Bab 1 - Sakti Si Pengganggu

1590 Words
“Mau sampai kapan kamu seperti ini?” Pertanyaan final itu akhirnya keluar dari mulut seorang Sasmita Wardhani. Wanita berambut sebahu dengan kemeja stripe navy-putih dipadu celana bahan warna navy itu menatap jengah laki-laki berkemeja putih yang duduk santai di sofa ruang kerjanya. Ruangan itu didominasi warna putih dengan beberapa furnitur berwarna cokelat. “Kamu nanya sampai kapan?” Laki-laki itu tersenyum. “Sampai kamu menerima perasaan saya, Sas,” lanjutnya. “Gila!” desisnya tepat setelah laki-laki itu menyelesaikan kalimatnya. Sudah sejak lama Sasmita ingin melontarkan kata sarkas tersebut—lebih tepatnya sejak hari di mana ia mengutuk tanggal 1 Desember—, tapi baru sekarang Sasmita melakukannya. Itu pun karena tingkah laki-laki itu sudah kelewat parah. Bahkan hari ini saja—di jam kerja pula—, laki-laki itu datang sambil membawa sebuket bunga. “Kamu gila, Sak! Lupakan perasaan konyolmu itu. Sampai kapan pun aku nggak akan pernah membalas perasaanmu." Entah sudah berapa kali Sasmita menegaskan jika dirinya tidak akan pernah membalas perasaan laki-laki itu, tapi hasil yang didapat selalu sama. Laki-laki itu seolah tutup kuping dan bertingkah seperti biasanya. Dan inilah yang membuat Sasmita semakin membenci seorang Saktiawan Rahadi. “Kenapa? Karena kamu sudah punya kekasih?” Sakti bangkit dan menghampiri Sasmita yang bersandar di meja kerjanya sambil bersedekap. Sasmita, wanita itu mengangguk. “Ya,” sahutnya. Mendengar itu, Sakti tertawa. “Jadi, hanya karena kamu sudah punya kekasih, kamu nggak mau menerima perasaan saya? Oh ayolah, Sas itu kuno sekali. Punya kekasih itu bukan masalah besar untuk menerima perasaan orang lain, untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Bukankah banyak orang di luar sana yang meskipun sudah punya kekasih, tapi tetap menjalin hubungan dengan orang lain? Saya rasa kita perlu mencobanya supaya—” “Supaya apa? Supaya kamu bisa membuktikan kalau aku mengkhianati kekasihku sendiri? Supaya kamu bisa lebih mudah mendapatkanku setelah hubunganku dengan dia berakhir? Picik sekali Anda!” “Saya nggak minta kamu mengakhiri hubunganmu dengannya. Saya cuma minta satu kesempatan untuk menjadi kekasihmu juga, Sas. Itu saja. Saya tidak masalah kalau harus menempati posisi kedua di hatimu.” “Kamu benar-benar sudah nggak waras, Sak! Sekarang keluar dari ruanganku dan lupakan soal perasaan konyolmu itu. Satu lagi, jangan pernah menemuiku lagi di mana pun dan kapan pun. Aku nggak mau bertemu kamu lagi,” tegas Sasmita lalu melangkah menuju pintu. Tangannya bersiap memutar kenop ketika suara Sakti menginterupsi. “Maaf, Sas untuk permintaan pertamamu saya masih bisa menurutinya. Tapi untuk permintaan kedua dan ketiga, saya nggak bisa karena setelah ini Pak Roy mengadakan acara makan siang bersama. Beliau juga mengundangku secara langsung kemarin.” Sasmita membelalak. Ucapan Sakti barusan seperti mimpi buruk untuknya. Apa tadi, makan siang bersama? Bahkan ia yang anak Roy saja tidak tahu kalau ayahnya mengadakan acara makan siang. “Pak Roy juga berpesan pada saya untuk menjemputmu di kantor hari ini,” lanjut Sakti. Jadi, kehadiran Sakti yang lima belas menit lebih awal dari biasanya itu adalah karena campur tangan ayahnya? Astaga, apa lagi sekarang? Sasmita berbalik. “Apa Wira ikut?” tanyanya. “Ya, Wira juga ikut makan siang bersama kita,” jawab Sakti. “Kalau begitu silakan kamu berangkat lebih dulu. Aku bisa bareng kakakku nanti,” balas Sasmita. Sebisa mungkin ia harus mengurangi intensitas pertemuannya dengan Sakti. Sungguh, ia sudah sangat bosan dengan sosok laki-laki itu yang menurutnya sangat mengganggu. “Sayangnya, Wira juga menitipkan adik kesayangannya pada saya. Wira akan berangkat bersama Pak Roy setelah dari lokasi tinjauan proyek gedung baru,” jawab Sakti dengan tatapan lurus pada Sasmita. Sebuah senyum tercetak di bibirnya. “Jangan menolakku kali ini, Sas. Ayah dan kakakmu sedang memberiku tanggung jawab besar sekarang,” lanjutnya. Sakti maju satu langkah. Tangan kanannya terulur memberikan buket bunga yang sejak tadi dipegangnya pada Sasmita. “Ambil bunga ini dan kita bisa berangkat sekarang. Saya tidak mau kita datang terlambat dan membuat mereka menunggu.” Sasmita menghela napas pasrah. Rasanya percuma menolak permintaan Sakti, karena Sasmita tahu jika laki-laki di hadapannya ini adalah tipe orang yang keras kepala dan setengah pemaksa untuk mencapai keinginannya. Dan sebagian sifat itulah yang membuat Sasmita susah respect dengannya. Dalam hitungan detik, buket bunga itu sudah berpindah dari tangan Sakti ke atas meja Sasmita. Laki-laki itu menatap bingung sesaat sebelum akhirnya tersenyum. “Baiklah, tidak apa-apa. Sekarang, ayo kita berangkat,” ujar Sakti seraya mengulurkan tangannya pada Sasmita. Namun, Sasmita beranjak meraih tas tangannya dan melangkah keluar. Meninggalkan Sakti yang lagi-lagi hanya bisa menatapnya datar dengan helaan napas pasrah lalu keluar mengikuti calon wanitanya. Jika saja ada pilihan untuk menghilang, maka Sasmita akan dengan senang hati memilih opsi tersebut. Itu karena Sasmita tidak suka berada di satu tempat yang sama bersama laki-laki yang kewarasannya masih ia ragukan. Ya, siapa lagi kalau bukan Sakti. Sekarang keduanya berada dalam sebuah mobil sedan hitam menuju salah satu restoran terkenal di Jakarta. Sakti duduk di kursi kemudi dengan pandangan fokus pada jalanan meskipun sesekali melirik wanita yang duduk di sebelahnya, sedangkan Sasmita hanya diam sambil menatap kaca sebelah kirinya. “Apa kamu marah dengan saya?” Pertanyaan Sakti mengalihkan perhatian Sasmita dari keadaan di luar mobil. Wanita itu hanya menoleh sekilas lalu kembali dengan aktivitasnya semula. “Kalaupun aku marah, apa kamu akan tetap menuruti permintaanku? Enggak, kan? Jadi, kurasa aku nggak perlu menjawabnya,” jawab Sasmita tanpa mengalihkan pandangan. “Sasmita, saya melakukan ini karena sudah diberi tanggung jawab oleh Ayah dan kakakmu. Jadi, tolong jangan marah lagi. Lagi pula bukankah ini bagus, dengan kita semakin sering bertemu, kita semakin bisa memahami satu sama lain. Atau bagusnya lagi kita bisa merencanakan masa depan kita berdua nantinya.” “Jangan mimpi kita bisa bersama di masa depan. Aku nggak sudi punya suami keras kepala seperti kamu. Attitude-mu itu sangat jauh di bawah standar penilaianku.” “Apa ... attitude? Apa maksud kamu, Sas? Attitude saya baik-baik saja selama ini. Saya tidak pernah melakukan hal buruk pada orang lain dan semua orang mengetahui itu. Dan lagi, saya juga selalu memperlakukan kamu dengan baik. Lalu bagian mana yang menyebabkan standar penilaianmu buruk terhadap saya?” “Kamu masih tanya bagian mana? Apa kamu lupa apa yang sudah kamu lakukan padaku selama ini? Kamu menggangguku, Sak! Kehadiran kamu itu sangat mengganggu ketenanganku. Aku tahu kamu memang sedang berusaha mendekatiku, makanya kamu melakukan banyak cara supaya bisa bertemu denganku. Memberiku buket-buket bunga sampai memberiku hadiah kalung berlian. Kamu bahkan hampir setiap hari datang ke rumah menemui Papa atau Wira, padahal itu hanya alasan supaya kamu bisa bertemu denganku. “Terus apa kamu pikir semua hadiah-hadiah darimu itu membuatku senang? Apa kamu pikir caramu itu berhasil membuatku luluh? Enggak! Semua sikap kamu itu justru membuatku risi dan hilang respect. Aku nggak bisa bersama dengan laki-laki yang sikapnya seperti itu.” “Lalu kalau kita nggak bisa bersama, kamu mau bersama siapa? Bersama kekasih premanmu itu? Bukankah—” “Kamu ini sebenarnya waras nggak sih, Sak? Ke mana urat malu kamu sampai-sampai kamu kekeuh ngejar-ngejar kekasih orang? Apa jangan-jangan urat malumu sudah putus atau malah mungkin kamu memang nggak punya urat malu?” geram Sasmita. Laki-laki itu benar-benar membuatnya naik darah. Apalagi mobil yang dikemudikan Sakti tiba-tiba berhenti mendadak karena lampu lalu lintas menyala merah. Sakti menoleh kemudian mengangguk cepat. “Saya waras. Sangat-sangat waras, Sasmita. Dan semakin waras setelah tahu bahwa saya benar-benar jatuh cinta dengan kamu,” ucapnya seraya menatap lurus Sasmita. Iris cokelat gelap Sakti seolah menyelami lebih dalam, berusaha mencari tahu apa yang Sasmita sembunyikan di balik iris cokelat muda tersebut. Sakti masih terus berusaha menyelam sambil berharap jika wanita di kursi penumpang sebelahnya ini sedikit memberinya tempat meski hanya lewat sorot matanya. Namun, yang Sakti temukan bukanlah tatapan yang ia inginkan, melainkan adalah tatapan tajam penuh peringatan. Apalagi ketika Sakti sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Sasmita. “Pesonamu sangat memabukkan, Sas dan saya menyukainya,” ucap Sakti yang langsung dihadiahi tamparan keras oleh wanita yang usianya lebih muda empat tahun darinya itu. Sakti meringis memegangi pipi kanannya. Untuk ukuran perempuan seusia Sasmita, tamparan itu adalah yang paling keras. Namun, hal itu tentunya tidak berefek apa-apa karena Sakti hanya merasa panas dan perih sesaat. “Dasar m***m! Aku akan melaporkan kelakuan kamu tadi pada Wira dan kupastikan dia akan menghajarmu sekarang juga.” Sasmita yang geram segera membuka tas tangannya mencari sesuatu, tapi kemudian suara Sakti menginterupsi kegiatannya. “Kamu mencari ini, Cantik?” tanya Sakti seraya mengangkat sebuah benda pipih berwarna putih dengan softcase bening berilustrasikan air. Sial! Sejak kapan ponselnya berpindah tangan? Sasmita berusaha merebut kembali ponselnya, tapi Sakti berulang kali menjauhkan benda itu. Tepat saat lampu lalu lintas menyala hijau, segera Sasmita menyambar ponsel tersebut. “Dapat!” “Kembalikan ponselnya, Sas. Kamu nggak boleh menelepon Wira. Bagaimanapun juga dia sahabat saya. Saya nggak mau ada masalah dalam persahabatan kami.” Sakti yang sedang menyetir berusaha meraih ponsel tersebut dengan tangan kirinya, tapi Sasmita berusaha menjauhkan benda itu dari jangkauan Sakti. “Munafik! Kalau kamu nggak mau persahabatanmu dengan Wira hancur, seharusnya kamu bisa menjaga sikap dengan adik sahabatmu sendiri. Kamu tahu kan bagaimana Wira? Dia akan selalu menuruti—” Belum sempat Sasmita menyelesaikan kalimatnya, dering ponselnya menginterupsi. Matanya membelalak kaget begitu melihat nama yang tertera di layar. “Kenapa? Pasti kekasih premanmu itu yang menelepon, ya?” tanya Sakti yang langsung mendapat tatapan tajam dari Sasmita. “Berhenti menyebut Barra preman, dia bukan preman. Dan tolong sekarang juga kamu diam,” balas Sasmita. Lalu segera menggeser slide answer dan menempelkan ponsel ke telinga kiri. “Iya, halo, Bar?” sapa Sasmita ringan. Ya, panggilan masuk tadi dari Barra, kekasihnya. "Halo, Ta. Kamu sibuk nggak sekarang? Ada waktu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD