Prolog

494 Words
    "Apa?"     "Aku mencintaimu."     "Selamanya?"     "Selamanya."     Harapan yang selalu tersisip diantara hubungan yang indah. Membawa kisah sendiri saat waktu tak bisa lagi ia jadikan tumpuan untuk saling menjaga. Namun, tidak demikian dengan kisah mereka. Sisipan rindu dan kadang juga sisipan kebencian terkadang mewarnai setiap saat. Senyuman yang menghiasi dan juga dentingan lagu yang selalu menemani. Mereka rasakan bersama dalam kebersamaan.     "Ayolah! Hanya sekali."     "emmm ok!"     "Disini." Rexha menunjuk pada kening yang baru saja dibentur oleh kepala Rush.     "Disini?" Tunjuk Rush pada hidung mancung Rexha. Bukan Rush namanya, kalau dia tidak menjahili kekasihnya.     Tawa pun menghiasi hari-hari yang selalu mereka lewati berdua. Genggaman erat dan juga terkadang sapuan tangan Rush dikepala Rexha. Adalah satu hal dari sekian banyak hal yang biasa ia lakukan pada kekasihnya. Mata cantik Rexha memandang curiga saat langkah kaki yang baru saja ia ikuti tiba-tiba berhenti tanpa permisi.     "Aku melupakan sesuatu."     "Hah?" Sahut Rexha bingung.     "Ini." Lagi, tanpa permisi dia menggendong Rexha di pundaknya sambil memutar-mutar tubuh mungil Rexha. Teriakan dan juga pekikan ketakutan pun sama sekali tak dihiraukan olehnya. "Ampun enggak?" Tanyanya lagi memastikan jika kekasihnya sudah tak lagi ingin dijahili.     "Ampun." Sambung Rexha memelas sambil mengeratkan tangannya pada pinggang Rush.     Deburan ombak, bergemuruh saling menyapa dengan batu karang. Tiupan angin yang berdesir silih berganti. Menganyun kan setiap helaian rambut pirang Rexha. Yang saat itu sengaja ia gerai. Pantai, bukanlah tempat yang ia sukai. Namun, karena Rush lah. Pada akhirnya dia tunduk akan setiap keindahan disana. "Tetaplah indah seperti ini. Sampai nanti, aku dan Rush mengunjungi mu untuk terakhir kalinya." Ucapnya lirih. Bahkan angin saja tak mampu untuk mendengarnya.     Awan yang menggeser singgasana siang menjadi malam. Telah berada di ujung tombak nya. Segelas teh hangat dan juga sepotong roti bakar. Menemani Rexha malam ini. Dimana Rush? Jangan tanyakan itu. Karena jawabannya sudah pasti kalau mereka berbeda kamar. Senyum Rexha mengembang mana kala deburan ombak saling bergemuruh. Membawa suasana malam di tepi pantai sedikit merasa mencekam. Bayangkan saja, hanya seorang diri. Dia memberanikan diri untuk berada di balkon kamarnya. AKU SEDANG SENDIRI SEKARANG.     Itulah sebait kalimat yang baru saja ia kirim kepada seseorang yang dari tadi terus menemaninya lewat ponsel. Selalu seperti itu. Tak ada waktu lain untuknya bisa intens memegang ponsel. Kalau tidak pada jam-jam seperti ini. LUSA AKU AKAN KEMBALI KESANA. BERSABARLAH!     Slurrrrppp!     Rexha menyeruput teh nya. Tak terasa senyumnya terulas lebar. Saat dia ingat, kejadian apa yang baru saja ia lakukan bersama Rush siang tadi. Semua tergambar jelas bagaimana bahagianya Rush saat menjahili nya. Aneh, rasanya ia tak bisa membendung bibirnya agar tak tersenyum. Karena pada kenyataannya Rexha malah menutup wajahnya karena malu.     Biarlah! Waktu yang berlalu malam ini. Ia habiskan untuk sendiri memandang hamparan pantai yang hanya tergambar siluet nyata di depannya. Tak ada yang mengusik. Tak ada yang menghantui. Bahkan takkan ada yang menghakimi setiap apa yang dia lakukan. Bukankah itu bisa disebut sedikit bebas? Anggaplah, waktu yang selalu di agung-agungkan nya. Saat ini tengah menunjukkan kekuasaannya.     Sepotong roti itu pun sudah lenyap dari peradaban. Itu menandakan Rexha harus sudah tidur. Karena dia tahu. Pada jam berapa Rush akan datang untuk memastikan jika ia sudah lelap dalam tidurnya. "Aku mencintaimu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD