Prolog
“Tidak semua permasalahan harus berakhir dengan perceraian, Aira.” Abi membuang cepat pandangannya dari sang istri.
Aira sedikit bergeser—menangkup sebelah pipi Abi hingga kini mereka saling beradu pandang. “Sekarang aku tanya, Mas. Apa kamu mencintaiku? Oh, aku ganti pertanyaannya. Apa selama pernikahan ini kamu pernah memiliki sedikit perasaan untukku?”
Abi menggelengkan kepalanya heran dengan sikap Aira, setiap hari apa pun penyebab pertengkaran mereka selalu berakhir dengan pertanyaan itu dan itu saja.
Aira mengaku muak dengan pernikahan mereka. Pernikahan yang terjadi begitu saja. Tidak ada getar cinta yang dirasakan Abi, berbeda dengan Aira yang lebih dulu menaruh hati pada suaminya. Cinta bertepuk sebelah tangan, begitulah gambarannya.
Mereka diperkenalkan oleh orang tua. Abi yang saat itu patah hati karena harus merelakan wanita yang dia cintai untuk sang adik memutuskan untuk menikah dengan Aira. Bagaimanapun juga kehidupannya harus tetap berlanjut pikir Abi.
Abi tak pernah menyentuh Aira, tak pernah mencoba untuk menjangkau lebih jauh dari sekadar status suami istri yang dipaksakan keadaan. Bagi orang-orang di sekitar, mereka adalah pasangan sempurna, tetapi di balik pintu tertutup rumah mereka, ada jarak yang begitu dalam, sebuah kehampaan yang tak pernah terisi. Meski Abi tidak mencintai sang istri, Aira tidak pernah kekurangan suatu apa pun secara materi. Demi membuat pernikahan mereka terasa meyakinkan, Abi menyarankan Aira untuk mengikuti program bayi tabung dan Aira setuju.
Aira pikir dengan kehadiran Kanina, putri pertama mereka sikap Abi padanya akan berubah. Namun, nyatanya sama saja. Sekalipun Abi menerima dan sangat bahagia akan kehadiran Kanina, tapi sikapnya pada Aira tidak ada peningkatan.
“Sepertinya kamu kurang piknik. Aku akan mengambil cuti dan kita berlibur bersama, ya,” bujuk Abi pada Aira yang menggeleng cepat, tidak setuju.
“Aku mau ke Jakarta selama beberapa hari, ke rumah orang tuaku. Aku sudah titip Kanina dengan Bik Tari—”
Aira bicara seraya meninggalkan Abi. Tiba-tiba langkahnya terhenti, tubuhnya membeku saat merasakan pelukan hangat dari arah belakang. Aira tertawa kecil, kemudian berkata, “Apa kamu sudah mencintaiku?”
“Aira,” protes Abi dalam nada lirih.
Abi merasakan sesuatu yang berbeda dari Aira. Aira dulunya adalah wanita yang lembut dan selalu menyambut Abi dengan senyum manis. Kini Abi merasakan perubahan pada sikap Aira. Senyum manis dan sikap lembutnya hilang entah ke mana, dan kata-kata manis yang dulu ia berikan pada Abi perlahan berubah menjadi ketus dan penuh nada dingin. Aira menjauh. Setiap usaha Abi untuk mendekatinya selalu berakhir dengan penolakan.
Suara tangisan Kanina membuat Abi terpaksa melepas pelukannya. Keduanya berjalan ke arah kamar menyambut anak mereka yang sudah menepuk sisi kasur—meminta keduanya ikut baring bersama dengannya. “Ada apa, Kanina?” tanya Aira merangkak naik ke atas kasur memeluk Kanina.
“Jangan tinggalin Kanina, Ibu,” ucap Kanina, anak perempuan mereka yang saat ini berusia dua tahun—sesenggukan membuat Aira membeku—susah payah menelan salivanya. Tiba-tiba saja, Kanina bermimpi sang ibu pergi meninggalkannya.
“Nggak ada yang tinggalin Kanina, Sayang. Ayah ambil cuti deh besok biar weekend kita panjang, kita jalan ke mana ya … enaknya,” pikir Abi berusaha menenang Kanina yang tersenyum hangat seraya mengangguk dalam pelukan Aira.
“Ke pantai, Ayah. Kanina mau ke pantai, ya, Ibu,” rengeknya pada Aira yang terlihat bingung harus menjawab apa.
Aira yang akan melayangkan protes tak dapat melanjutkan kalimatnya karena Abi membelai puncak kepalanya lembut, memintanya untuk menyahut setuju.
“Oke, kita ke pantai. Sekarang, Kanina dan Ibu tidur, ya. Selamat malam kesayangan Ayah,” ucap Abi memejamkan matanya lebih dulu diikuti oleh Kanina, sementara air mata Aira jatuh merasakan usapan lembut Abi pada lengannya. Kebersamaan ini, dia sangat menikmatinya. Namun, Aira sadar ini tidak akan lama.
***
Abi terbangun mendapati sisi di sampingnya hanya ada Kanina, padahal semalam mereka tidur bertiga—Abi, Aira, dan Kanina. Abi duduk dan memandangi sisi ranjang berharap melihat Aira, tapi dia tidak ada.
Abi turun ke lantai bawah kembali berharap menemukan Aira di dapur atau ruang tengah. Namun yang ditemuinya hanyalah asisten rumah tangga yang sedang membereskan perabotan.
“Bik, Ibu di mana?” tanya Abi menelisik sekitar.
"Pak Abi, Bu Aira sudah pergi tadi pagi-pagi sekali ke Jakarta," ujar Bik Tari.
"Jakarta?" Abi bertanya, tak percaya. Aira tidak main-main dengan perkataannya semalam. Abi mengusap kasar wajahnya. Ini bukan kali pertama Aira pergi begitu saja sekalipun Abi tidak memberi izin. Ia segera meraih ponsel dan mencoba menghubungi Aira, tapi tak ada jawaban. Berulang kali dicoba, tetap tak ada respons. Abi tidak tenang, kemudian mencoba menghubungi keluarga Aira. Namun, tak satu pun dari mereka yang mengangkat telepon. Entah kenapa kali ini Abi merasa gelisah, dia pun memutuskan untuk segera menyusul ke Jakarta.
***
Setibanya di rumah orang tua Aira, perasaan Abi tak enak. Rumah itu kosong, tak ada tanda-tanda kehidupan. Abi mengetuk pintu beberapa kali, tapi tak ada jawaban. Hingga suara yang sangat dia kenal menyapa, “Den Abi.” Asisten rumah tangga yang bekerja di rumah itu membuka pintu utama. “Ibu dan Bapak sudah berangkat ke Singapura. Keadaan Non Aira semakin memburuk, Den.”
"Memburuk?" Abi bertanya, tertegun. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Pikiran Abi berputar, mencoba memahami situasi ini. Aira sakit apa? Mengapa dia tidak tahu? Mengapa Aira tidak pernah bercerita?
Untuk kesekian kalinya Abi menghubungi papa mertuanya, dia bernapas lega karena pada akhirnya panggilannya terhubung.
“Papa, tolong beri tahu Abi! Aira di mana, Pa?” lirihnya bahkan tanpa menyapa.
“Maafkan Papa, Abi.” Abi memejamkan matanya, darahnya berdesir mendengar penjelasan papa mertuanya tentang keadaan sang istri.
Dalam kegelisahan itu, satu fakta pahit terungkap. Ternyata perubahan sikap Aira selama ini bukan karena ketidakharmonisan dalam rumah tangga mereka, melainkan karena Aira mengidap penyakit jantung bawaan. Aira menjauh dari Abi dan Kanina, bukan karena dia tak lagi mencintai mereka, tetapi karena dia sedang berjuang melawan penyakitnya tanpa sepengetahuan Abi. Setiap kali Aira pergi ke rumah orang tuanya, ternyata bukan hanya untuk menghindari Abi, tetapi untuk melakukan pengobatan.
Kesadaran itu menghantam Abi seperti pukulan telak. Pertengkaran mereka yang semakin sering, permintaan cerai yang selalu diucapkan Aira dalam emosi, semua itu ternyata berasal dari rasa takut dan rasa sakit yang selama ini dia simpan sendiri. Abi yang selama ini mengabaikan keberadaan Aira, menyesal karena buta akan penderitaan yang Aira alami.
Tanpa memikirkan apa pun lagi, Abi segera bergegas ke Singapura membawa buah hatinya. Setibanya di rumah sakit, Mama mertuanya mengangguk ketika melihat Abi melangkah masuk ke dalam ruang perawatan Aira.
“Ibu …,” pekik Kanina di dalam gendongan Abi—melihat sang ibu terbaring bersama alat yang terpasang di tubuhnya.
Di ruangan yang sunyi, Abi menemukannya—Aira terbaring lemah. “Kanina dengan Eyang sini, Sayang,” bujuk mama mertua Abi meraih Kanina yang menangis.
“Aira,” lirih Abi memanggil Aira. Tidak ada jawaban, hanya air mata yang mengalir di pelipis sang istri. Cepat Abi mengusapnya. “Aku dan Kanina di sini, kami akan menemani kamu. Kamu pasti bisa melewati ini, pasti.”
Abi meraih tangan Aira dan mengecupnya. Aira menggeleng bersamaan dengan Papa yang mendekati Abi memberikan secarik kertas.
“Mas … maafkan aku, atas semua sikap burukku selama ini. Aku sering bersikap tak pantas padamu, maafkan aku. Sungguh, aku tak pernah bermaksud berlaku kasar padamu. Aku mencintaimu, Mas. Meski tak pernah kurasakan balasan atas cintaku, aku bersyukur pernah menjadi istrimu. Hadirnya Kanina adalah bukti kamu telah berusaha lebih baik dalam pernikahan ini, dan itu sudah lebih dari cukup bagiku.
Alasan aku menjauh, bukan karena aku tak peduli. Aku takut, Mas. Takut kamu pergi meninggalkanku jika tahu tentang penyakit ini. Aku memilih diam, berharap bisa terus ada di sisimu sedikit lebih lama, tapi sekarang, aku harus pergi.
Janjikan satu hal padaku, Mas. Jagalah Kanina dengan seluruh cinta yang kamu miliki. Lanjutkan hidupmu, temukanlah kebahagiaanmu. Temukanlah wanita yang bisa kamu cintai dengan seutuhnya.
Pergiku kali ini adalah perpisahan terakhir. Tidak perlu khawatir, ya, Mas. Aku pergi dengan tenang,” tulisnya.
“Nggak ada yang pergi, Ai—Aira …!”
Abi cepat menekan panggilan bantuan saat Aira kesulitan bernapas. “Ibu …,” pekik Kanina dan Abi langsung memeluknya sedikit menjauh karena dokter sudah datang untuk memeriksa.
Dokter telah melakukan yang terbaik, tapi nyawa Aira tidak dapat diselamatkan. Dia dinyatakan meninggal dunia.
Di samping tubuh Aira yang kini terbujur kaku, Abi hanya bisa merasakan penyesalan yang begitu mendalam. Penyesalan karena tidak pernah mau belajar mencintai Aira. Abi kehilangan Aira, bukan hanya sebagai istri, tetapi juga sebagai seseorang yang seharusnya dia lindungi, jaga, dan cintai sepenuh hati. Namun, kini semuanya sudah terlambat.
“Ayah, Ibu kok nggak bangun-bangun? Kita ‘kan mau pantai.” Abi meraih Kanina menatapnya dalam, matanya mirip seperti Aira.
“Ibu sudah tiada, Kanina.” Abi hanya mampu mengucapkannya di dalam hati.