Bab 10 - Ketakutan Barra

1469 Words
Segarnya embusan angin serta luasnya bentangan air, menyambut kedatangan sepasang kekasih. Dengan alas kaki yang sengaja ditentang, pasangan itu bergandengan tangan berjalan menyusuri lembutnya pasir pantai yang mereka lewati. Sesekali mereka bercengkerama sambil saling menatap. Tak jarang juga si laki-laki merengkuh pinggang si wanita yang kemudian dibalas wanita itu dengan menempelkan kepalanya ke tubuh laki-laki itu. Itu pemandangan romantis di tengah ramainya suasana pantai. Saking romantisnya pasangan kekasih tersebut, tidak sedikit orang-orang yang melihat kemesraan mereka pun merasa iri. Bahkan ada yang terang-terangan melontarkan pujian untuk pasangan itu. "Kalian berdua serasi banget. Yang satu ganteng, yang satu lagi cantik." "Pasti nanti anaknya ganteng dan cantik juga kayak Mas dan Mbaknya." Sedangkan pasangan itu membalasnya dengan ucapan terima kasih. Lalu kembali melanjutkan langkah mereka. Pasangan itu tidak lain adalah Sasmita dan Barra. Hari ini Barra mengajak Sasmita ke pantai, tempat favorit wanita itu. Satu minggu lebih Sasmita disibukkan dengan pekerjaannya, tapi wanita itu masih menyempatkan diri untuk datang ke apartemen Barra. Padahal Barra sudah mengatakan supaya Sasmita tidak perlu datang lagi karena ia sudah sembuh. Namun, Sasmita tetaplah Sasmita. Wanita itu tetap datang ke apartemen Barra pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan lalu berangkat ke kantor. Maka dari itu sebagai ucapan terima kasih, Barra mengajak Sasmita ke pantai, tempat favorit wanita itu. Barra membiarkan Sasmita menyandarkan kepala di bahunya sembari mereka duduk menikmati suasana sore itu. “Barra, makasih,” ucap Sasmita tanpa mengalihkan pandangan dari air laut yang memantulkan sedikit cahaya berwarna oranye muda. “Everything for you, Ta. I love you,” balas Barra seraya mengelus lembut rambut kekasihnya. Bagi Barra, Sasmita adalah segalanya. Wanita itu seolah hanya diciptakan untuk menjadi pusat tata surya bagi seorang Barra Refano. Sasmita dengan segala tingkahnya selalu bisa membuat perasaan Barra membuncah bahagia. Barra bahkan masih ingat bagaimana tiga tahun lalu mereka bisa bertemu. Itu karena Wira, kakak Sasmita yang juga teman SMA-nya dulu—yang juga satu jurusan kuliah—sering nongkrong di coffee shop miliknya. Awalnya saat Wira mengatakan kalau laki-laki itu punya adik perempuan, Barra tidak percaya. Barra pikir yang Wira maksud adik adalah perempuan-perempuan yang suka mengejar-ngejarnya. Namun, ternyata ia salah. Wira benar-benar mengajak adiknya ke Barr’s Coffee. “Kenalin, Bar ini Sasmita, adik gue. Dan Sas, kenalin ini teman Kakak, namanya Barra,” ujar Wira saat itu memperkenalkan seorang gadis yang saat itu memakai celana jeans dan sweeter putih. Dengan kikuk, Barra mengulurkan tangan kanannya pada adik sahabatnya. “Halo, gue Barra.” “Sasmita.” Singkat, padat, dan jelas—hingga membuat Barra dan Wira saling pandang. Wira sendiri tidak menyangka adiknya sebegitu dinginnya pada laki-laki padahal sejauh ini ia tahu bahwa Sasmita adalah primadona di sekolahnya. Tanpa memedulikan tatapan kedua laki di hadapannya, Sasmita justru malah sibuk mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. “Aku duduk di sana ya, Kak,” ujar Sasmita pada Wira lalu segera berjalan menuju bangku paling pojok dekat jendela. “Maafin adik gue ya, Bar. Dia kalau sama orang asing emang kayak gitu soalnya,” ucap Wira masih sambil mengawasi adiknya. Bagaimanapun juga Sasmita pergi bersamanya, jadi ya sebagai kakak, ia harus memastikan keamanan adiknya itu apalagi ini malam hari. “Santai aja, gue paham kok,” jawab Barra dengan pandangan, yang entah kenapa, susah dialihkan dari sosok di bangku pojok itu. Dan satu kata yang ada di dinding pojok kafe sudah cukup menjelaskan bagaimana sosok tersebut. Beautiful. Ya, Sasmita begitu cantik. Tidak hanya cantik wajahnya, tapi juga hati dan perilakunya. Sasmita apa adanya, tidak pernah jaim. Jika A bilang A, jika B ia akan bilang B. Bahkan Sasmita juga tidak malu memesan dua mangkuk bakso saat ia, Wira, dan Sasmita pergi bersama. Percayalah bahwa pergi bertiga adalah cara Barra untuk bisa mendekati Sasmita. Selain karena Barra menghormati Wira sebagai kakak Sasmita yang begitu protektif, Barra juga tahu kalau Sasmita tidak akan pernah mau pergi dengan orang yang tidak terlalu dikenalnya. Sesulit itu Barra untuk mendapatkan hati Sasmita. Hingga akhirnya ketika tanpa sengaja mereka bertemu di pantai dan Wira sedang pergi ke toilet, itu adalah sebuah kesempatan yang Barra miliki. “Lo suka pantai?” Pertanyaan tersebut berhasil menghentikan kegiatan Sasmita yang saat itu sibuk memotret keindahan pantai. Sasmita memerangkap bentangan air yang memantulkan cahaya berwarna oranye. “Iya,” jawab Sasmita. “Saking sukanya sampai ....” “Barra, aku lapar!” Seruan Sasmita seketika menyadarkan Barra dari nostalgia kisah pertemuan mereka. Laki-laki itu menoleh dan mendapati Sasmita menatapnya dengan senyum seperti anak kecil. “Nggak nunggu sunset dulu?” tanya Barra. Ia tahu Sasmita selalu menyukai keindahan matahari tenggelam apalagi di pantai seperti ini. Sasmita tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke arah tenggelamnya matahari lalu ke menggeleng. “Enggak, deh. Aku keburu lapar ini,” jawabnya. “Makanya jangan sok-sokan diet segala. Lapar kan jadinya. Ini kalau sampai si Maung tahu kamu diet, pasti kamu diamuk, Ta,” sahut Barra. “Ya, aku kan pengin kayak cewek-cewek yang lain gitu, Bar. Pengin langsing juga biar kamu nggak berpaling.” “Ngawur! Yang ada kalau kamu diet, kamu nanti jadi segini nih,” sahut Barra seraya menunjukkan jari kelingkingnya, yang langsung dihadiahi cubitan di pinggang oleh Sasmita. “Ih malah ngeledek. Udah ah, ayo cari makan.” Sasmita bangkit lebih dulu seraya menarik lengan Barra. Namun, percuma saja, tenaga Sasmita tidak cukup kuat untuk menarik Barra berdiri. “Ya udah kalau gitu sekalian kita pulang aja, ya. Takutnya nanti kamu kemalaman pulangnya,” putus Barra yang langsung dihadiahi anggukan oleh Sasmita. Mereka segera menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Barra lalu menyuruh Sasmita naik ke boncengan. Tak lama kemudian, motor Barra melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan area pantai dan bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya. Beruntung, meskipun terlahir dari keluarga dengan ekonomi kelas atas, Sasmita tidak pernah rewel tentang makanan. Sasmita tidak pernah mempermasalahkan mau makan apa saja dan di mana saja. Prinsip wanita itu sama seperti sang kakak, ‘yang penting kenyang’. Sungguh, mereka benar-benar kakak-adik sejati. Seperti sekarang ini, Sasmita tidak menolak saat Barra menghentikan motornya di warung pecel lele dekat SMA Tirta Biru—sekolah Sasmita dulu. Sasmita bahkan langsung turun tanpa melepas helm dan masuk ke warung. Wanita itu memesan dua porsi pecel lele dan dua gelas es jeruk. “Bar,” panggil Sasmita seraya mencondongkan tubuhnya ke depan. Barra yang sedang sibuk menikmati makanannya bergumam pelan, tapi ikut mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah wanita di hadapannya. Laki-laki itu menatap Sasmita dengan alis terangkat. Tidak langsung menjawab, Sasmita malah menoleh ke kanan kiri. Seolah yang akan wanita itu sampaikan adalah sebuah berita penting dan tidak boleh sembarangan orang mendengar. “Kamu malu nggak kalau aku nambah lagi?” tanya Sasmita. Satu pertanyaan, tapi justru membuat Barra hampir tersedak. Laki-laki buru-buru meminum es jeruknya. “Kamu mau nambah lagi?” Sasmita mengangguk. “Iya nanti biar aku bayar sendiri pesananku.” “Nggak perlu, nanti biar sekalian aku aja yang bayar. Pesan aja dua porsi lagi. Aku juga mau nambah,” perintah Barra yang langsung diangguki oleh Sasmita. Melihat itu, Barra mengulas senyumnya. Anggap saja Barra lebay, tapi melihat Sasmita bahagia karena diperbolehkan menambah pesanan saja sudah membuat laki-laki itu ikut bahagia. Namun, kadang saat mereka sedang bersama seperti ini, ada sesuatu yang terselip di dalam hati Barra. Sesuatu yang kemudian terus membesar menjadi ketakutan-ketakutan yang selalu Barra rasakan setiap kali bersama Sasmita. Dan dari sekian banyaknya ketakutan tersebut, ada yang paling membuat Barra takut yaitu kehilangan Sasmita. Barra takut jika suatu saat hubungan mereka berakhir, mengingat ia belum juga mendapatkan restu dari ayah Sasmita hingga sekarang. Barra takut jika suatu saat wanita yang ia cintai pergi meninggalkannya dan membuat laki-laki itu harus merasakan kehilangan ... lagi. Padahal jika dipikir-pikir selama ini tidak hanya Barra yang merasakan ketakutan-ketakutan itu, tapi Sasmita juga. Sasmita takut kalau suatu saat hubungannya dengan Barra benar-benar berakhir, maka ia akan kehilangan laki-laki yang dengan melihat senyumnya saja sudah bisa membuat jantung Sasmita berdebar tidak tahu malu. Belum lagi ayah yang sejak awal tidak pernah menyetujui hubungannya dengan Barra, pasti akan langsung menjodohkannya dengan Sakti, laki-laki kelewat pede yang tidak ia cintai. Tidak! Sasmita tidak mau melakukan itu. *** Barra tidak tahu apa yang salah dengan dirinya akhir-akhir ini. Perasaannya kacau dan pikirannya sering kali tidak fokus. Barra bahkan sering kedapatan melamun saat di kafe. Jika ditanya kenapa, Barra hanya akan menjawab, “Tidak apa-apa”. Padahal dalam benaknya, ia sendiri juga bertanya-tanya, “Ada apa?” Barra masih belum bisa menemukan jawabannya, tapi ketakutan-ketakutan itu terasa semakin jelas apalagi sejak kehadiran Sakti. Laki-laki yang kata Sasmita adalah salah satu teman Wira yang juga anak kolega Roy Wardhanu, ayah Sasmita. Dan dari sorot matanya, Barra bisa melihat bahwa Sakti menyimpan perasaan pada kekasihnya. Meski begitu, Barra tetap berusaha bersikap biasa saja karena ia tidak mau jika ia salah mengambil sikap, itu malah akan menjadi bumerang untuk hubungannya dan Sasmita. Namun, ketika Barra sudah berhasil menguasai dirinya, ketakutan itu justru terjadi. Ia ... kehilangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD