Bab 9 - Sweet Breakfast

1648 Words
Selama satu setengah tahun bekerja di perusahaan ayah sendiri, baru kali ini Sasmita merasa diuntungkan. Pasalnya, Sasmita bisa datang jam berapa pun tanpa takut dimarahi atasan atau kalau mau, ia bisa saja tidak datang ke kantor sama sekali alias bolos. Namun, Sasmita tidak pernah melakukan semua itu. Lebih tepatnya belum, karena sekarang Sasmita berencana melakukannya. Jam tangan yang melingkar di tangan kirinya saja masih menunjukkan pukul enam lewat tiga belas menit, tapi Sasmita sudah berdiri di depan unit apartemen Barra. Tangan kirinya menenteng dua tas, satu tas miliknya dan satu lagi tas bekal berwarna kuning. Sedangkan tangan kanannya bergerak cepat membuka pintu unit. “Pagi, Bar!” sapanya, tapi yang disapa tidak menyahut. Mungkin masih tidur, batin Sasmita. Sasmita lalu bergegas ke dapur dan meletakkan tas-tas yang tadi dibawanya ke meja dapur. Wanita itu kembali ke depan sambil membawa beberapa peralatan kebersihan untuk membersihkan apartemen kekasihnya. Tidak butuh waktu lama, karena memang apartemen Barra sudah bersih. Jadi, ia hanya tinggal merapikannya sedikit. Selesai dengan kegiatan bersih-bersih, Sasmita segera menyiapkan sarapan untuknya dan juga Barra. Sesekali ia melihat ke pintu kamar Barra yang masih tertutup. “Tumben jam segini belum bangun?” Penasaran, Sasmita melangkah menuju kamar laki-laki itu. “Bar, kamu masih tidur? Bangun, yuk kita sarapan bareng.” Tidak ada jawaban. “Barra ayo bangun! Nanti keburu dingin makanannya.” Tidak ada jawaban lagi. “Bar, kalau kamu nggak bangun sekarang, aku bangunin paksa kamu, ya!” Namun, kali ini terdengar sayup-sayup dari dalam. Tidak hanya satu kali, tapi beberapa kali. Mungkinkah Barra mimpi buruk? Tanpa membuang waktu lagi Sasmita segera memutar kenop pintu kamar. Wanita itu masuk tepat saat Barra terlonjak bangun seraya berteriak. Napasnya begitu memburu seperti baru saja dikejar binatang buas. “Barra!” seru Sasmita panik seraya menghampiri Barra yang sudah terduduk di ranjang. Bulir-bulir keringat membasahi wajah tampan laki-laki itu. “Barra, kamu nggak apa-apa? Kamu—” Belum sempat Sasmita menyelesaikan ucapannya, wanita itu dibuat kaget karena Barra tiba-tiba meraih tengkuknya mendekat. Posisi Sasmita yang membungkuk ke arah Barra memudahkan laki-laki itu mendaratkan bibir Sasmita ke bibirnya. Seperti sedang memakan es krim, Barra menyesapnya lama sembari merasakan sensasi manis yang selalu membuatnya hilang akal. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Barra berusaha menerobos mulut Sasmita dengan lidahnya. Mengeksplorasi bagian dalamnya serta mengabsen gigi-gigi wanita itu. Dan seperti menemukan teman, lidah mereka saling membelit satu sama lain. Cukup lama, hingga kemudian Sasmita mendorong Barra dengan napas terengah-engah. “Masih pagi, Bar.” “Ma-maaf, Ta. Aku—” “Aku nggak marah kok,” potong Sasmita seraya mengulas senyum. Tangannya terangkat ke menyingkirkan rambut Barra yang menutupi dahi lalu bergerak turun mengusap wajah laki-laki itu. “Aku nggak tahu kamu mimpi apa sampai-sampai kamu teriak kayak tadi, tapi percayalah aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Aku akan selalu ada di samping kamu apa pun yang terjadi,” ucap Sasmita. Pandangannya beradu dengan Barra. Tatapannya begitu dalam, seolah sedang menyelami apa yang mereka sembunyikan dalam mata masing-masing. “Terima kasih sudah selalu ada untukku, Ta. Aku memang nggak salah memilih kamu,” jawab Barra seraya mengulas senyum. Namun, bukannya senang dengan jawaban Barra, Sasmita malah berdecak. “Pasti diajarin Wira gombal, ya? Udah ah, buruan bangun. Keburu dingin tuh nasi goreng kesukaan kamu.” “Nggak apa-apa nasi gorengnya dingin, asal kamu nggak ikutan dingin,” sahut Barra yang langsung dihadiahi pukulan oleh Sasmita. “Sekali lagi kamu gombal, aku pulang,” ancam Sasmita seraya berdiri bersedekap. Namun, Barra justru menarik lengan Sasmita hingga wanita itu terduduk di ranjang, tepat di hadapannya. “Kamu mau ngapain lagi?” tanya Sasmita, tapi lengannya sudah ditarik mendekat pada Barra. Laki-laki itu mencondongkan tubuhnya pada telinga Sasmita seraya berbisik, “Mau melanjutkan sarapan yang tadi kamu sudahi tiba-tiba.” Sasmita bahkan belum sempat merespons ketika Barra sudah mendaratkan bibirnya lagi. *** “Gara-gara kamu nih, jadi dingin kan nasi gorengnya,” omel Sasmita ketika mereka sudah duduk berhadapan di meja dapur. Meski begitu ia tetap melahap nasi goreng tersebut, begitu juga dengan Barra. “Belum dingin banget ini, Ta. Lagian nasi goreng hangat atau dingin kalau kamu yang masak kan tetap aja enak,” jawab Barra seraya menyuapkan nasi goreng itu ke mulutnya. Hanya beberapa menit, nasi goreng itu sudah tinggal dua kali suapan saja. “Kamu kayaknya kelaparan banget ya, Bar? Semalam emangnya nggak makan?” “Makan, tapi emang iya sih kalau dilihat-lihat, aku kayak orang kelaparan padahal aku udah sarapan dua kali tadi. Ini yang ketiga,” Barra menjawabnya dengan santai. Namun, berhasil membuat Sasmita melotot dengan pipi yang bersemu merah. “Jangan sok marah gitu, itu pipi kamu udah kayak kepiting bakar. Eh, itu kamu bawa apa lagi?” Barra menunjuk dengan dagunya pada wadah bundar yang Sasmita letakkan di pantry. Mengikuti arah pandang Barra, wanita itu sontak bangun dan mengambilnya. “Oh, ini soto ayam. Tadi Mama masak banyak terus sekalian nitip kasih ini ke kamu. Katanya biar calon menantunya nggak berubah kayak Wira.” Mereka sontak tertawa. Memang jika dibandingkan dengan Wira, tubuh Barra lebih berisi, tapi tinggi mereka sama. Mereka juga punya hobi yang sama, serta selera humor yang receh pula. Dulu saat dua laki-laki itu masih sibuk kuliah dan Sasmita sering ikut Wira mengerjakan tugas di Barr’s Coffee, mereka justru tidak menjalankan niat awal mereka. Dua laki-laki itu malah sibuk bermain game online atau kadang malah mengobrol ngalor-ngidul tentang gitar, musik, hingga wanita-wanita yang mereka incar. “Bilangin sama Mama kalau calon menantunya nggak akan berubah kayak Wira,” sahut Barra. “Oke.” Mereka melanjutkan kegiatan sarapan sambil mengobrol. Membicarakan apa pun yang bisa jadikan topik seperti biasanya. Bagi Sasmita, hubungan yang bahagia itu tidak melulu harus membelikan barang-barang mewah atau liburan ke luar negeri, tapi hubungan yang bahagia itu saat kamu menemukan orang yang tepat dan merasa nyaman bersamanya. Itu sudah sangat membahagiakan. Dering ponsel Sasmita menginterupsi pasangan itu. Melihat nama sang kakak tertera di layar, wanita itu segera menempelkan ponsel itu ke telinga kiri. Detik berikutnya, Sasmita bangkit dan menyambar tasnya di meja. “Iya iya, ini aku berangkat. Bye,” ucapnya mengakhiri panggilan tersebut. Pandangannya beralih pada Barra yang menatapnya penasaran. “Bar, maaf ya aku harus ke kantor sekarang. Aku lupa kalau siang ini ada meeting. Maaf ya, nggak bisa bantuin kamu beresin bekas makanannya.” “Nggak apa-apa, biar aku yang beresin ini nanti. Tapi itu benerin dulu baju kamu. Kancing atas ya kebuka itu.” Sasmita refleks menunduk dan benar saja, dua kancing teratas bajunya terbuka. “Astaga, gara-gara kamu nih, Bar!” “Iya, emang aku yang salah. Sini, aku bantu kancingin.” “Nggak! Yang ada aku malah nggak jadi berangkat meeting kalau kamu yang bantuin,” sahut Sasmita seraya mengancingkan bajunya cepat. Lalu segera meraih blazer dan tasnya. “Aku berangkat!” “Hati-hati, Sayang!” Lima puluh menit kemudian, Sasmita tiba di kantor. Ia melangkah cepat menuju ruangannya. Sesekali Sasmita membalas sapaan para karyawan yang berpapasan dengannya. Denting ponsel menginterupsi langkahnya. Sasmita merogoh tasnya dan mengambil ponselnya. Ada satu pesan masuk dari kakaknya. Best Brother : Aku dan Papa lagi ada di ruang kerja kamu. Buruan! Celaka! Sasmita segera mempercepat langkahnya menuju lift. Namun, knit skirt yang ia pakai justru menghambat langkahnya. Ia hampir terjatuh kalau saja seseorang tidak segera menangkap tubuhnya. “Hati-hati, Sas.” Sakti membantu Sasmita berdiri. “Makasih, Sak. Permisi aku buru-buru,” ucap Sasmita seraya masuk ke lift. Sakti juga mengikutinya masuk. “Saking buru-burunya, kamu sampai pakai baju yang kancingnya atasnya copot, ya?” Sasmita tersentak, ia segera menunduk sambil merapatkan blazernya untuk menutupi bagian atas bajunya. Tadi karena terburu-buru mengancingkan bajunya, Sasmita tanpa sadar menarik kancing itu terlalu kuat hingga terlepas dari benangnya. Dan sialnya, malah Sakti yang memergoki copotnya kancing tersebut. “Pakai ini untuk gantiin kancing kamu yang lepas,” ucap Sakti seraya menyerahkan sebuah bros berbentuk bunga warna hijau. Warna yang sangat kontras dengan pakaiannya saat ini. Sasmita ingin menolak, tapi mengingat pesan yang dikirimkan Wira tadi, mau tak mau ia menerimanya. Wanita itu berbalik badan dan memasang bros tersebut. “Aku pinjam dulu brosnya.” Sakti mengangguk. “Ngomong-ngomong ngapain kamu di sini?” “Saya ada urusan dengan Papa kamu. Apa beliau ada di ruang—Oh, maaf kamu kan dari luar, pasti tidak tahu Pak Roy di mana.” “Papa di ruanganku,” sahut Sasmita lalu keluar dari lift. Mendengar itu, Sakti langsung mengikuti langkah wanita di hadapannya. Sasmita berhenti sejenak, sebelum akhirnya membuka pintu ruangan tersebut. “Maaf, aku terlambat,” ucap Sasmita yang langsung membuat dua orang laki-laki beda usia itu menoleh ke arah pintu. “Kalian ... pergi bersama?” *** “Bantuan saya tidak gratis, Sas.” Itu yang pertama kali Sakti ucapkan setelah ayahnya dan Wira keluar dari ruangan Sasmita. Wanita itu mendongak dengan tatapan datar. “Kamu pamrih, ya? Oke, kalau gitu aku harus bayar berapa untuk bantuanmu tadi?” Ya, tadi Sakti membantu Sasmita dengan mengatakan kalau mereka pergi bersama pada Roy. Padahal, tanpa meminta penjelasan dari Sasmita, Wira sudah tahu ke mana adik kesayangannya itu pergi pagi-pagi sekali. Sasmita sebenarnya bisa saja mengatakan jujur, tapi ia takut itu akan memperburuk image Barra di mata sang ayah. Lagi pula, karena ayahnya juga menanyakan tentang bros yang Sasmita pakai untuk menggantikan kancing bajunya yang lepas. Ia tidak mau Roy berpikiran buruk tentangnya. Maka dari itu, Sasmita membiarkan Sakti berbohong, dan ia hanya mengiakan ucapan Sakti. “Bayarannya nggak perlu pakai uang. Kamu hanya perlu bayar dengan menemani saya. Bagaimana?” “Aku sibuk.” “Saya rasa kesibukanmu sudah berkurang beberapa jam karena datang terlambat dan meeting hari ini dibatalkan,” sahut Sakti. “Apa mau kamu, Sak?” “Temani aku makan siang. Itu bayarannya.” Sasmita menatap Sakti, tampak memikirkan sesuatu hingga kemudian ia mengangguk. “Oke, sekali ini aja dan ini cuma bayaran karena kamu membantuku.” “Tidak masalah. Setelah urusanku selesai, saya akan ke sini lagi untuk jemput kamu.” “Oke.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD