Bab 2

1559 Words
    Aurelia menatap tajam pada Rexha yang saat itu tengah berdiri kaku tak menjawab. Mata Aurelia nampak bingung melihat bagaimana dua insan yang ada di depannya ini saling terdiam. Andara yang sadar akan keterkejutan Rexha. Langsung melepaskan genggamannya. "Ah, maaf."     Rexha yang juga nampak salah tingkah. Langsung menggandeng tangan Aurelia untuk pergi. "Kami permisi, Pak."     "Tunggu." Pinta Andara sedikit berteriak.      "Pak, dia sudah punya pacar loh." Ucap Aurelia polos yang membuat Rexha melotot ke arahnya.     "Yah....!"     "Kan gue bener, lo kan udah punya cowok. Lagian enggak ada aturan pacaran kan pak ya? Dihh takut banget lo."     Astaga, mati-matian Rexha berusaha membungkam mulut ember sahabatnya itu. Bukankah mereka berjanji untuk tidak membahas apapun selama masih dalam lingkungan kerja.     "Pulanglah! Ini sudah malam."      Derap langkah yang semakin menjauh. Malah semakin membuat Andara mengulas senyumnya. Bukankah tujuannya pindah ke kota ini untuk mengembangkan bisnis rotinya? Dia pun menggelengkan kepalanya sambil masuk kedalam mobil. Semua berjalan sesuai rencananya. Toko roti, rumah mewah dan pesatnya bisnis yang tengah dia jalani. Sepertinya tak cukup untuk memuaskan ambisinya.     Mobil mewah berwarna merah miliknya pun. Melaju cepat menyusuri jalan malam yang seperti tak berpenghuni. Sambil mendengarkan alunan music jazz. Dia memfokuskan pandangannya. Dia ingin segera sampai rumah. Dan menghabiskan waktunya disana. ***     "Lo masih marah sama gue?" Tanya Aurelia saat dia melihat wajah masam Rexha yang tengah menata baju di lemarinya. "Gue enggak sengaja loh. Sumpah. Maafin gue deh."     "Ini bukan masalah maaf memaafkan, Rel. Hanya saja lo enggak bisa jaga privasi gue. Terus gue bisa apa selain kecewa sama lo." Jawab Rexha acuh sambil terus memasukkan lipatan bajunya. "Gue mau tidur. Kalau lo mau tidur disini. Gue yang akan tidur diluar."     Waktu malam yang biasa Rexha gunakan untuk sekedar meminum teh di kamar kostnya. Kini terpaksa harus dia habiskan untuk duduk sendiri di bangku Taman yang tak jauh dari tempat ia tinggal. Gemerlap lampu dan juga bisingnya angin yang menyapa. Tak menyurutkan niat Rexha untuk menghindar sejenak dari Aurelia. Baginya, kekecewaan adalah hal yang sulit untuk dia maafkan.     Ia menarik nafas dalam dan menghebuskan nya pelan. Tangan kiri yang sedari tadi ia masukkan kedalam saku. Kini nampak menggenggam ponsel yang berdering dari beberapa menit yang lalu. "Iya." Jawabnya lembut sesaat setelah ia mengangkat panggilannya.     "Kok belum tidur?"     "Rush!"     "Hmm..."     "Aku akan tidur sebentar lagi. Selamat malam, sayang." Ucap Rexha berniat untuk mengakhiri panggilannya.     Namun, Rush yang saat itu berada dibalik mobilnya. Memandang jauh dan mengamati apa yang tengah kekasihnya lakukan malam-malam seperti ini. Dia tahu, Rexha berusaha mengakhiri panggilannya. Hanya saja dia tak ingin meng'iya'kan keinginan Rexha.     "Aku baru saja bangun."     Hhhoooaaammmmmm!! Rexha menguap seolah ia ingin meyakinkan Rush. Jika dia sudah mengantuk. "Aku ngantuk. Kita lanjut besok ya."     "Baiklah! Selamat tidur."     Hampir 3 tahun mereka bersama. Tapi masih banyak hal yang belum diketahui oleh Rush. Sekuat apapun dia mencoba untuk mencari tahu. Maka sekuat itu pula Rexha berusaha menutup segalanya. Tak ada paksaan karena Rush bukanlah orang seperti itu. Ia lirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Masih sama, Rexha disana seorang diri. DIA DATANG.     Rexha memejamkan matanya erat saat kembali menerima pesan itu. Senyum pahit ia paksakan terulas. Hanya sekedar membuang kegundahannya. -Bisakah aku menemuinya- Itulah kalimat yang Rexha kirim untuk membalasnya. Rexha meneteskan air matanya. BERHENTILAH! FOKUS PADA KEBAHAGIAANMU.     Tak ada lagi harapan yang bisa Rexha ambil untuk saat ini. Setelah memutuskan untuk kembali ke kamar kostnya. Dia berusaha agar semua terlihat baik-baik saja. Ia mengeratkan jaket sambil menundukkan kepala. Berharap, tak ada satupun yang melihatnya keluar malam dengan keadaan seperti ini.     Sesampainya di kamar, dia merasa lega. Karena Aurelia sudah lelap dialam mimpinya. Dengan kasar, ia menghempaskan tubuhnya diatas kasur. Ini sudah sangat malam dan mata Rexha masih belum bisa membuat tubuhnya untuk istirahat.     Jari jemarinya nampak begitu lincah menggeser beberapa foto yang ada di galeri ponselnya. Terkadang dia terkikik sendiri mengingat setiap moment yang terjadi. Rasa sakit dan juga kenangan yang selama ini berusaha ia hapus. Rupanya masih sanggup mendominasi setiap pikirannya. Harapan apa yang pernah ia impikan. Semua tergambar jelas. Saat layar ponsel itu menampilkan gambar dirinya yang tengah tersenyum ceria.     Ia menundukkan kepalanya kaku. Kelam, ia hanya bisa menunduk beberapa saat untuk menenangkan pikirannya. "Itu sudah pernah terjadi, ayolah belajar melupakan itu." Ucap Rexha pada dirinya sendiri. Tangannya gemetar hebat, air mata mengalir dan juga rasa sakit yang kembali hadir. ***     "Tumben hari ini lo enggak terlambat?" Tanya Aurelia heran. Meski mereka satu kamar kost. Namun tak menampik kenyataan. Jika mereka selalu berpisah saat berangkat bekerja.     "Manusia." Sahut Rexha sambil merapikan bajunya.     "Gue manusia. Terus kenapa? Lo masih marah enggak sih sama gue?" Rexha menggeleng. "Terus? Kok lo enggak jawab pertanyaan gue?"     "Memangnya harus jawab apa?"     "Males ngomong sama lo. Oh ya, lo ditungguin tuh sama Pak Andara. Katanya lo mau dijadiin istri gitu."     "Yakkkk!! Mulut lo, Rel. Heran gue." Kesal Rexha.     "Bodo."     Langkah kaki yang terasa begitu berat. Harus ia paksakan untuk masuk ke ruangan angker yang sudah lama sekali tak ia datangi. Tok! Tok! Bahkan bunyi dari ketukan pintunya saja. Sudah menggambarkan dengan jelas bagaimana enggan nya dia masuk ke ruangan itu. "Masuk!" Suara itu.  Rexha sudah bosan untuk mendengarnya.     "Apa Bapak memanggil saya?" Tanya Rexha sopan.     "13.45. Antarkan pesanan ke alamat kemarin." Ucap Andara.     "Tapi, pak... saya kan sudah mengajukan ijin keluar sebentar sampai pukul setengah 3."     "Gaji dipotong, atau kamu saya..."     "Ok! 13.45 ke alamat Komplek melati indah no 212." Jawabnya penuh penekanan.     Tak ada lagi kalimat yang keluar dari bibir Andara yang saat ini tengah sibuk dengan segala macam file di komputernya. tak pelak Rexha pun memberanikan diri untuk membuka suaranya. "Pak.."     "Silahkan keluar. Bukankah saya sudah tidak berbicara? Saya sibuk."     Rexha pun menelan ludahnya. Kesal, marah dan juga ingin sekali menghujat. Semua sudah ada diambang batas. Andai ia tak sadar siapa Andara. Bisa saja dia akan melemparkan cacian dengan brutal.     "Gue benci banget sama bos lo." Ucap Rexha sambil melempar topi kecil di kepalanya.     "Eh, ngarang. Nanti kalau bos tahu lo ngelempar topi ini. Bisa-bisa tamat riwayat lo di Toko ini."     "Gue lebih baik dipecat daripada harus jadi pesuruh nya kayak begini. Lo tahu bahkan ijin yang sudah gue ajukan seminggu yang lalu masih belum dia putuskan. Bayang kan gimana gue enggak emosi."     "Resiko sih." Mata Rexha nyaris copot mendengar ucapan Aurelia yang seenaknya. "Dih, ngapain lo melotot kayak begitu?"     "Tahu ah." ***     Sejatinya tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diri seseorang. Sama halnya seperti Rush. Terkadang, dia masih terasa asing dengan Rexha. Mata tajam yang menjadi ciri khasnya. Menatap pada kotak merah yang sudah ada ditangan nya sejak beberapa waktu yang lalu. Dia terus menerawang, bagaimana reaksi Rexha saat tahu niat baik yang selama ini selalu ia sembunyikan.     Gedung yang menjulang, dan juga pemandangan yang indah. Membuat Rush yakin. Rexha tak akan mengecewakan nya lagi seperti dulu. Dia berharap untuk kali ini. Cincin indah itu bisa melingkar di jari kekasih yang sangat dicintainya. Drt..Drtt... Ponsel Rush pun bergetar. Senyumnya terulas saat nama Rexha tertera disana.     "Sayang. Hari ini kita enggak bisa makan siang bareng." Ucap Rexha berharap Rush tidak akan kecewa padanya.     "Kok mendadak?"     "Hari ini banyak pesanan yang harus diantar. Jadi aku ikut terjun ke lapangan."     Helaan nafas Rush terdengar sangat kecewa. "Ya sudah, masih ada hari lain. Kamu semangat kerjanya."     "Kamu marah?"     "Enggak. Memangnya kapan aku bisa marah sama kamu? Enggak papa sayang. Lagian aku juga harus ada meeting sama investor hari ini."     "Maaf, Karena aku mengecewakan mu lagi."     Kecewa? Iya. Rush merasakan itu. Namun bagaimana lagi. Dia tak ingin memaksa Rexha. "Aku mencintaimu."     "Pak ada yang ..." Rush hanya memberikan isyarat pada asisten pribadi untuk menyuruh tamunya menunggu.     Rush pun kembali menyimpan kotak merah itu di laci meja kerjanya. Dia benar-benar ingin menunggu sampai Rexha benar-benar bisa menerimanya. ***     "Pak Andara yang...." Wanita paruh baya yang beberapa hari Rexha temui itu. Hanya mengangguk menandakan kalau kue itu adalah kiriman untuk orang yang sama. "Apa ibu masih ingin saya menunggu untuk pengecekan kondisi kuenya?"     "Tidak usah. Saya percaya sama Pak Andara. Terima kasih."     Rexha tersenyum mengantar kepergian wanita paruh baya dari hadapannya. Entah apa yang saat itu mengusik pikirannya. Matanya masih sama memandang kerumah berlantai 3 itu penuh dengan rasa penasaran. Bangunan yang kokoh. Cat rumah yang sangat cantik dan juga banyaknya bunga yang mengitari rumah itu. Menjadi pemandangan indah lain yang dapat ia nikmati saat ini. ia hanya membayangkan sekilas bagaimana rasanya tinggal dirumah seperti ini. Tapi secepat kilat ia menampiknya.     Langit sore yang baru saja menyapa. Membawa Rexha sudah kembali berada di ruang Andara dengan kepala tertunduk. Tangan yang mengepal bersamaan sepertinya sudah bisa di tebak. Andara kembali membuatnya kesal.     "3 dari pesanan yang kamu antar. Dua di antaranya telat 10 menit dari jam yang diminta oleh pelanggan. Dan 1 diantaranya." Andara menghentikan ucapannya sambil memandang Rexha dengan tegas.     "Beliau menyuruh saya pulang kok, Pak. Saya juga sudah menawarkan untuk menunggu ibunya mengecek keadaan kuenya. Tapi saya malah disuruh pulang."     Andara menganggukkan kepalanya sambil membuka ponselnya. "Mulai besok dan seterusnya. Setelah jam makan siang selesai. Tugas kamu sama. Harus tetap mengantar kue itu ke alamat yang sama setiap hari. Paham?"     "Tapi pak."     "Saya bisa kapan saja memecat kamu."     "Pecat saja, pak. Itu akan jauh lebih baik untuk saya."     "Oke! Kalau begitu silahkan pulang. Dan jangan lupakan. Aurelia juga ikut dengan kamu."     Rexha memutar matanya bosan. Ini bukan seperti apa yang dia harapkan. Amarahnya pun tak bisa lagi ia bendung. Aurelia yang saat itu tengah sibuk menghitung pemasukan. Sangat terkejut saat Rexha menjatuhkan tubuh di sampingnya.     "Gue di pecat." Ucap Rexha santai.     "Yakin lo?" Rexha hanya mengangguk sambil melepaskan apron dari badannya.     "Menurut lo? Ya udah ayo, ngapain masih bengong disini.!"     "Eh?!" Sambung Aurelia terkejut saat Rexha manarik tangannya.     "Ayo pulang. Kan gue udah dipecat."     "Kan lo yang dipecat bukan gue." Sangkal Aurelia yang masih terlihat bingung.     "Lo lupa, kalau misal gue di pecat. Itu artinya lo juga di pecat. Udah buruan ayo. Udah muak gue ditempat ini." Jawab Rexha santai melepaskan kuncirannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD