengah berteriak. Ia segera beranjak bangun dan turun ke bawah menemui orang yang memiliki peran besar, mengubah hidupnya. “Mama, Papa, selamat datang kembali di istanamu,” sambut kanaya pada orang tua Aasfa. Mencium tangan kedua orang tua itu dengan takzim dan membawa mereka ke ruang utama. Duduk di sana sambil menunggu kepulangan Aasfa, memberikan laki-laki itu kejutan yang tak akan pernah ia duga seumur hidup. “Papa dan Mama baru saja tiba, langsung kemari. Bagaimana dengan Revan, kau sudah menyuruhnya untuk datang?” tanya Anggono antusias. “Sudah, Pah. Sebentar lagi mereka semua akan tiba,” jawab Kanaya sopan. Ia masuk ke dalam pelukan Wike dan menggelendot manja tanpa rasa sungkan, seperti kepada ibunya sendiri. “Sudah saatnya kau meikmati semua ini. Asalkan kau mengizinkan kami tinggal di sini, sudah cukup untuk Mama dan Papa berterima kasih,” ucap Wike. Tangan tuanya mengusap rambut Kanaya lembut. Keakraban mereka bertiga terhenti dengan serentaknya kepulangan Aasfa dan kedatangan Revan serta Amelia. Ketiga orang itu tampak kaget melihat kehadiran Anggono dan Wike, terlebih lagi untuk Aasfa yang tidak mengetahui kepulangan kedua orang tuanya. “Papa, Mama? kenapa kalian tidak mengabariku jika ingin pulang? aku bisa menjemputmu di bandara!” ujar Aasfa. Ia memeluk tubuh tua Anggono dan Wike penuh rasa rindu, disusul dengan Revan dan Amelia yang masih terpaku karena kaget. Anggono menyuruh Revan dan Aasfa untuk duduk, orang tua itu mulai terlihat serius. Wajah tua dengan aura bersahaja tetapi penuh wibawa yang tak pernah luntur itu, mulai menanyakan sebuah surat perjanjian kepada Revan. “Ayahmu sudah memberikan sebuah surat perjanjian yang pernah kami buat empat tahun lalu?” tanya Anggono, yang di balas dengan anggukan oleh pemuda itu. “Kau membawa surat perjanjiannya?” tanya Anggono kembali. Revan sigap membuka briefcase yang memang selalu ia bawa, dan mengeluarkan sebuah berkas yang diberikan oleh ayahnya tadi pagi, selaku ketua tim legal officer untuk Golden Company and Group. “Saya sudah membawakannya untuk Anda, pak,” sahut Revan. “Kau, bacakan itu untuk kami dengarkan, dan Amelia tetaplah duduk di situ temani Kanaya!” perintah Anggono pada Revan dan Amelia. “Baik, Om, eh pak,” jawab Revan gagap. Aasfa masih belum mengerti dengan keadaan yang akan terjadi, hanya menampilkann senyum simpul melihat gelagat Revan. Sahabatnya tampak gugup, tidak segalak saat berurusan dengannya. Ruang utama terasa lengang meskipun ada enam orang yang duduk di ruangan itu, serta beberapa pelayan yang menyuguhkan minuman untuk mereka semua. Suasana yang semula hening mulai terasa panas dengan dibacakannya kata demi kata surat perjanjian yang pernah dibuat oleh Anggono dan Nirman, empat tahun silam. Mulut Amelia terbuka lebar, mata Revan tak berkedip, dan Kanaya hanya mengulum senyum, sedangkan Aasfa berdiri dengan kedua tangan terkepal penuh amarah. Isi surat perjanjian itu dengan jelas mengatakan bahwa seluruh saham Golden Company and Group serta harta bergerak maupun tidak bergerak milik keluarga Anggono jatuh ketangan Kanaya. Artinya mulai detik ini Aasfa tidak memiliki hak apa pun lagi atas aset keluarga Anggono, dan dirinya kini hanya seorang gembel di ujung jari Kanaya. Wajah penuh kemarahan Aasfa berubah menjadi pias, kini dirinya tidak memiliki apa-apa lagi selain A&A agency. Usaha pribadi miliknya, dan itu pun hasil kerja sama dengan Revan? Aasfa yang tadinya berdiri karena kaget, menjadi terduduk lemas mengingat keadaannya sekarang telah jatuh miskin. Ooh Tuhan ... apa orang tuanya sudah gila? Aasfa ingin sekali mengajukan pertanyaan itu, namun bibirnya serasa terkunci. Ingin marah dan menghempaskan semua barang-barang yang ada di sekitarnya, tetapi semua itu tidak akan pernah mengubah keadaan. “Apa ini Prank? Kau sedang bermain-main denganku, Papa?” tanya Aasfa tidak percaya. Laki-laki 27 tahun bertubuh tegap itu berharap, bahwa ini hanyalah keisengan orang tuanya. Sebuah permainan untuk menjodohkannya kembali dengan Kanaya. Revan dan Amelia hanya terpekur, tidak menduga jika Kanaya yang mereka kenal akan menjadi seorang Konglomerat muda, pasca gagal menikah karena ditinggal mempelai pria. “Belajarlah untuk hidup prihatin, saat ini kita sudah tidak memiliki secuil harta pun untuk bertahan hidup, apalagi untuk berfoya-foya,” Anggono menjawab pertanyaan Aasfa dengan nasehat. “Jangan seperti itu, Papa. Kehadiran kalian di sini merupakan harta terbaik untukku. Tetaplah di rumah ini dan jangan pergi kemana pun,” ucap Kanaya manja. Aasfa merasa, saat ini dirinya sudah nyaris gila, begitu cepat roda berputar, membawanya turun ke bawah tanpa persiapan. Apakah ini karma atau sebuah permainan dari kedua orang tuanya? Aasfa sudah tidak sanggup lagi untuk berpikir. *** “waaahhhh ... so, beautiful! Aku juga ingin punya kamar megah dan sebagus ini,” Amelia memandang takjub pada seluruh isi kamar tidur Kanaya yang baru. Untuk pertama kalinya gadis tomboi itu masuk ke kamar tidur utama keluarga Anggono. Dirinya takjub mendapati kamar tidur tersebut dirancang dengan sangat elegan dan mewah. Kamar yang didominasi dengan warna putih, mulai dari cat dinding hingga perabot, menampilkan kesan seksi sekaligus hangat. Karpet bulu berwarna abu-abu terhampar tepat di depan ranjang berukuran super king yang terletak di tengah ruangan. Amelia terpaksa menelan ludah beberapa kali, dirinya seperti bermimpi bisa menikmati malam dengan tidur di sebuah kamar sekelas hotel bintang lima. “semua barangnya baru aku pindahkan tadi pagi ketika papa Anggono dan mama Wike datang.Ini semua milik mereka, aku hanya menumpang nyicip sebentar,” jelas Kanaya, sambil tertawa renyah. Sejujurnya Kanaya tidak pernah menginginkan semua kemewahan ini, ia hanya sedang bermain peran menjadi wanita kaya yang akan menginjak seekor singa dengan kekuasaan. Jika sang singa telah tunduk dan menyerah kalah, ia akan mengembalikan semua harta yang ia miliki ini kepada pemilik aslinya. “Aku bingung harus bicara apa tentang batalnya pernikahan kalian empat tahun lalu. Kejadian itu menjadi musibah sekaligus berkah untuk kalian berdua,” seloroh Amelia. “Maksudmu?” Dahi Kanaya mengkerut dan kedua matanya menyipit, mendengar ucapan Amelia yang terasa mengada-ngada. “Apa kau tidak merasa? Saat kau ditinggalkan oleh Aasfa, itu musibah untukmu dan menjadi berkah untuknya. Namun, karena adanya perjanjian tertulis antara kedua orang tua kalian, posisi saat ini menjadi berbalik. Berkah untukmu, mendapatkan semua harta keluarga Anggono dan musibah untuk Aasfa karena harus menjadi gembel, kehilangan semuanya,” Amelia menjelaskan dengan menggebu-gebu, tetapi di dalam hati gadis tomboi itu ikut merasa iba dengan Aasfa. Laki-laki egois yang terlalu sering menerima kemewahan, dilayani oleh puluhan pelayan, kini harus hidup dalam kemiskinan. Bagaimana nantia ia akan menjalani kehidupan yang pas-pasan? Aaahh ... Pria itu begitu bodoh, kenapa saat masih memiliki harta, dia tidak berusaha untuk membeli properti atas nama dirinya? setidaknya saat jatuh miskin begini, ia masih memiliki beberapa simpanan untuk masa depan. Yang menjadi persoalan paling rumit saat ini adalah Abigail, bagaimana nasib bocah nakal itu nanti? Lahir dengan sendok emas, tetapi tumbuh dengan pacul ditangan, sungguh sangat kasihan. “Aasfa tidak benar-benar jatuh miskin, ia masih memiliki banyak uang tabungan. Dia bukan laki-laki bodoh yang hanya tau bekerja dan berfoya-foya.” Jawaban Kanaya, seakan menjelaskan hampir semua pertanyaan yang menggantung di benak Amelia. “Lagi pula aku tidak sungguh-sungguh berniat mengambil semua harta yang bukan milikku. Semua ini milik Abigail, gadis kecil itu yang paling berhak menikmati semua kerja keras, opa dan papanya,” Di balik kejutan peralihan harta keluarga Anggono, ada beban tersendiri untuk Kanaya. Ia harus menjaga harta keluarga konglomerat itu dengan mengalihkan semua aset menjadi atas namanya. Ia yang minim pengalaman di dunia bisnis harus mengurus perusahan raksasa yang sudah mendunia. Semoga saja, Revan dan Amelia bersedia membantunya, walau nanti akan ada selisih paham dan resiko renggangnya persahabatan mereka. “Saat ini kau bossnya, apa kau juga akan merebut posisi Aasfa di kantor?” tanya Amelia penasaran. Jika benar Kanaya akan menggantikan posisi Aasfa di Golden Company, Amelia ingin sekali melihat Aasfa turun tahta dengan membawa kardus berisi barang pribadi. Tanpa di komando, senyum jahat gadis tomboy itu terkembang, membuat Kanaya langsung menghadiahinya sebuah jitakan pelan di kepala. “Sepertinya tidak, aku lebih senang menjadi nyonya yang pemalas, tetapi sangat suka ikut campur. Biarkan saja Aasfa yang bekerja, tetapi semua keputusan tetap ada di tanganku,” Kanaya mengkhayalkan bagaimana nanti Aasfa akan menjadi boneka di ujung telunjuknya, jika ia kuat bertahan maka akan semakin kuat pula tekanan dari Kanaya. *** Aasfa yang menjadi pembicaraan Kanaya dan Amelia, ternyata sedang bersembunyi di sebuah diskotik. Duduk di bar menghabiskan bergelas-gelas wine ditemani oleh Revan. matanya memerah karena mabuk dan juga perasaan marah yang tak tersalurkan. Merasa menjadi orang paling bodoh sedunia, bekerja keras membangun perusahaan keluarga, tetapi setelah berjaya, diberikan cuma-cuma pada orang lain. Orang tuanya bodoh, sahabatnya bodoh, dan dirinya juga bodoh, yang pintar hanya Kanaya, mendapatkan semua harta tanpa perlu kerja keras. Menerima lamaran orang tuanya dan menjadi manusia paling teraniaya, tetapi pada akhirnya perempuan itu sudah bisa mendapatkan seluruh harta mereka. Namun, yang lebih bodoh lagi, sekarang ia mencintai gadis itu, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Terus mendekat dengan resiko disebut sebagai laki-laki matre, mengincar harta seorang miliuner atau kehilangan cinta dan juga harta. Pikiran Aasfa campur aduk, harus membenci Kanaya karena mendapatkan warisan seluruh harta orang tuanya? Jelas tidak mungkin, kedua orang tuanya dalam keadaan sehat, waras, dan sadar diri, serta tanpa paksaan menyerahkan semua aset milik keluarga kepada Kanaya. “Stop Aasfa, minuman ini tidak akan membantumu menyelesaikan masalah!” Revan mengambil gelas dari tangan Aasfa ketika pemuda berambut ikal itu mulai meneguk gelas minuman untuk yang kesekian kali. “Kau sahabatku 'kan? Izinkan aku minum untuk malam ini saja. Melepaskan semua pikiran-pikiran busuk ini dari otakku,” pinta Aasfa. Merebut kembali gelas miliknya dan menghabiskan isinya dalam sekali teguk. Hingar bingar musik yang berdentum dengan keras seolah tidak didengarkan oleh Aasfa, bahkan godaan beberapa gadis nakal yang berusaha mendapatkan perhatiannya pun tidak dipedulikan. “Aasfa berhentilah, apa kau pikir dengan bertingkah seperti anak remaja labil begini, akan membuat keadaan kembali seperti semula?” Revan mulai kesal dengan tingkah sahabatnya yang terlihat semakin bodoh. Kehilangan seluruh harta bukanlah akhir dari kehidupan, sedangkan Aasfa bukanlah orang miskin yang bodoh. Revan tahu, pemuda itu memiliki banyak simpanan uang, dan bisa dengan mudah membangun bisnisnya kembali. “Kau tidak tau apa yang aku rasakan. Aku mencintai wanita itu, perempuan yang merebut kasih sayang orang tuaku, merampas cinta Abigail dan mendapatkan semua harta keluargaku,” jawab Aasfa asal. Minuman keras telah berhasil mempengaruhi otak laki-laki itu, hingga semua omongan yang keluar dari mulutnya terdengar seperti umpatan kosong. “Kau tidak bisa menyalahkan Kanaya, dia gadis yang baik. Semua ini terjadi karena kau yang meninggalkannya di pelaminan empat tahun lalu,” bujuk Revan. Hati pemuda itu miris melihat sahabatnya nyaris gila karena kehilangan harta. Ternyata nasehat mama benar, jangan terlalu mencintai dunia jika tidak ingin menjadi gila. Aku sudah melihat contoh nyata di depanku. Batin Revan. “Ayo, aku antar kau pulang ke rumahmu. Tidak ... maksudku ke rumah Kanaya. Kau sudah jatuh miskin dan tidak memiliki apa-apa lagi sekarang!” ujar Revan setengah meledek pada Aasfa. “Jika tidak mengingat kita bersahabat dari kecil, sudah kubuang tubuh busukmu ini ke jalan,” lanjutnya. Mengutuk tingkah konyol Aasfa. Revan memapah tubuh atletis sahabatnya yang terlihat layu seperti pisang salai. Kekesalan hatinya membuncah, mengingat setiap Aasfa memiliki masalah selalu dirinya yang menjadi tumbal. Entah bagaimana persahabatan mereka bisa terjalin lama, padahal selama ini dirinya tidak lebih seperti seorang asisten untuk pemuda tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD