SETELAH CERAI (7)
Kau tidak bisa memaksa dunia baik padamu, tapi dari dunia yang tak selalu baik itu engkau belajar menjadi kuat dan besar.
***
"Mama menangis?"
Gaza menyentuh sudut mata Rumaisha. Mata beningnya lekat menatap wajah sendu wanita yang tampak tidak kuasa lagi berpura- pura kuat. Wajah sosok yang selama ini mencintai dirinya tanpa syarat. Cinta seorang ibu, cinta perempuan yang di telapak kakinya terdapat syurga.
Rumaisha diam. Tak sanggup menjawab, bahkan hanya mengatakan tidak dan menggeleng. Apa yang harus kujelaskan padamu, Nak? Pria yang kau sebut papa itu, bahkan tidak menyisakan sedikit pun ruang di hatinya untukmu. Pria yang semalaman kau sebut namanya dalam tidur, bahkan tidak sekalipun menyimpan namamu dalam jiwanya. Batin Rumaisha menjerit. Tak kuasa menatap wajah tak berdosa dan lugu itu kebingungan.
"Papa, marah sama Mama?" Gaza menebak. Bukankah akhir- akhir ini diam-diam sering melihat Papanya memarahi Mamanya jika meminta waktu lebih banyak buat dirinya?
Otak kecil Gaza merekam, kalau Rumaisha tidak pernah lelah memohon agar Arka memberikan lebih banyak waktu untuk lebih dekat dengan dirinya.
"Di saat dunia belum memahami kata- katanya dan keinginannya, hadirlah untuknya, Mas. Peluklah dia, ajarkan padanya bahwa dunia akan baik- baik saja."
Gaza kembali mengusap pipi mamanya yang basah. Otak kecilnya belum mengerti apa yang dibicarakan Rumaisha, dia hanya tahu Mamanya sangat menyayanginya. Wanita yang bahkan tidak pergi saat Papanya bertingkah hanya demi sebuah pelukan pria itu untuk dirinya.
"Sejahat apapun Papa pada Mama, aku tidak akan mati. Tapi aku akan mati saat melihatmu terluka." Gaza ingat pelukan Mamanya beberapa waktu lalu. Pelukan ketika untuk ke sekian kali saat Papanya membawa seorang wanita cantik ke rumah.
"Mama, jangan menangis."
Suara Gaza yang mengguncang tangan Mamanya membuat Rumaisha tersadar. Gemetar menyeka air mata yang deras laksana air bah.
Astaghfirullah, serapuh inikah jiwaku? Rumaisha mengusap wajah, berusaha menghapus semua air mata yang membanjiri kelopak matanya.
"Mama tidak menangis. Mata Mama kebanyakan lihat HP, jadi pedih."
"Oh." Gaza mengangguk meski dia tidak melihat Mamanya memegang HP seharian ini. Mamanya lebih sibuk menemani dirinya bermain dan berjalan- jalan mengitari jalanan seputar rumah mereka yang asri.
Rumaisha tersenyum. Sadar ada sorot ragu di mata jagoan kecilnya.
"Tadi Mama telepon kerabat Mama." Rumaisha memberi penjelasan, berharap Gaza mengerti dan percaya.
"Baiklah, Mama." Gaza mengangguk dan tersenyum.
"Mama jangan lihat HP terus, ya. Gaza tidak suka lihat mata Mama merah."
"Mama janji gak lihat HP lagi." Rumaisha angkat jarinya membentuk huruf V dan mengerakkannya.
Gaza tampak senang, dia tertawa melihat tingkah Mamanya yang terlihat lucu.
"Aku juga berjanji gak akan lagi minta Papa."
"A- apa maksudnya?"
Gaza tidak menjawab. Dia hanya memeluk tubuh Mamanya.
"Gaza sayang Mama. Jangan menangis lagi...."
****
Tak terasa hari berganti begitu cepat. Sinar Surya pagi terasa hangat menerobos jendela kamar di mana Rumaisha berada.
Mata Rumaisha berulang kali mengerjap saat memandang kalender yang tergantung di dinding tak jauh dari hadapannya. Ada rasa luar biasa saat menyadari dirinya berhasil melewati masa Iddah yang terasa panjang. Tak percaya dia sanggup melewati detik demi detik dalam bayangan kebencian Letia yang merasa paling nyonya di rumah ini. Padahal dorongan untuk pergi itu begitu kuat, seandainya Rumaisha tidak menyadari kalau selama masa Iddah dirinya harus tetap tinggal di rumah Arka.
Betapapun hati Rumaisha kerap berdenyut melihat sikap Letia yang manja pada Arka, tapi tidak membuatnya menyerah. Meski tak terbilang buliran air mata yang mengalir di sujud panjangnya saat menyadari Mahligai cintanya pada Arka kini terpatri dalam sebuah akta perceraian, Rumaisha tidak ingin pergi begitu saja. Dengan rasa ikhlas dan jiwa yang tangguh dia melewati massa Idahnya dengan penuh kesabaran.
Masa tunggu atau masa Iddah telah selesai tadi malam. Hari ini Rumaisha bangun dengan lembaran baru dalam hidupnya. Segalanya tentang Arka telah berakhir hari ini.
"Sayang, minum susunya." Rumaisha menghampiri Gaza yang sudah bangun dari subuh. Seperti mengerti apa yang terjadi, tanpa harus disuruh anak itu minta mandi dan berganti baju.
"Pinter." Rumaisha mengacungkan jempol saat melihat Gaza menghabiskan susunya. putranya tersenyum senang. Dia selalu bersemangat jika Rumaisha bersamanya. Rumaisha bahkan hanya sosok ibu penyayang tapi juga ceria dan hangat.
Setelah meminta Gaza menunggu di kamar, Rumaisha kembali beranjak ke ruang tengah. Ada beberapa barangnya yang tertinggal dan harus segera di packing.
Rumaisha menjejakkan kaki sepelan mungkin. Dia tidak ingin langkahnya terdengar ke kamar Letia. Tak dipungkiri saat melangkah rasa sakit itu seolah tak berhenti mendera. Sungguh Rumaisha tidak menyangka hati Arka sekeras batu, seolah tidak setitikpun harapnya untuk kembali pada dirinya.
Maisha meraih botol minum Gaza dan beberapa buah mainannya yang tertinggal di ruang tengah. Hari ini, adalah hari terakhir di rumah ini. Rumaisha tak ingin meninggalkan jejak apapun di rumah ini, lagi pula rumah ini sudah dalam proses jual. Bagi Rumaisha ini penting, kelak setelah Gaza genap lima tahun dirinya akan menyempurnakan operasi putranya. Entah kalau Arka, akan dipakai apa uang penjualan rumah ini. Rumaisha tidak perduli.
"Rumaisha." Sebuah sapaan dari suara yang sangat dikenal Rumaisha membuat konsentrasinya buyar.
"Mas Arka." Rumaisha berusaha tersenyum. Bagaimanapun, melihat pria yang bertahun- tahun menjadi imamnya kini resmi menjadi mantan membuat hati Rumaisha kembali menggerimit pilu.
"Aku pergi, Mas. Masa iddahku sudah habis. Aku pamit." Rumaisha menjelaskan tanpa diminta.
"Setelah hari ini, mungkin kita akan sulit bertemu. Aku ingin membawa Gaza ke kota kelahiranku. Jika ada urusan yang belum selesai, Mas bisa menghubungi pengacara...."
"Rumaisha." Suara Arka terdengar dalam.
"Maafkan aku..." Arka menghela nafas. Ada denyut aneh dalam dadanya saat melihat wanita yang sekian ratus hari begitu lekat dengan hari-harinya kini akan pergi begitu jauh.
"Maafkan jika aku telah menyakitimu."
Ah. Masih pantaskah aku meminta maaf? Arka mendesah lirih.
"Aku memaafkanmu, Mas. Sedalam dan sebanyak apapun goresan luka yang kau berikan dalam hidupku, aku memaafkannya."
"Rumaisha, pantas kah aku menerima maafmu?"
"Bahkan jika rasa sakitku seluas lautan pun, aku akan tetap maafkanmu...."
Duh.
Rumaishaaaaa
Arka tak lagi sanggup berucap. Runtuh sudah air matanya saat menyadari, apapun tentang Rumaisha, apapun tentang perempuan berhati seluas samudra itu kini segalanya telah selesai.