Apa kamu sudah mendapat kabar soal Jevais?" Frey menatap Lea dengan penuh harap. Mereka sudah tiba di Paris, dan sejak meninggalkan Turki, Lea tidak bicara apa-apa. Frey berpikir bahwa tidak mungkin Lea belum mendapatkan kabar apa pun tentang Jevais dalam jangka waktu selama itu. Lea bisa dikatakan social butterfly di dunia showbiz, dia mengenal banyak orang yang bisa memberikan informasi terkini mengenai Jevais.
"Belum. Tidak apa-apa Frey, aku sudah memastikan dia baik-baik saja. Chena bilang, Jevais baik-baik saja."
"Kalau dia baik-baik saja, dia tidak akan mengabaikan panggilan telpon dan pesan yang aku kirim. Dia juga akan segera menyusul kita di sini." Frey berkata gusar.
"Ehm...ada sedikit masalah sebenarnya. Sutradara meminta Jevais untuk kembali syuting." Lea beralasan.
"Bukankah dia cuti? Chena sudah mengurus semuanya kan? Lagipula syuting apa?"
"Iya...tapi ini adalah permintaan mendadak. Begitu kata Chena. Ada iklan atau sejenisnya meminta kehadiran Jevais. Kamu tahu sendiri kan, suamimu sedang berada di puncak karir. Jadi ya...begitulah."
"Mendadak? Mendadak apa? Lea, jangan menyembunyikan apa-apa dariku! Semuanya ini terdengar tidak masuk akal!" Frey mulai gusar karena jawaban Lea tidak membuatnya puas.
"Aku tidak menyembunyikan apa-apa Frey. Memang begitu yang aku tahu dari Chena!"
"Frey, Jevais baik-baik saja, dia akan segera menghubungi kamu setelah semuanya beres." Lea menepuk pundak Frey dan meyakinkan wanita itu bahwa semua baik-baik saja.
Frey menatap Lea, kecurigaannya tidak pudar. Frey tahu ada sesuatu yang salah dan coba ditutupi oleh Lea.
"Lea, demi Tuhan, jangan berbohong padaku."
"Aku tidak berbohong, Frey. Kenapa aku harus berbohong?"
"Agar aku merasa baik-baik saja, padahal kenyataannya tidak. Lea, katakan saja, ada apa. Akan lebih baik aku mengetahuinya sekarang daripada aku mengetahuinya nanti."
"Frey...."
"Lea, jangan membohongi aku." Frey memotong ucapan Lea sebelum Lea membuat alasan apapun itu.
Lea menghela napas, berpikir apakah dia harus mengatakan hal yang sebenarnya sekarang. Dia berencana akan memberitahu Frey tentang Jevais setelah perjalanan wisata ini selesai, agar suasana hati Frey tidak memburuk saat ini, tapi sepertinya intuisi seorang istri sangat kuat. Frey tahu ada yang tidak beres dengan Jevais.
"Berjanjilah kamu bisa mengendalikan dirimu. Aku tidak ingin liburan ini menjadi mimpi buruk bagi Bianca dan Basil."
"Iya, Lea, iya! Sekarang katakan padaku ada apa?" Frey sedikit berteriak karena tidak sabar ingin mendengar apa yang dikatakan Lea.
"Jadi, menurut Chena, Kiyoko mengalami kecelakaan di lokasi syuting. Dia pingsan dan jatuh dari tangga...."
"Dan Jevais membatalkan seluruh rencana liburan ke Paris demi melihat kondisi Kiyoko?" Frey berkata dengan suara gemetar. Bagaimana mungkin suaminya memilih meninggalkan acara liburan bersama istri dan anak-anak yang sudah direncanakan sejak lama, demi wanita lain. Hati istri mana yang masih baik-baik saja mendengar kenyataan ini.
"Sepertinya...."
"Jevais mengingkari janjinya, Lea. Dia mengatakan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua. Dia bilang, aku dan anak-anak adalah hal paling berharga yang tidak akan pernah dia tinggalkan. Kenyataannya, dia memilih pergi bersama Kiyoko." Suara Frey bercampur tangisan. Dia sama sekali tidak menyangka saat indah, liburan bersama ke Paris menjadi sebuah saat yang memilukan baginya karena Jevais untuk kali kedua meninggalkannya dan memilih bersama wanita lain. Bulan madu yang dibisikkan oleh Jevais di telinganya begitu manis kini tinggal kenangan yang menyesakkan di d**a. Tidak ada bulan madu, yang ada hanya pengkhianatan yang kembali menusuk hatinya.
Lea tidak bisa mengatakan apa-apa, dia hanya memeluk Frey, membiarkannya menangis. Lea tahu, Frey sangat kecewa pada Jevais. Dia sudah mengalah, memaafkan perselingkuhan Jevais dan memberikannya kesempatan kedua, tapi kenyataannya, dalam waktu beberapa hari, Jevais sudah kembali ke pelukan Kiyoko, menorehkan kembali luka yang dalam pada Frey.
"Ternyata kamu benar, Lea. Jevais tidak bisa dipercaya, dia bahkan memberikan luka yang lebih menyakitkan. Aku tidak bisa lagi memaafkannya." Frey terisak, hatinya terasa sangat sakit, kebahagiaannya hancur seketika dan dunianya jungkir balik. Baru saja dia merasa kehidupan begitu indah dan manis karena Jevais kembali padanya, tapi ternyata semua itu semu belaka. Jevais tidak mencintainya lagi. Dia memilih Kiyoko Forest untuk menggantikannya.
***
Dua belas hari di Paris menjadi waktu yang panjang dan melelahkan bagi Frey. Dia tidak bisa menikmati keindahan Paris, dia ingin segera kembali ke Jakarta dan menemui Jevais. Dia ingin mendengar apapun penjelasan Jevais secara langsung meski itu semua akan membuat hatinya semakin remuk. Frey ingin menghadapi Jevais, menatap mata lelaki itu yang mengatakan tidak menginginkannya lagi dan memilih wanita lain.
"Mama, kenapa Papa tidak ada?" Pertanyaan itu terus menerus ditanyakan Bianca dan Basil sejak mereka berangkat dari Bandara Soekarno Hatta.
Frey memberikan banyak alasan, dan Lea juga membantunya memberi jawaban kepada Bianca dan Basil tapi semua jawaban itu tidak memuaskan mereka. Mereka terus saja bertanya dan saat mereka harus meninggalkan Paris—yang berarti liburan mereka telah berakhir, Bianca mengatakan membenci Jevais karena mengingkari janji untuk berlibur bersama.
Hal itu membuat hati Frey semakin tenggelam dalam kesedihan saat melihat Bianca terus menerus menangis dan menanyakan di mana ayahnya. Basil, meski tidak serewel Bianca tapi lebih banyak diam dan nampak merenung. Frey tidak bisa menebak dan membayangkan apa yang ada dalam pikiran dan hati Basil saat ini. Anak itu selalu saja mengatakan tidak apa-apa saat Frey bertanya kepadanya. Apa yang dilakukan Jevais tidak hanya menyisakan luka bagi Frey, tapi juga bagi Basil dan Bianca.
***
"Papa!" Bianca berteriak keras dan heboh saat melihat Jevais memasuki rumah. "Kenapa Papa nggak ikut ke Paris?" berondong Bianca.
"Papa harus menyelesaikan suatu pekerjaan, Sayang. Bagaimana liburannya? Menyenangkan?"
"Menyenangkan, tapi tidak ada Papa, jadi aku merasa sedih. Basil juga. Mama apalagi, kadang Mama menangis diam-diam. Aku tahu, tapi aku diam saja, karena Basil bilang, Mama tidak suka jika ada yang tahu kalau dia sedang menangis."
Rasa bersalah menohok dalam hati Jevais saat mendengar ucapan Bianca. Serta merta dia mengangkat wajahnya, hanya untuk menemukan sosok Frey yang berdiri menggandeng Basil, menatap Jevais dengan tatapan kosong. Wajah Frey nampak lelah, karena perjalanan panjang dari Paris, tapi jelas, hati wanita itu lebih merasa lelah, menghadapi dirinya. Suami yang dia pilih dan dia harapkan menjadi partner hidupnya, tapi malah mengkhianati dan mengecewakannya, bahkan hanya dalam jangka waktu pernikahan yang masih berumur kurang dari lima tahun.
Jevais menyesali dirinya. Sebagai lelaki, dia sangat payah. Dia tidak bisa menjaga komitmen dan kepercayaan dari Frey. Dia menyia-nyiakan Frey yang telah berjuang untuknya. Akan tetapi, Jevais tidak punya pilihan. Dia tidak bisa meninggalkan Kiyoko dalam kondisi hamil sendirian.
"Basil...." Jevais memanggil anak lelakinya untuk mendekat karena dia tidak punya nyali untuk menyebutkan nama Frey, istrinya. Basil menoleh pada ibunya, meminta persetujuan apakah dirinya boleh mendekati ayahnya. Frey mengangguk. Dia memperbolehkan Basil mendekati Jevais. Betapa pun Frey membenci Jevais saat ini, tapi Basil adalah putra Jevais. Dalam diri Basil dan Bianca, mengalir darah Jevais yang tidak akan pernah bisa dihapuskan.
Jevais memeluk Basil dan Bianca bersamaan, anak-anaknya yang sangat berharga, tapi harus dia tinggalkan karena ada anak lain yang juga membutuhkan kehadirannya. Jevais tahu, dia bukanlah ayah dan suami sempurna dan dia merasa sangat bersalah.
"Papa harus kerja apa sih? Sampai nggak jadi liburan?"
"Sesuatu yang penting. Maafkan Papa. Lain kali, kita bisa berlibur lagi." Jevais mengusap puncak kepala Basil.
"Lain kali? Sepertinya, nggak ada lain kali Papa," balas Basil, membuat Jevais mengerutkan kening.
"Kenapa nggak ada lain kali?
"Karena aku harus bersekolah, aku tidak mau terus menerus membolos. Aku ingin jadi anak yang pintar dan membuat Mama gembira. Aku tidak ingin melihat Mama menangis."
Ucapan Basil membuat Jevais kembali tersindir. Bahkan Basil, anak sekecil itu berusaha menjaga wanita yang dia cintai, tapi Jevais gagal. Dia menyatakan cinta pada Frey, dia pula yang menorehkan luka.
"Good boy, kamu anak yang baik, Basil. Papa sangat bangga." Jevais mengusap kepala Basil.
"Nah, Papa ingin bicara sesuatu dengan Mama, bisakah kalian bermain dengan Sus dulu?"
Kedua anak dalam pelukan Jevais mengangguk, dan pergi mendapatkan baby sitter mereka. Jevais menatap Frey, membuat tubuh Frey merasa tegang. Sebelumnya, dia ingin segera bertemu Jevais dan meminta penjelasan dari lelaki itu, tapi sekarang, saat mereka berhadapan ada rasa takut menghampirinya. Frey ingin mundur, dia tidak ingin tahu lagi hal apa pun yang membuat Jevais meninggalkan dirinya dan anak-anak di bandara. Frey tidak ingin tahu lagi, mengapa Jevais tidak pernah menyusul mereka di Paris dan membuat si kembar kecewa. Frey takut, ucapan yang dikatakan Jevais akan memporak porandakan dirinya dan membuatnya tenggelam dalam kesedihan mendalam.
"Frey, maaf...." Kata-kata itu yang pertama kali Jevais ucapkan pada Frey dan membuat Frey reflek melangkah mundur, membuat jarak dengan Jevais. Dia tidak siap mendengar Jevais mengatakan bahwa kini dia memilih Kiyoko dan mengucapkan selamat tinggal kepadanya.