Tatap Muka Pertama

2187 Words
Jakarta, kota besar yang tidak pernah mati. Aktifitas yang dimulai dari pagi hingga bertemu pagi, selalu meramaikan tiap detik yang dilewati oleh masyarakatnya. Mereka yang menjadi penghuni kota ini, bersaing keras untuk meningkatkan taraf hidup. Setiap hari berlomba-lomba dengan waktu, juga rasa ego antar manusia untuk menuju puncak, meskipun harus saling sikut dan bunuh. Di kota ini Kanaya pernah mendapatkan hinaan tak tertanggungkan yang diberikan oleh teman-teman dan juga seluruh penduduk kota. Semua itu terjadi karena satu orang laki-laki yang bernama Aasfa. Selama empat tahun meninggalkan kota yang menjanjikan sejuta mimpi indah untuk penduduknya, kini Kanaya kembali dengan ribuan harap yang siap ia tabur menjadi benih-benih perjuangan keras, untuk membayar lunas hutang janji yang pernah ia ucapkan empat tahun lalu. Empat tahun, bukan waktu yang singkat untuk Kanaya menyimpan semua kebencian yang semakin hari semakin memupuk. Setiap detik dilaluinya dengan perjuangan keras, agar bisa sampai di tahap ini. Di sinilah kanaya berdiri , tepat di depan sebuah gedung pencakar langit dengan jumlah 61 lantai. Langkah awal untuk Kanaya memulai perjuangannya. Penuh rasa percaya diri, ia masuk ke dalam gedung, menuju meja resepsionis. Langkah gemulainya membawa Kanaya menjadi pusat perhatian, sebagian besar mata manusia-manusia egois yang menilai kecantikan seorang wanita berdasarkan fisik. Dirinya berani bertaruh, di dalam hati setiap laki-laki yang melihatnya, akan menyenandungkan pujian hingga khayalan kotor tentang selimut panas di ranjang. Sementara di hati para perempuan yang sebagian besar berprofesi sebagai model untuk A&A agency akan bermimpi memiliki tubuh seperti dirinya. “Good afternoon, Mam. My name is Dalia. How can I help You?” Petugas Resepsionis menyambut ramah kedatangan Kanaya, menangkupkan kedua tangan dan menyapa dengan bahasa Inggris yang sangat fasih. Protokol resmi, resepsionis Front Office. “selamat siang, saya ingin bertemu dengan Ibu Amelia, bisa dibantu?” jawab Kanaya dalam bahasa Indonesia, membalas keramahan Dalia dengan senyum tulus. “Atas nama siapa, Ibu? sudah buat janji?” “Ehm, belum. Nama saya, Kanaya, mungkin bisa Mbak sampaikan pada Ibu Amelia, saya adalah teman SMA nya.” “Baik, Ibu. mohon tunggu sebentar!” petugas Resepsionis menghubungi seseorang melalui line internal office, bicara dengan suara pelan dan nyaris tak terdengar. “Maaf, Ibu, bisa menunggu sebentar? Karena saat ini, Ibu Amelia sedang meeting dan beliau akan menemui Ibu sebentar lagi.” jelas petugas itu. “Ibu, bisa duduk di sana, dan Office Girl akan menyediakan segelas minuman untuk Ibu. Petugas resepsionis menunjukkan tempat di mana Kanaya bisa duduk dengan nyaman sementara menunggu kehadiran Amelia. Gadis itu mengangguk dengan senyum yang tak pernah pupus dari bibir. Melangkah dengan anggun, membawa dirinya menuju ke salah satu sofa, duduk dengan posisi kedua kaki saling menyilang membuat wanita itu terlihat sangat berkelas. Sebuah kepribadian yang sempurna terlihat pada diri Kanaya, setiap gerak gerik gadis itu bagaikan jelmaan dewi syurga. Bukan karena memiliki raut wajah yang menawan, tetapi gestur, intonasi dan kalimat yang ditampilkan gadis itu seperti menghipnotis orang lain untuk bersikap sopan padanya. Elegan dan berkelas itulah kata yang tepat untuk menggambarkan aura yang terpancar dari kanaya. Seorang gadis bertubuh imut keluar dari lift, mendekati resepsionis yang langsung mengarahkan tunjuknya pada Kanaya. Gadis itu mendekati wanita yang sedang asyik membaca artikel di sebuah majalah fashion tanpa menyadari kehadirannya. “Ehm, selamat siang, Mbak Kanaya. Maaf membuat Anda, menunggu terlalu lama!” sapa gadis itu. Kanaya yang merasa namanya dipanggil, menengadah dan melihat ke arah sumber suara. Ia meyipitkan matanya sesaat lalu berdiri dan memeluk erat gadis tomboy yang ada di hadapannya. “Empat tahun tidak bertemu, ternyata tidak membuat penampilanmu berubah!” ucap Kanaya dengan suara yang terdengar sangat gembira. “Miss you, Amel.” “Kay! Ini beneran kamu? Ya ... Tuhan ....” Gadis yang dipanggil dengan nama Amel, melepaskan pelukan Kanaya. Kedua tangannya menutup mulut yang tanpa sadar terbuka lebar, rasa tak percaya dan kegembiraan hadir bersamaan di balik tatap mata penuh rasa takjub yang diberikan gadis itu pada Kanaya. “Ya ... seperti yang kau lihat.” Kanaya tertawa kecil, kedua tangannya terentang lebar, memberikan kesempatan pada Amelia untuk mengekpolarasi pandangan, meyakinkan gadis itu sekali lagi tentang dirinya. “Aaaaaa ... Kay, aku kangeeennn!” Amelia melompat masuk ke dalam pelukan sahabat karibnya. “Kamu terlihat ... sangat berbeda,” puji Amelia tulus, “cantik, tinggi, langsing. Sangat perfect!” “Aaaahhh ... aku tersanjung mendengar pujianmu, tapi sayangnya tidak dengan perutku,” ucap Kanaya. “Kau tidak punya cita-cita mengajakku makan siang?” ucap Kanaya sambil mengedipkan sebelah matanya dengan manja. Permintaan sederhana Kanaya langsung direspon oleh Amelia dengan anggukan serta tawa ceria, membuat mereka berdua menjadi pusat perhatian. Beberapa orang yang melihat mereka, menduga Kanaya adalah anak asuh Amelia yang baru, sementara yang lain menduga, jika Kanaya adalah model yang berkarier di luar negeri. Kedua sahabat itu berjalan bersisian menuju kantin perusahaan, saling bercerita tentang keadaan dan kegiatan masing-masing selama empat tahun tidak bertemu. Menguar kembali memori lama yang penuh suka duka, bahkan candaan yang bernada hinaan, juga mereka layangkan untuk menguatkan kenangan masa-masa indah persahabatan mereka. Kedatangan Kanaya menemui Amelia bukan sekadar melepas rindu pada wanita itu, tetapi dirinya juga ingin memohon bantuan sahabatnya, untuk mencarikan tempat tinggal. Rumah orang tuanya telah dijual, ketika mereka memutuskan untuk pindah dan kedua orang tuanya memutuskan tinggal di desa, sementara Kanaya tetap melanjutkan kuliah di negara tetangga dengan bantuan materi dari keluarga Anggono. Kini, di saat gadis itu ingin kembali mengadu nasib di kota kelahirannya, ia sudah tidak memiliki tempat berteduh dan harus memulainya dari Nol. “Kay, ehm– aku boleh bertanya tentang sesuatu?” tanya Amelia sedikit ragu. “Tentu, apa yang ingin, kau tau?” jawab Kanaya, jarinya lincah mengaduk orange juice ynag tinggal setengah gelas. “Kenapa, Kau tidak meminta bantuan pada Om Anggono?” gadis tomboy itu memberikan tatapan menyelidik dan dibalas dengan senyuman oleh Kanaya. “Pertama, aku sudah banyak merepotkan beliau. Kedua, kedatanganku kali ini bertujuan untuk menjadi seorang Kanaya yang baru serta ingin memberikan sedikit pelajaran kepada seorang tuan muda ternama kota ini.” jelas Kanaya panjang lebar, senyum dan tatap mata tegas diperlihatkan olehnya pada Amelia. Kanaya bicara dengan tempo yang teratur dan nada suara yang rendah, meskipun Amelia tahu di dalam diri sahabatnya ada dendam yang tumbuh dengan subur. Sikap lembut tetapi tegas serta mampu mengendalikan ke stabilan emosinya, menunjukkan kwalitas seorang manusia yang cerdas, sepadan dengan aura penuh wibawa yang selalu terpancar dari tingkah laku Kanaya. “Kau, bisa menjadi model di perusahaan kami, dan mungkin akan menjadi Icon pendatang baru musim ini.” kata Amelia, ia menyerahkan katalog calon model baru yang akan di rekrut oleh A&A agency. “Bisakah, aku menolak? Aku tidak berminat menjadi model, dan aku ....” “Pertama, kau akan mendapatkan kontrak eksklusif. Kedua, kau akan mendapatkan fasilitas berupa tempat tinggal dan kendaraan. Ketiga, sesi pemotretan pertama, kau akan disandingkan dengan Abigail. Model cilik sekaligus putri kesayangan Aasfa Adelard.” Amelia memotong pembicaraan Kanaya dan menjelaskan setiap keuntungan yang akan didapatkan wanita berhidung bangir itu, jika mau menuruti keinginannya. Wajah imut gadis tomboy itu terkesan jahil ketika ia mengedipkan mata saat menyebut nama Aasfa Adelard. Jauh di dalam hati, Amelia sangat mendukung keinginan kanaya untuk membalas dendam pada Aasfa. pria angkuh itu harus belajar yang namanya mengemis cinta pada seorang gadis agar hati bekunya dapat menerima wanita lain untuk menjadi ibu Abigail. Sifat egois Aasfa membuat dirinya melupakan kebutuhan utama gadis kecilnya akan kasih sayang seorang mama. Amelia yakin, Kanaya adalah wanita yang tepat menjadi ibu pengganti untuk Abigail. Sahabatnya wanita yang lembut, keibuan dan penuh kasih sayang. “Kapan aku bisa mulai?” tanya Kanaya. “Besok datanglah ke kantorku, jam sepuluh pagi!” ujar Amelia. Skenario dendam dan cinta akan segera ia mulai. *** Kanaya duduk santai di dalam ruang rapat menunggu kehadiran Amelia, Revan dan Aasfa, sambil mempelajari tiap point dari kontrak kerja yang akan ditanda tangani . Ada dua klausul yang ingin Kanaya ubah, dirinya keberatan jika harus terikat kontrak seumur hidup. Satu jam menunggu dengan sabar, ketiga orang boss A&A agency akhirnya muncul dengan membawa seorang anak perempuan yang sangat cantik. Kanaya terpesona melihat malaikat kecil yang mereka bawa. Gadis cilik itu, tangkas melepaskan diri dari gandengan tangan Aasfa, berlari dan menghambur masuk ke dalam kepelukan Kanaya. Anak kecil itu penuh manja memanggil Kanaya dengan sebutan mama. Wajah yang bagaikan boneka, dengan rambut ikal dan sepasang bulu mata lentik yang memayungi bola mata indah membuat hati Kanaya luluh, mencium pipi gadis kecil itu. “Maaf, menunggu lama, Kay.” Amelia menjabat tangan Kanaya dengan hangat, berbasa-basi sebentar memperkenalkan kedua owner A&A agency. “perkenalkan, Aasfa Adelard, Revan, dan terakhir model cilik kami, Abigail.” Kanaya hanya tersenyum dan menganggukkan kepala, dirinya tidak bisa berdiri untuk membalas jabat tangan kedua calon atasan, saat ini, model cilik mereka sedang duduk santai di atas pangkuan gadis itu, memainkan ujung rambut yang panjang milik Kanaya. “Tidak apa-apa, santai saja. Kami mengerti Anda ...” ucap Revan menggantung kalimatnya. Kedua tangan pria itu memberikan Isyarat, bahwa model cilik mereka telah nyaman berada di pangkuan Kanaya. “Ok, mungkin kita bisa mulai?” tanya Amel, dia menyerahkan draft kerja sama kepada setiap orang di ruangan itu, kecuali Abigail. “Silahkan diperiksa untuk point-pointnya, jika ada yang ingin diubah kita bisa diskusikan sekarang sebelum tanda tangan.” Jelas Amelia, lugas. “Point dua dan Point lima, saya mengajukan keberatan! Saya tidak bersedia terikat kontrak kerja pemanent di agency kalian serta menjadi Icon model pendatang baru. Menunggu ditendang untuk bisa bebas, setelah tidak bisa memberikan keuntungan pada perusahaan kalian? This is not fear!” Lembut Intonasi bicara Kanaya tetapi lugas, membuat salah satu satu dari mereka yang ada di ruangan itu terperangah. Selama mereka mendirikan A&A agency, belum pernah ada yang berani menolak tawaran kontrak ekslusif yang diajukan. menjadi model utama untuk sebuah perusahaan terbesar di Asia adalah impian setiap model, dan itu hanya bisa dilakukan oleh model yang bernaung di bawah A&A agency. Model pemula dan minim pengalaman, hanya mengandalkan kemampuan fisik serta wajah menarik seperti Kanaya, berani menolak sebuah kesempatan besar yang mereka berikan? Ini merupakan sebuah tamparan keras dan penghinaan untuk Aasfa. Pria itu mulai menunjukkan sikap tidak bersahabat, sementara Revan dan Amelia saling melempar senyum penuh arti. Aura permusuhan mulai diperlihatkan oleh pria yang memiliki lesung pipi itu. Tatapan tajamnya mengintimidasi Kanaya yang tetap terlihat tenang, bahkan wanita itu masih bisa bersikap elegant dengan melemparkan senyum manis pada Aasfa. “Anda, seorang model pemula, yang berpose di depan kamera seperti sebuah batang kayu yang kaku, berani menolak kebijakan perusahaan kami?” tanya Aasfa dengan sedikit berapi. “Kenapa tidak? Semua manusia berhak berpendapat, menolak, atau menerima apa yang menjadi keinginan hati mereka, asalkan tidak melanggar hukum!” jawab Kanaya. “dan saya, tidak melanggar hukum dari negera manapun!” kembali ia berbicara dengan santai, tetapi tersirat ketegasan dari tiap kata dan penekanan kalimat yang ia ucapkan. Kanaya bukan lagi gadis buruk rupa yang tinggal di pinggir kota, selalu mengkerut ketakutan jika diberikan tatapan tajam, atau hinaan dan kata-kata kasar. Jangan lupakan dirinya telah belajar sangat banyak selama empat tahun terlewat untuk berhadapan dengan Aasfa, seperti saat ini. “Kalau begitu mohon maaf, perusahaan kami tidak bisa bekerja sama dengan Anda!” tegas Aasfa. Revan dan Amelia menarik napas panjang, melihat dua orang anak manusia yang sama-sama kerasa kepala telah bertemu dalam satu ruangan dan saling mempertahankan ego. Kanaya menurunkan Abigail dari pangkuannya, tersenyum ramah kepada semua yang ada di ruangan. “Terima kasih,” ucapnya disertai anggukan kecil. Ia meraih tas tangan miliknya yang berwarna velvet. Kaki jenjang Kanaya membawa tubuh ramping wanita yang terlihat anggun dengan memakai celana khaki dipadukan dengan belted top, meninggalkan ruangan rapat tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. “Bro, jangan lupa, kita butuh model. Photoshoot diambil pekan depan dan kita belum punya model yang sesuai kriteria selain Kanaya.” Revan mengingatkan Aasfa yang tercengang melihat sosok keras kepala Kanaya meninggalkan kolam emasnya tanpa keraguan sedikitpun. “Aasfa, kalau kerja sama ini batal, jangan harap lagi, aku mau mencarikan model untuk mendampingi Abigail!” cetus Amel, dirinya lelah harus berhadapan dengan sikap egois papa muda yang berhati batu seperti Aasfa. “Kalian lihat, dia yang menolak kerja sama kita, bukan aku,” Dalih Aasfa. Harga dirinya terlalu besar jika harus mengakui kesalahan yang sering kali ia lakukan jika berhadapan dengan wanita, apalagi jika wanita itu memiliki kepribadian keras dan sulit untuk ditundukkan seperti Kanaya. Ego nya sebagai laki-laki merasa terinjak-injak jika harus mengalah pada seorang perempuan. “Terserah kau saja. Aku tidak mau lagi kau repotkan dengan urusan mencari model!” Amelia meletakkan katalog daftar model di hadapan Aasfa, kemudian meninggalkan ruangan dengan membanting pintu keras-keras. Kedua pria yang ada di dalam ruangan rapat terlonjak kaget, sementara Abigail yang tenang bermain di pojok ruangan menjerit kaget sebelum tangisnya pecah, ikut meramaikan keruwetan otak kedua laki-laki itu. “Jangan libatkan aku, silahkan cari sendiri model yang penurut sesuai kriteriamu,” Revan mengangkat kedua tangannya, menyerah dan enggan membantu ketika Aasfa memberikan tatapan memohon padanya. Secepat kilat, Revan mengikuti jejak Adiknya Amelia, meninggalkan Aasfa yang dalam kebingungan di iringi pekik tangis Abigail. “Argh, perempuan b******k, hari pertama sudah berani membuat masalah pada Aasfa? haruskah kau dihancurkan dulu agar mengerti rasa takut dan paham untuk menunduk hormat pada orang yang ada diatasmu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD