Bab 2 - Lunch Pembawa Petaka

1700 Words
“Halo, Ta. Kamu sibuk nggak sekarang? Ada waktu?" tanya Barra di seberang sana. Suaranya setengah berteriak karena sepertinya laki-laki yang juga merupakan teman Wira itu sedang berada di luar. “Aku nggak sibuk sih, Bar, tapi sekarang lagi di jalan mau lunch bareng Papa dan Mama. Apa kamu mau ikut? Ada Wira juga nanti.” “Sebenarnya tadi aku juga mau ngajak kamu lunch bareng, tapi kalau kamu udah ada acara dengan orang tuamu ya nggak apa-apa. Kita bisa makan siang bareng lain waktu.” “Eh, kalau gitu aku batalin makan siang bareng mereka aja biar kita bisa lunch bareng.” “Jangan, Sayang. Kamu jangan batalin acara itu. Waktu bersama orang tua itu adalah waktu yang berharga. Jadi, jangan sia-siakan selagi masih ada waktu,” ucap Barra. “Tapi kita nggak jadi ketemu, dong? Kamu benaran nggak apa-apa kalau makan siang sendiri?” tanya Sasmita. Ia sadar waktu yang mereka punya tidak banyak karena kesibukan masing-masing yang tidak bisa ditinggal. Jadi, kalau ada kesempatan sedikit pasti akan mereka gunakan untuk bertemu sekaligus makan. “Ya ampun, Sasmita, aku bisa makan dengan siapa aja kok. Bareng anak-anak di kafe juga bisa. Lagi pula, Jovan bilang mau ketemu aku di kafe. Jadi, ya bisa sekalian makan bareng. Udah pokoknya kamu jangan batalin acara itu, ya. Aku titip salam buat orang tuamu dan Wira." “Ya udah kalau gitu, nanti aku sampaikan salammu sama mereka. Ini kamu masih di luar, kan? Hati-hati, ya. Maaf kita batal ketemu,” sesal Sasmita. “Iya, Sayang. Kamu juga hati-hati,” jawab Barra. Setelahnya panggilan terputus. Sasmita segera memasukkan ponsel ke tas sebelum Sakti merebut kembali ponselnya. Bagaimanapun juga ia tetap harus waspada pada laki-laki itu karena pergerakannya yang selalu tiba-tiba. “Sudah?” Pertanyaan itu membuat Sasmita menoleh. Keningnya berkerut mendapati Sakti yang bersandar di kursi sambil menatapnya intens. “Kenapa berhenti?” tanya Sasmita merasa aneh dengan sikap Sakti. “Kita sudah sampai sejak lima menit yang lalu, tapi saya nggak mau mengganggu pembicaraanmu dengan kekasih premanmu itu.” “Sudah kubilang kan jangan pernah memanggilnya preman. Barra bukan preman. Dan satu lagi, apa yang kamu lakukan di lift tadi termasuk salah satu alasan kenapa standar penilaianku buruk terhadapmu.” “What? Enggak bisa begitu, Sas. Apa yang terjadi di lift tadi hanya insiden kecil. Itu hanya ketidaksengajaan. Lift di kantormu tiba-tiba macet saat kita berada di dalamnya dan kamu kehilangan keseimbangan karena kaget. Lalu apa salahnya saya membantu menahan tubuhmu supaya tidak jatuh?” “Oh, tentu itu bukan sesuatu yang salah dan saya mengucapkan terima kasih kepada anda, Bapak Saktiawan Rahadi yang terhormat. Tapi itu akan lebih baik jika anda melakukannya dengan benar.” “Sudah saya bilang kalau itu tidak sengaja, Sas dan saya sudah minta maaf pada kamu. Apa itu belum cukup? Saya menahan punggungmu dan—” “Dan tangan anda secara lancang memegang b****g saya,” potong Sasmita. “Aku pikir seorang Sakti adalah laki-laki cerdas dan pandai mengambil sikap, ternyata kamu sama saja dengan laki-laki di luar sana yang mengagumi wanita hanya di bagian-bagian tertentu saja.” Sakti menghela napas, selalu seperti ini setiap kali berbicara dengan wanita yang sudah mencuri hatinya ini. Selalu saja ada perdebatan dan penyebabnya adalah dia sendiri. “Kalau saya sama dengan laki-laki di luar sana lalu bagaimana denganmu, Sas? Bukankah kamu sering keluar masuk apartemen Barra?” Jika saja saat itu Sasmita sedang minum, sudah pasti ia langsung menyemburkan minumannya begitu mendengar pertanyaan Sakti barusan. Sekarang saja ia tersentak dengan mata membelalak. Sasmita berdeham singkat lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. “Apa maksudmu? Aku tidak pernah ke sana. Kamu pasti salah lihat. Sudahlah, aku mau turun,” ucap Sasmita seraya mengecek penampilannya lagi lalu membuka pintu mobil dan segera keluar. Sakti mengikutinya. Laki-laki itu bahkan sekarang sudah berdiri di samping Sasmita dengan senyum mengembang, seolah sebelumnya tidak pernah terjadi perdebatan sengit di antara mereka. “Saya harap memang benar saya salah lihat, Sas. Kalau begitu ayo masuk sekarang. Pak Roy dan Wira pasti sudah menunggu anak dan calon menantunya,” balas Sakti yang langsung mendapat tatapan tajam dari Sasmita. Namun, bukannya marah, Sakti justru melemparkan senyum pada wanita itu. “Jangan mimpi!” desis Sasmita lalu melangkah menuju bangunan di depannya. Bangunan dua lantai tersebut adalah restoran mewah bergaya Eropa klasik dengan beberapa ornamen khas bangunan Eropa di beberapa sisinya. Di bagian depan restoran terdapat lima buah meja dengan masing-masing dikelilingi empat kursi. Begitu masuk pengunjung akan disambut dengan tata ruangan yang rapi dan mewah, serta lampu-lampu besar yang menyala keemasan menambah kesan hangat di tempat ini. Sasmita memang sudah sering ke sini, apalagi restoran ini adalah restoran favorit orang tuanya sejak mereka menikah. Namun, setiap kali ke tempat ini, ia tidak berhenti untuk tidak berdecak kagum. Ditambah lagi alunan musik klasik yang selalu memenuhi penjuru bangunan membuat Sasmita merasa lebih tenang dan rileks. Mendengarkan musik klasik bertempo tenang bisa membuat jantung berdetak pelan dan membuat orang merasa lebih tenang. Itu adalah salah satu kutipan artikel yang pernah Sasmita baca dan ia mengakuinya. Selain itu mendengarkan musik klasik juga bisa mengurangi gangguan kecemasan, meningkatkan produktivitas, serta meningkatkan kecerdasan. Hal itu juga yang membuat Sasmita memasukkan beberapa sonata karya musisi klasik Eropa ke dalam playlist-nya. “Oh, kalian sudah datang rupanya. Ayo cepat duduk.” Suara itu mengembalikan Sasmita ke alam sadarnya setelah sibuk menikmati Fur Elise karya Beethoven yang sedang diputar. Ia menatap si pemilik suara dan tersenyum. Sasmita menyalami orang tuanya dan Wira yang kemudian diikuti Sakti. Bedanya saat dengan Wira, dua laki-laki itu ber-tos ria. “Maaf kami terlambat.” Sakti berujar sambil sedikit membungkuk. “Tidak apa-apa. Kami juga baru datang. Ayo cepat duduk. Kalian mau pesan apa?” tanya Roy seraya melambaikan tangan pada salah seorang waitress. Dan tanpa berpikir panjang, Sasmita langsung menyebutkan Spaghetti Bolognese. Menunggu beberapa menit, sekarang lima porsi Spaghetti Bolognese sudah tersaji di meja dengan lima lemon tea. Mereka mengikuti pesanan Sasmita. Sasmita tidak ambil pusing dan memilih menikmati makanannya. Saus pasta khas dari kota Bologna, Italia itu memang sangat populer di Indonesia. Rasa gurih dan sedikit asamnya memiliki cita rasa sendiri saat masuk ke mulut. Apalagi saus Bolognese yang terbuat dari cacahan daging sapi, saus tomat, bawang bombay, dan rempah-rempah ini adalah kesukaan Sasmita. Saus ini biasa juga dikombinasikan dengan pasta jenis spaghetti atau bisa juga dikombinasikan dengan angel hair yang menyerupai spaghetti, tapi dengan versi lebih kecil dan tipis. Sasmita bahkan membiarkan meja itu didominasi suara garpu dan sendok yang beradu dengan piring serta obrolan Roy dan Sakti yang sangat malas ia dengarkan. Sampai sebuah suara menginterupsi kegiatannya. “Om pasti akan lebih senang kalau kamu benaran bisa menjadi menantu Om. Kamu sangat cocok bersanding dengan putri Om, Sasmita,” ujar Roy yang seketika berhasil membuat suasana di meja itu hening. Semua orang memandang sosok pria yang usianya menginjak kepala enam. “Pa ... Maksud Papa apa bicara seperti itu? Aku nggak mau ya dijodoh-jodohkan. Aku sudah punya Barra,” ucap Sasmita. Ini yang tidak Sasmita suka dari Roy, pria berlabel Papa itu selalu berucap seenaknya tanpa memikirkan perasaan orang di sekitarnya. “Dia lagi, dia lagi. Apa yang kamu harapkan dari laki-laki miskin dan pemalas seperti dia, Sasmita? Kamu tidak akan hidup bahagia bersama dia. Penghasilan dari kedai kopi miliknya itu pasti tidak akan cukup memenuhi kebutuhan kamu nanti. Lebih baik kamu menikah saja dengan Sakti. Bibit, bebet, bobotnya sudah jelas. Sakti lebih bisa menjamin kebahagiaan kamu daripada laki-laki miskin itu.” “Pa, udah cukup. Nggak enak dilihat orang.” Sekar Ayu yang duduk di sebelah Roy segera mengusap lengan suaminya. Berusaha meredam gejolak amarah yang ada dalam diri Roy sekaligus berusaha meminimalisir terjadinya perdebatan panjang yang biasa terjadi ketika anak dan suaminya berkumpul. “Ya, Sakti memang lebih bisa menjamin hidupku jika kami bersama nanti, tapi sayangnya itu nggak akan pernah terjadi, Pa. Aku mencintai Barra sampai kapan pun. Barra lebih bisa mengerti aku daripada Papa sendiri. Asal Papa tahu, kedudukan Barra dan Kak Wira itu sama di hati aku. Jadi, Papa jangan berharap bisa punya menantu tidak sopan seperti dia.” “Sas ....” “Apa maksudmu tidak sopan, Sas? Sakti melakukan apa sama kamu?” Wira bertanya. Pandangannya menatap bingung adik dan sahabatnya tersebut. “Sak, apa yang udah lo lakuin sama adik gue? “Dia melecehkanku di lift kantor, Pa,” jawab Sasmita. “Keterlaluan kamu, Sakti!” “Om, Tante, maaf sebelumnya, tapi saya tidak bermaksud melecehkan Sasmita. Biar saya jelaskan dulu, tadi lift kantor tiba-tiba mati, Sasmita terkejut dan hampir terjatuh kalau saya tidak segera menahan tubuhnya. Dan saat itu tanpa sengaja saya memegang, maaf, b****g Sasmita. Tapi sungguh saya tidak bermaksud apa pun apalagi melecehkannya. Saya minta maaf, Om, Tante. Wira, gue minta maaf. Gue nggak bermaksud melecehkan Sasmita.” Penjelasan panjang lebar Sakti berhasil sedikit mengubah dugaan sepasang suami istri tersebut. Mereka mengangguk paham. Namun, Wira tetap diam dan tidak merespons apa pun. “Tetap saja apa yang kamu lakukan itu sangat tidak etis, Sak!” bentak Sasmita. Ia benar-benar geram dan muak dengan semua sikap Sakti. Belum lagi, Roy yang berada di pihak Sakti semakin membuat laki-laki itu merasa menang dan ini yang membuat Sasmita tidak suka. “Sasmita! Minta maaf pada Sakti, dia sudah menolongmu. Seharusnya kamu tidak bersikap kekanakan seperti ini,” Roy memotong lebih dulu. Tatapannya mengarah pada sang putri. “Untuk apa minta maaf pada orang sepertinya? Sudahlah, aku pamit sekarang. Banyak pekerjaan yang belum aku selesaikan. Ma, aku pamit dulu,” ucap Sasmita seraya menyalami tangan Sekar. Tak lupa mencium pipi kanan ibunya lalu beralih menyalami tangan Roy serta Wira. Setelahnya, Sasmita segera meninggalkan restoran tanpa menoleh lagi. Sebab pertengkaran tadi, membuat Sasmita tidak mau berurusan dengan Sakti lagi. Jadi, ia memilih memesan taksi online. Namun, tiba-tiba lengannya ditarik seseorang dan pelakunya adalah orang yang menjadi penyebab semua masalahnya akhir-akhir ini. “Saya antar pulang saja,” ujar Sakti. “Enggak!” Sasmita menyentak tangannya dari cengkeraman Sakti. Berharap taksi online yang dipesannya segera datang supaya ia bisa menghindari laki-laki ini. Namun, apa yang terjadi setelah itu justru membuat Sasmita membelalak kaget. Tubuhnya menegang ketika tubuh Sakti bergerak maju dan sesuatu yang kenyal menempel di bibirnya. Sadar sesuatu, Sasmita segera mendorong tubuh Sakti sekuat mungkin. Hingga kemudian .... “Sasmita!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD