Hari Sial Ardin

2013 Words
Melihat Wira yang wajahnya tidak mengenakan sekali, Mona pun nanya sama Ardin. “Eh, kenapa itu cowok nge-dumel? Gak jelas banget dah!” Ardin tertawa sedikit, “biasalah, orang lagi pendekatan sama seseorang, terus ditolak mentah-mentah!” Ardin menjawab dengan ngawurnya. Mona menganggukan kepalanya, “oh, dia lagi suka sama seseorang, gitu? Dan ternyata ditolak? Ya pantes dong! Diakan doyan ngutang, mana ada cewek yang demen sama cowok begituan. Gelay deh!” respon Mona yang sudah men-stampel sosok Wira sebagai cowok tukang ngutang. Ardin yang merasa ucapan toxic-nya berhasil, tidak sadar kalau sebenarnya yang suka ngutang itu ya dia. “Mona, mona, seandainya kamu tau kalau orang yang banyak utang itu aku, bagaimana ya reaksimu?” Ardin cekikian sendiri dalam hati. “Eh Kak, pulang yuk! makanannya sudah habis dan masuk dengan lancar ke perutku ini,” Mona minta pulang ketika kencang itu sudah dirasakannya. “Loh? Kok cepat banget?” Ardin yang ingin ngobrol lebih lama dengan Mona, terheran-heran. “Kenapa? Kan tujuan kita ke sini untuk makan,” balas Mona. Ardin menelan ludahnya, dalam hatinya berujar, “iya lo aja yang makan, lo yang kenyang, dari tadi gue gigit jari doang nih!” “Kali aja kamu mau menuntaskan hukumanmu yang telat kemarin, kan aku belum beri kamu hukuman, lho!” ada aja alasan Ardin membuat Mona tetap tinggal. “Tapi, beli jajan lagi ya, habisnya kalau gak ada jajan tuh, otak gue suka gak nyambung!” ujar Mona. Jder! Bisa-bisa Ardin harus keluar uang banyak lagi nih, apalagi harga makanan di sini paling murah lima puluh rebu. “Mbak, Mbak—“ Mona memanggil pelayan restoran. “Eh eh nggak usah!” Ardin menurunkan tangan kanan Mona yang menjulang ke atas. “Kita gak jadi ngobrol deh, bisa habis duit gue!” Ardin tak sadar mengeluarkan kata-kata itu. “Eh, apa apa? Ngomong apa barusan, Kak?” samar-samar terdengar lewat telinga Mona. “Ah, enggak,” Ardin mengayunkan tangannya. “Maksud gue, lo itu harus istirahat, kan tadi habis kuliah. Mau gue anter pulang sekarang, gak?” Ardin menampilkan senyuman manis versinya. “Dih, ni cowok katanya mau ngajakin ngobrol, lah sekarang ngajak pulang, gimana sih,” batin Mona. “Yah, padahal gue mau rasain Italian Churos,” wajah Mona tampak mewek. “Lain kali aja ya kita ke sini lagi, lebih penting itu kesehatanmu,” berbagai cara dicoba Ardin agar keluar dari restoran mahal yang menguras dompetnya. Senyummu sungguh menawan, wajahmu ayu rupawan, kemana mata memandang, hanyalah dirimu yang selalu terbayang. Ringtone Nassar Oppa menggelegar ke ruang-ruang restoran. Ardin menyadari bahwa lagu itu terputar dekat dengan dirinya. Dengan cepat, Mona membuka tasnya dan mengambil ponselnya. Seketika itu juga lagu dangdut yang lain naik daun itu terhenti. “Maaf, ada pesan di i********: masuk, biasalah, pasti endorse lagi,” Mona memberi tahu secara tidak langsung nada dering itu miliknya. Ardin yang dari dulu bukan penikmat lagu dangdut, membuka suara, “bisa gak nada dering lo dikecilin dikit?” ucap Ardin. Mona menyeritkan dahinya, “emangnya kenapa? Masalah buat lo? Kalau lo gak suka ya udah, lagian ini juga hape gue kok! Belinya cash lagi, gak pakai uang lo juga!” Mona berdiri dari kursinya, dan marah-marah tepat di hadapan Ardin. Aneh, jantung Ardin berdetak kencang sekali seperti genderang mau perang. Perempuan cantik di depannya ini kenapa tiba-tiba berubah jadi galak ya? Ardin menggaruk rambutnya, “eh maaf, maaf,” Ardin berdiri juga dan menenangkan Mona. “Gue gak bermaksud gitu kok, Mon. Kamu jangan main marah gitu ya, aku jadi sedih nih,” Ardin memegang lengan Mona, namun dihempaskan begitu saja. Mona pergi gitu aja keluar restoran dengan wajahnya yang berapi-api. Heels tingginya berbunyi klutak-klutuk mengitari jalan keluar restoran. Udah kayak dakjal aja marahnya. Eh, emang pernah lihat dakjal marah ya? Ardin terduduk kembali di kursinya, ia menghembuskan napasnya sebanyak-banyaknya. Dan gak sadar, bau jigongnya tercium sama orang yang makan di meja sebelahnya. “Mas mas, mulutnya jangan dibuka lebar-lebar dong!” sahut seorang laki-laki dengan mulut yang penuh makanannya. “Bau jigong ah! Gue jadi gak bisa nikmatin makanan yang gue makan nih!” lanjutnya. Enggan memperdebatkan hal receh itu, Ardin kembali fokus pada pikirannya. “Kenapa sifat Mona ke gue galak banget ya? Padahal waktu pertama kali ketemu, polos banget, kayak anak yang lugu. Eh ternyata, sebelas dua belas sama macan,” pikir Ardin. “Ah, apa ada suatu masalah ya dalam diri Mona? Biasanya kan orang kalau lagi marah, pasti ada sesuatu yang gak beres. Hmmm,” setelah berpikir, Ardin seperti mendapat sebuah anugerah Grammy award. Wajahnya bersinar tak lusuh lagi. “Gue bakal jadi tempat curhat Mona dalam situasi apapun! Dia pasti bakal jatuh cinta tuh sama gue, gue akan menjadi orang pertama yang dengerin keluh kesahnya!” Ardin menjentikan jarinya. Ardin yakin sekali kalau cara itu adalah jalan ninja untuk mendapatkan hati Mona. Wajah Ardin berseri kembali sembari melangkahkan kakinya ke depan meja kasir. “Mbak, gue mau bayar dong, mejanya dipojokan sana tuh,” kata Ardin ke petugas kasir. “Baik, ini ya totalnya, Kak,” selembar kertas putih sudah ternodai oleh nominal rupiah. Ditengoklah oleh Ardin dan bagaimana reaksi Ardin? “Mbak, coba itung ulang deh, pesanan cuma ayam popcorn dan jus lemon kok dua ratus ribu? Mahal amat!” protes Ardin. “Maaf Kak, tadi kakaknya yang perempuan minta di-deliverykan dua bungkus ayam popcorn. Kan satu porsinya Rp55.000 ditambah Rp35000 untuk jus lemon,” petugas kasir menjelaskan dengan penuh kebaikan. “Hah?!” Ardin terbelalak, matanya ingin keluar namun mampu tertahan. “Parah si Mona, bisa-bisanya dia pakai delivery segala!” dalam hati Ardin gemas. “Lah terus ini kenapa jus lemon harganya Rp35000? Lemonnya diambil langsung dari Zimbabwe, gitu?!” tak puas dengan protesan tadi, Ardin datang dengan protesan lainnya. “Maaf, ini sudah ketentuan dari pihak managemen, Kak. Saya hanya menjalankan perintah saja. Kakaknya mau bayar sekarang atau cuci piring saja di dapur?” entah kenapa ucapan petugas restoran itu ngelantur. “Apaan sih, gak mungkin deh gue mau nyuci piring. Nih gue bayar!” Dengan songongnya, Ardin melemparkan uang dua ratus ribu ke depan pelayan itu. Uang itu sengaja dijatuhkan oleh Ardin ke lantai. “Songong amat jadi cowok!” celetuk pelayan itu. “Hah? Apa?!” Ardin mendengar sesuatu yang aneh menusuk telinganya. “Gue songong?!” sambung Ardin. “Oh tidak, Kak. Terima kasih ya Kak sudah mau datang ke restoran kami, lain kali datang lagi ya,” sebuah struk p********n sudah berada di tangan Ardin. Ardin keluar dari restoran dan mengacak-ngacak struk p********n tadi. “Bisa-bisanya uang gue habis gara-gara cewek doang!” kesal Ardin. Kruk.. kruk.. kruuuuuk. Perut Ardin tiba-tiba saja mengeluarkan suara pertanda yang tidak asing lagi. “Parah, perut gue udah berontak, bentar lagi kalau gak gue kasih penangkal, bisa pecah nih perut gue!” kata Ardin. Ardin berlari mencari warung tegal yang ngemper di pinggir jalan. Aroma sate ayam yang menggiurkan itu, berhasil membuat Ardin berhenti untuk berniat menyantapnya. Eits, tunggu dulu. Ardin harus mengecek dulu dompetnya, ada uangnya gak tuh? Perlahan-lahan, dikeluarkannya dompet berwarna cokelat berbalut kehitaman. Kehitaman yang disebabkan oleh jamur dompet itu, memenuhi hampir setengah luas dompet Ardin. Sela-sela dompet untuk menaruh rupiah, diintip Ardin. Dadanya berdebar, kali ini ia berpikir buat tentang perempuan, namun kelangsungan perutnya itu. Hati Ardin tak kuat menahan sakitnya, ia melihat dua lembar uang lima ribu rupiah di dalam dompetnya. Padahal, beberapa jam lalu ada dua lembar uang seratus ribu di dalam sana. “Mungkin cukup kali ya ini untuk makan sate,” batin Ardin. “Bang, satenya satu tusuk berapa?” Tanya Ardin. “Lima rebu,” jawab abang-abang sate itu dengan wajah tidak bergelora. “Dih, mahal amat, daging ayam asal mana tuh?!” balas Ardin. “Ya gue cuma bisa beli empat tusuk dong, mana kenyang bang,” lanjut Ardin. “Belinya sekalian sama lontongnya, enak ini lontong, baru, panjang, dan pastinya padat,” tawar abang sate. “Lontongnya satu biji berapa?” Tanya Ardin. “Sepuluh rebu,” jawab abang sate yang membuat Ardin tak kalah mengagetkan. “Dih, mahal amat bang. Mau cari untung banyak ya? Gak cukup uang gue segitu. Cari yang lain aja lah,” Ardin kecewa harga satenya gak bisa diterima oleh dompet bututnya. “Ya udah, gue kasih aja deh lontongnya, khusus buat lo!” angin segar terhembus lewat ucapan abang sate. “Eh seriusan ya bang? Lontongnya gratis?” Ardin meringis. “Iya, sedekah aja lah, kasihan orang susah,” balas abang sate. “Terima kasih ya bang, satenya ada bonus gak kira-kira?” “Ya elah, sudah dikasih hati, malah minta jantung lo ah! Gak ada gak ada,” abang sate itu menolak mentah-mentah. “Idih si abang, rejekinya nanti seret loh!” Ardin tetap berusaha mendapatkan gratisan sate dan lontong demi keberlangsungan hidupnya. “Gak ada ah, lontong aja yang gue gratisin, itu aja sudah rugi besar gue!” sewot abang sate. “Ya elah bang, ya udah deh, satenya 4 tusuk aja kalau gitu. Gue duduk di belakang ya bang,” kata Ardin dan langsung ke tempat duduknya. Abang sate mengipaskan 4 tusuk milik Ardin, aroma sate lengkap dengan asap-asap yang mengudara di jalan itu, membuat perut Ardin makin keroncongan. Belum lagi membayangkan menyantap sate dengan lontong yang gurih seperti yang dilihatnya tadi. Tak lama kemudian, satu piring berwarna putih dengan sate di atasnya datang ke meja Ardin yang diantarkan oleh abang sate. “Loh, lontongnya mana bang? Katanya gratis buat gue,” Ardin celingak-celinguk mencari lontong yang persis seperti di gerobak tadi. “Kata abang lontongnya panjang dan padat, mana?” Ardin masih berusaha lontong yang dimaksud. “Lah ini kan lontong,” abang sate menunjuk satu iris lontong yang tergeletak di atas kecap sate. “Hah, gratisnya cuma satu iris doang?” Ardin bergantian menatap lontong dan si abang sate yang lama-lama mirip lontong. Ngeselin! “Emangnya kalau gratisan mau berapa? Kan terserah gue yang ngasih gratis,” “Ih bener-bener lo ya bang, medit banget sumpah!” ekspetasi Ardin runtuh bak diterjang badai begitu saja. Harapannya menyantap lontong dengan sate pun hanya bisa ia lahap seiris. Miris. “Lain kali kalau mau makan di luar, bawa uang yang banyak,” ucap abang sate dan kembali menuju gerobaknya. “Ngeselin lo! Gak lama gak gue bayar juga nih sate!” gregetan Ardin hari ini tampak memuncak. Menurutnya, hari ini sangat menjengkelkan. Sudah ditinggalin Mona di restoran, gagal makan enak, eh giliran sudah makan malah ketemu sama abang sate yang bikin naik darah. Lengkap sudah penderitaan Ardin hari ini. “Besok-besok gue gak bakal mau makan di sini lagi dah, sewot amat si abang sate. Dikira satenya rasa kelas dunia apa ya? Hmmm, gue mah juga bisa buat beginian, ya tapi agak gosong dikit lah ya,” sambil memakan sate-sate itu, tak ketinggalan pula nyinyiran yang dilontarkan Ardin dalam hati. *** “Wir, katanya tadi lo ketemu sama Ardin, kok gak barengan?” Tanya Jacob. Jacob sudah menyuruh Wira berkumpul di rumahnya. Namun, Jacob bingung kenapa Ardin tidak bersama Wira. “Lo marahan sama Ardin? Atau, lo lupa buat ngajak dia?” Tanya Jacob. “Tadinya sih sudah ingat, tapi sejak dia ngomongin duit, duit, dan duit mulu ya gue langsung kelupa gitu aja,” jelas Wira yang langsung merebahkan badannya ke sofa merah hati milik Jacob. “Dia minjem duit lagi sama lo?” balas Jacob. “Dih, lo kayak gak tau dia aja,” Wira memejamkan matanya, seharian ini ia lelah sekali menghadapi macet yang baru saja ia lalui. “Jalanan macet banget, kayak otak gue buat deketin doi, macet! Lampu merah terus!” lagi-lagi, Wira membuka pembahasan tentang gebetannya. “Gimana, sudah dapat nomor teleponnya?” Tanya Jacob lagi. Wira menggeleng dengan wajah lesu. Wajah Wira yang berubah seperti bebek melamun, sontak menyambar kegelian di perut Jacob. “Lo kalah sama Ardin, Wir. Dia aja sudah dapat gebetan mahasiswa baru tuh, yang namanya Mona. Udah gitu model terkenal jaman sekarang lagi, sip lah!” Jacob mulai memanas-manasi Wira. “Kalau telak gue! Gue pengen belajar jurus merayu sama Ardin deh, eh telepon dia gih cepet pulsa gue habis! Suruh cepetan ke sini,” pinta Wira dipupuk antusiasme.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD