Menunduklah

529 Words
POV Leara Akhirnya tragedi Lebaran tak seburuk yang kukira. Tak semua saudara yang datang, fokus dengan penambahan berat badanku. Hanya beberapa saja, tapi itu tak terlalu mengganggu. Anggap aja mereka iri sama aku, makanya fokus sama kekuranganku. Tapi tetap saja, aku tak mau foto, karena target kurus belum tercapai. Entah bagaimana aku harus menghapus rasa tidak PD ini. Tak hanya soal mengaca, liat hasil foto diri aja aku tak sanggup. Rasanya kayak aneh, gak pas, gak enak dipandang, atau karena aku gak fotogenik. Pokoknya aku anti kalau difoto. Sudahlah, lagian libur Lebaran udah berakhir. Saatnya kembali ke dunia nyata. Kuliah lagi, sibuk tugas lagi, sibuk organisasi lagi. Kali ini aku ada kegiatan di luar fakultas. Biasa buat nambah uang saku. Ada yang butuh tukang survei. Ikut daftar aja. Siapa tau masuk. Aku lihat lagi pengumuman yang ada di Rektorat. Uang saku Rp 500.000 buat kegiatan survei 2 hari. Hmm buat ganti uang teh pelangsing plus masih ada bonus Rp 200.000. Hehehe otak bisnisku agak mulai bekerja. Setelah sekian lama aku yang polos ini tak pernah mau tahu yang namanya otak bisnis. Semua seolah ngalir aja, tak ada beban. Maunya sih sedekah, tapi nyatanya di umur segini aku masih minta sama orang tua. Baiklah, mulai saat ini mulai cari uang sendiri buat nambah uang saku. Jangan minta orang tua mulu Leara. *** Mita gak mau ikut, bilangnya mau pulang desa. Udah kangen sama Bapak dan Ambu. Padahal cuma Mita seorang sahabat dekatku yang biasa menemaniku. Tapi aku tak bisa memaksanya, kalau urusannya sudah kangen sama orang tua. Aku balikkan badan untuk menyudahi melihat pengumuman dan gubrakkk. Tak sengaja aku menabrak entah siapa gak jelas, karena tetiba kepalaku jadi agak puyeng dan penglihatanku berkunang-kunang. Beneran gak bohong, karena kepalaku yang kena tabrak badan kokoh tinggi menjulang. Gak bisa diulang reka adegannya, karena memang cepet banget plus langsung terasa pusingnya. "Maaf-maaf gak sengaja. Tadi aku buru-buru mau liat pengumuman gak taunya kamu balik badan, padahal aku belum ngerem." suara itu terdengar penuh penyesalan. Tapi tetap saja aku gak konsen harus jawab apa, karena beneran shock terapy plus sakitnya bikin buyar semuanya. Aku hanya ingin segera sampai di kos biar bisa rebahan dan menghilangkan pusing yang melanda. Setelah beberapa detik terdiam, akhirnya aku mulai bisa menguasai kesadaranku. "Tak apa, aku gak papa kok. Maaf aku juga tadi buru-buru, jadi gak liat kalau ada orang di belakang." jawabku sambil ngelonyor pergi sesegera mungkin. Malulah apalagi ketika aku raba dahi ini, seperti ada yang menonjol. Aku tak terbiasa ngobrol dengan orang yang belum kukenal. Apalagi dia laki-laki, bukan muhrim. Apa mungkin ini karena aku terlalu taat sama nasihat Ustadzah mentoringku, yang selalu bilang, "Menunduklah dengan takzim tanpa mengurangi rasa hormat ketika berada di keramaian. Apalagi di tempat tersebut banyak orang yang bukan muhrim kita. Karena kita harus selalu menjaga pandangan kita. Karena kita tidak tahu kapan dan dimana setan itu bekerja untuk membuat kita terlena. Bisa lewat mata, lewat suara, lama-lama tergoda, lama-lama janjian berdua, lama-lama cinta, lama-lama....Jangan sampai kita berzina, meskipun hanya sekedar zina mata. Allah pasti akan kasih kita yang terbaik, pasangan yang terbaik, disaat yang terbaik. Allah pasti akan jaga kita, karena kita menjaga agama Allah dengan selalu taat pada ajaran Allah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD