Bab 3 : Bertemu Kembali

1127 Words
Satu tahun kemudian “Mama nggak habis pikir dengan kamu, Abi.” Abi melangkah mendekati tamu spesial yang datang ke rumahnya pagi ini, memeluk tubuh sang ibu tersayang dari arah belakang. “Ma, tolong hargai keputusan Abi, ya,” lirihnya. Abi memutuskan untuk pindah dari rumah lamanya setahun setelah kepergian Aira. Rumah yang dulu terasa begitu penuh dengan kenangan kini menjadi terlalu besar untuk hanya dihuni olehnya dan Kanina. Setiap sudut rumah itu mengingatkannya pada Aira—dari meja makan tempat mereka pernah berbagi cerita hingga kamar tidur yang selalu menjadi tempat mereka beristirahat bertiga. Hati Abi terasa berat setiap kali melangkah melewati ruangan-ruangan yang kini terasa begitu hampa. Rasa bersalahnya tidak kunjung hilang mengingat betapa kejamnya dia selama ini menyia-nyakan Aira. Abi memutuskan untuk mencari tempat yang lebih sederhana dan nyaman, sesuai dengan kebutuhan mereka berdua. Pilihannya jatuh pada sebuah perumahan cluster di kawasan yang cukup tenang. “Kamu ini dikasih tahu Mama kok nggak mau dengar, sih? Mama masih mampu menjaga Kanina, Abi. Kalian di sini Mama makin jauh dari cucu mama,” protes Mama Ara, ibu kandung Abi. “Janji, tiap weekend kami bakalan main ke rumah kok, Ma,” balas Abi. “Kanina tinggal sama Oma saja, ya,” bujuk Mama Ara pada Kanina mengabaikan Abi yang Tengah mengulum senyum. “Kasihan Ayah, Oma. Tidak pandai masak telor mata sapi,” kata Kanina membuat omanya mengulum senyum. “Kanina …! Ayah dengar. Sekarang Ayah sudah pandai masak ‘kan?” kata Abi menatap gadis kecilnya dari kejauhan. “Tapi tetap gosong,” kekeh Kanina seraya menutup mulut dengan sebelah tangannya kompak dengan omanya. Abi tidak tinggal berdua dengan Kanina, dia membawa serta pengasuh Kanina, asisten rumah tangganya yang sejak lama ikut tinggal bersamanya. Meskipun ukuran rumah saat ini lebih kecil dari rumah sebelumnya, tapi terasa hangat. Ada satu alasan lain yang membuat Abi tertarik pada kawasan ini yaitu playground yang terkenal baik di daerah tersebut. Playground ini tidak hanya menjadi tempat anak-anak bermain, tetapi juga sebuah tempat di mana kegiatan edukatif diadakan secara rutin. Dengan jarak yang terjangkau dari rumah baru mereka, Abi berharap tempat ini bisa menjadi ruang baru untuk Kanina tumbuh dan bermain dengan gembira. “Terus jadi mau disekolahin, Kanina-nya?” tanya Mama Ara masih tampak tidak senang dengan keputusan Abi ini. “Jadi, Ma. Sudah daftar, lusa sudah masuk.” Kini pandangan Abi jatuh pada Kanina yang tertunduk lesu. “Iya ‘kan, Kanina? Mau sekolah ‘kan?” tanya Abi memastikan. Sejak kepergian Aira, Kanina tidak seriang sebelumnya. Dia menjadi lebih banyak diam, takut dengan keramaian, dan tiba-tiba saja bisa tantrum berkepanjangan. Abi dan mamanya saling memandang. Mama Ara mengerutkan keningnya, juga membulatkan matanya kesal dengan anaknya itu. “Kanina …?” panggil Abi. “Iya, Ayah. Kanina mau,” lirihnya. *** “Aduh, gadis kecil, Ayah. Cantiknya,” puji Abi melihat Kanina, gadis kecilnya yang berusia tiga tahun pagi ini mengenakan seragam playground-nya. “Bik Tari sudah siap?” tanya Abi menggendong Kanina keluar rumah menuju mobil. “Sudah, Den.” “Di sekolah banyak teman kayak di rumah Oma, Yah?” tanya Kanina membuat Abi mengulum senyum. Rumah Oma memang tempat berkumpulnya para bocil, sepupu Kanina, anak dari Mas Nadeo dan Dion. “Lebih banyak malah, Kanina pasti senang,” jawab Abi mengukir senyum di wajah Kanina. Mobil sudah terparkir sempurna di halaman sekolah karena jaraknya memang terbilang dekat. “Let’s go, turun,” seru Abi. Playground ini memiliki fasilitas yang sangat baik, dengan guru-guru yang ramah dan terlatih. Abi merasa yakin ini adalah pilihan yang tepat untuk putrinya. Semula, Kanina terlihat sangat antusias. Setiap hari selalu bertanya kapan akan sekolah setelah dibelikan seragam. Namun, seketika langkah Kanina terhenti hingga membuat Abi menoleh ke arah anaknya yang melepas genggamannya—memeluk boneka kesayangannya—menunduk ketakutan. Semangat Kanina mendadak berubah. Abi menyadari perubahan itu—berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan sang putri. “Kanina baik-baik saja?” tanya Abi hati-hati. Abi memperhatikan wajah kecil Kanina yang terlihat lesu dan sedih. Perlahan Kanina menggeleng, pandangan matanya tertuju pada anak-anak lain yang diantar oleh ibu mereka. Ada perasaan rindu dan kehilangan yang terpancar dari mata Kanina yang mungkin terlalu kecil untuk mengerti perasaan itu, tapi cukup kuat untuk merasakannya. “Kanina mau diantar Ibu,” lirihnya tiba-tiba. “Seperti mereka, Ayah,” tunjuknya pada anak-anak lain yang digandeng oleh ibunya. “Ibu Kanina mana, Yah?” Abi mengangkat pandangannya melihat Bik Tari yang matanya sudah berkaca-kaca. Seberapa sering Kanina diajak ziarah ke makam ibunya, di lain waktu dia akan kembali mempertanyakan keberadaan ibunya. “Kanina—” “Ibu Kanina, mana? Kanina nggak mau sekolah, Ayah.” Kanina menangis tersedu-sedu—berbalik memeluk Bik Tari yang sudah berjongkok. “Permisi, Pak,” sapa seorang guru, mendekati Abi dan Kanina. Abi menyapa dan menjelaskan keadaan Kanina pada sang guru yang mengangguk paham. “Hai, Kanina,” panggil sang guru membuat Kanina menoleh. “Kanina, sapa ibu gurunya,” ujar Abi, sementara Kanina tidak mengindahkan dan terus menangis. “Coba … Miss lihat kartu namanya?” ujar sang guru. Abi kembali memanggil Kanina, kali ini nada suaranya berubah penuh ketegasan membuat Kanina akhirnya turun dari gendongan Bik Tari—menghadap sang guru meski wajahnya menunduk lesu. “Oh, kelas Miss Bintang,” ucap sang guru melihat tanda di kartu nama Kanina yang disediakan pihak playground, kemudian memanggil rekannya yang tak jauh darinya. “Miss Bintang, ini ada muridnya yang cantik.” Kanina berlari ke pelukan Abi menangis—mengajaknya pulang, tidak ingin sekolah. Kanina bahkan tidak segan memukul d**a Abi. Bintang, ya, Bintang, wanita yang satu tahun lalu bertemu dengan Abi dan Kanina di pemakaman. Dia seorang guru baru di playground Pelangi. “Mana anak murid Miss Bintang yang cantik? Hai, Kanina,” sapa Bintang sumringah setelah rekannya menjelaskan keadaan Kanina. Abi yang masih menenangkan Kanina mengangkat pandangannya. Senyum di wajah Bintang memudar, keningnya mengerut melihat Abi yang juga sama membeku dengan pertemuan mereka kembali. Sementara kanina masih bersembunyi di d**a Abi—menangis. “Pak, saya, Miss Bintang,” ujar Bintang seraya menganggukkan kepalanya. Mendengar suara itu, Kanina tiba-tiba menoleh menatap Bintang dengan mata berbinar. Matanya membulat sempurna, wajah murungnya seketika sumringah meski air matanya masih mengalir. "Ibu ...." Panggilan itu keluar begitu saja dari bibir kecilnya, membuat Abi dan Bintang terdiam sejenak. Abi tersentak mendengar kata itu. Perasaannya campur aduk, antara terkejut dan bingung. Satu tahun sudah berlalu, seolah tidak ada yang berubah dari Bintang. Kanina bahkan masih mengira Bintang ibunya. Meski terkejut, Bintang mencoba untuk tetap tenang. Ia tersenyum dan mengelus rambut Kanina. "Kanina mau Miss temani bermain hari ini?" tanyanya lembut. Kanina mengangguk dengan penuh semangat, seolah-olah rasa sedih yang tadi sempat menghinggapinya perlahan-lahan mulai memudar. Kini Kanina sudah berada di dekapan Bintang. “Ibu, Kanina rindu Ibu,” lirih Kanina mengusap sayang pipi Bintang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD