Setelah Cerai (8)

1136 Words
Arka terpaku menatap gerakan tangan Rumaisha yang kini sudah resmi menjadi mantan memasukan botol dan benda- benda milik Gaza ke dalam pouch. Hatinya benar- benar sepi. Gaza memang senang bermain di ruangan ini. Ditemani Rumaisha dia bisa anteng bermain cukup lama, wajar jika benda- benda mainannya ada yang tercecer. Sesering Rumaisha membereskannya kembali di tempat khusus mainan, sesering itu pula Gaza membongkarnya kembali. Setelah hari ini, ruangan ini akan sepi. Tak ada lagi celoteh khas Gaza dan tubuh mungil yang berlarian ke sana ke mari. Dirinya akan kangen, Arka menghela nafas dalam. Menelan rasa yang tak diundang muncul tiba- tiba. Rasa yang tidak pernah dia duga datang begitu menyiksa. Bukankah perceraian ini dia yang minta. Bukankah perpisahan seperti ini yang dia harapkan, Rumaisha pergi tanpa drama? "Mama, robot Gaza mana?" Tanpa di duga Gaza muncul dari dalam kamar. Dia sudah rapih dan wangi khas anak yang akan pergi jauh. "Ini, semalam Gaza mainin di sini dan lupa gak menyimpannya lagi." Rumaisha tersenyum mengeluarkan robot merah kesayangan Gaza. Robot mainan ini begitu spesial karena hanya inilah yang pernah disentuh Arka dengan membetulkan tangannya yang patah beberapa waktu lalu. Gaza menyambut robot mainannya dengan senang hati dan kembali membawanya ke kamar. "Gaza," panggil Arka pelan. Tumben anak ini tidak menyapanya dan minta dipeluk. " Iya, Papa." Gaza menghentikan langkah. Mata beningnya menatap ke arah pria di hadapannya. "Kamu tidak minta Papa memelukmu?" Tanya Arka mendekat. Mengulurkan tangan, berharap tangan mungil itu menyambutnya. "Enggak apa- apa, Papa. Gak usah peluk Gaza." Bocah dengan rambut ikal itu menggeleng pelan. Samar ada yang berkaca dari bola matanya. "Gaza sudah biasa tidak dipeluk sama Papa. Gaza kuat." Ada getar sakit yang keluar dari bibir mungil itu. Meski suara Gaza tidak begitu jelas, tapi Arka menangkap dengan jelas nada kecewa di dalam nya. Semenjak Letia hadir, Arka memang tidak pernah sekalipun tidur dan memeluk Gaza. Letia terlalu manja bahkan hanya untuk ditinggal sekejap saja. Perempuan itu akan marah luar biasa jika dirinya sedikit saja memanjakan Gaza atau sekedar ingin menghabiskan waktu bersama bocah itu sepulang kerja. Letia berlebihan, tapi demi benih yang tersimpan di perut wanita itu, Arka tak berdaya. Bayi perempuan di rahim Letia adalah segalanya. Gaza tahu itu, Rumaisha pun tahu. Dengan caranya sendiri Rumaisha dan Gaza merangkai hari sepi di rumah ini dengan senyum dan kesabaran. Astaghfirullah. Ingat ingat itu, d**a Arka berdenyut. Dia mendekat. "Mendekatlah, Nak. Biarkan aku memelukmu." Tangan Arka meraih tubuh putranya, memeluknya. Ada yang meleleh luar biasa di sudut hatinya yang paling dalam. Setelah hari ini, akankah dia bisa dengan mudah memeluk Gaza? Akankah dia bisa mendengar suara Gaza atau sekedar melihat sosok mungilnya berlarian di halaman dan memanggil namanya? Entah. "Papa jangan menangis." Tangan mungil Gaza mengusap sudut mata Arka yang basah. "Kata Mama, Gaza akan pergi jauh tapi Gaza gak akan nangis. Kata Mama, ada Allah bersama Gaza." Arka mengangguk. "Mama bicara apa lagi?" "Meski jauh, Gaza harus tetap sayang dan minta sama Allah, agar Papa sehat dan bahagia." "Gaza berjanji akan selalu berdoa untuk Papa. Gaza sayang Papa." Rabbi .... Tak ada lagi kata yang bisa Arka rangkai untuk mendefinisikan kehadiran Rumaisha dan Gaza dalam hidupnya, selain kata sempurna. Rumaisha sempurna mencintai dirinya tanpa batas bahkan dalam lautan air mata dan pengkhianatan dirinya, perempuan itu tetap menanam benih cinta di hati Gaza, bocah kecil yang selama ini tak pernah dia anggap ada. Bahkan di saat kehadirannya tinggal sesaat. Duh. **** Rumah begitu senyap. Arka membawa tubuh lelahnya sepulang kerja ke sudut ruangan, ke arah akuarium kesayangannya. Tampak kaca akuarium yang terlihat kusam. Arka lupa kapan terakhir dia membersihkannya. Dua bulan sudah Rumaisha pergi dari rumah ini, penampakan rumah sudah seperti kapal pecah saja. Kaca dan gorden berdebu, lantai yang kotor dan daun kering dari pohon pelindung yang berdiri kokoh di halaman menjadi pemandangan yang akrab akhir- akhir ini. Jangan tanya tanaman hias yang berdiri rapi di teras rumah, nyaris sebagian besar kering dan mati. Entah apa yang Letia pikirkan, bahkan hanya untuk hal- hal kecil seperti menyiram tanaman pun dia enggan. Perutnya makin buncit dan makin manja. Bahkan hanya untuk makan dan minum pun, harus Arka yang mengambilnya. Jangan tanya siapa yang memasak, dapur sudah seperti kuburan saja, setiap hari makan dari menu yang dipesan online. Sungguh Arka bosan dan rindu makanan rumahan seperti bikinan Rumaisha. Tapi dia bisa apa? Sedikit saja dia menaikan nada suaranya, Letia akan merajuk dan marah-marah sambil menangis. Rasa sabar itu kadang terasa habis jika saja tidak teringat di rahim Letia ada calon bayinya. Bayi perempuan yang sehat dan sempurna, itu kata dokter saat melakukan pemeriksaan ultrasonografi di setiap pemeriksaan, bayi lucu yang akan menjadi kebanggan keluarga besarnya. Bukan bayi sumbing seperti Gaza. Astaghfirullah, Arka mengusap wajah. Teringat sosok mungil Gaza yang lenyap bersama kepergian Rumaisha. Gaza mungkin tak sempurna, tapi dia penurut dan manis. Arka memegang dadanya, ada rindu yang diam-diam dia simpan. Arka menyelonjorkan laki di kursi panjang. Suara gemericik air dari Aerator aquarium terdengar menemani sunyi. Tak ada hidangan makan malam yang lezat, tak ada teh hangat, tak ada belaian lembut dari sepasang tangan tang selalu dia dapatkan saat bersama Rumaisha, tak ada. Tak ada kemanisan yang selalu dia dapatkan di rumah ini sekarang, selain hampa dan sepi. Letia selalu punya agenda untuk keluar rumah. Alih- alih persiapkan diri untuk kelahiran anak mereka, waktu perempuan berparas jelita itu habis dibuat hang out dengan teman- temannya. Seperti hari ini, seperti saat Arka merasa lelah, Letia entah di mana. "Aku pulang larut malam, Mas. Acara pesta ulang Mbak Diandra seksi malam hari." Pesan Letia tadi sore. "Baiklah. Nanti malam aku jemput." Selalu begitu setiap hari. Entah warna apa yang Arka dapatkan dari mahligai rumah tangganya dengan Letia, Arka seringnya merasa hanya dibutuhkan Letia jika ada maunya merangkap sopir pribadi yang akan menjemput perempuan itu tiap pulang larut malam. Tapi, bukankah ini demi bayi dalam perut Letia? Bayi cantik yang akan menyemarakkan harinya dengan indah. Bayi yang akan menjadi kebanggaan dirinya dan juga keluarga besarnya. Semoga saja, Arka berjuang meyakinkan hatinya yang ragu. Drrrrt. Pesan gambar masuk dari ponselnya yang tergeletak tiba- tiba masuk begitu saja. Arka bangkit untuk melihat siapa pengirim pesan malam- malam. Arka mengerjap, nama Rumaisha tertera jelas di layar ponselnya. "Papa, Gaza sudah sekolah di Taman Kanak-Kanak. Doain ya, biar Gaza jadi anak pintar." Sebuah voice note dari suara polos Gaza terdengar hangat di telinga Arka. Tak ketinggalan foto dirinya yang berseragam lengkap terlihat gagah di layar ponsel Arka. Tunggu. Di belakang Gaza terlihat -meski tak jelas- sosok Rumaisha yang sedang tersenyum, begitu manis dan menawan. Mereka baik- baik saja. Arka merasakan dadanya yang semula hampa terasa hangat. Pria itu juga merasakan tiba- tiba ada yang berdebar tak karuan mengusik relung kalbunya. Gemetar saat tangannya membalas voice note Gaza, dengan suara yang terdengar begitu lirih, Arka menjawab voice note putranya. "Gaza, Papa rindu...." Tololnya aku, mengucap kata ini di saat segalanya telah begitu jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD