“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Ridwan.
Riyu yang sedari tadi termenung langsung menoleh. “Ah … saya baik-baik saja, kok.”
“Saya perhatikan beberapa hari ini kamu selalu terlihat lesu saat jam kerja sudah habis. Kamu juga memilih tetap bermain-main di sini hingga malam datang. Apa jangan-jangan kamu nggak betah tinggal di rumah itu?”
Riyu langsung mengangguk. “IYA … SAYA SAMA SEKALI TIDAK BETAH DI RUMAH ITU. RUMAH ITU TERASA SEPERTI NERAKA. PARA PENGHUNINYA JUGA MERUPAKAN JELMAAN IBLIS BERBENTUK MANUSIA. SAYA TIDAK KUAT LAGI … TOLONG SELAMATKAN SAYA …!!!”
“Hey … kenapa kamu diam?” sergah Ridwan.
Deg.
Riyu terjaga dari khayalannya. Andai dia memang bisa mengadu seperti itu. Andai dia bisa mengatakan penderitaan yang dia rasakan beberapa hari belakangan ini.
“S-saya baik-baik saja kok, Mas.” jawaban yang dipenuhi kedustaan itu akhirnya terlontar juga.
“Kalau ada apa-apa kamu bisa cerita kepada saya! Atau mungkin kamu ada keluhan selama bekerja di sini?” tanya Ridwan lagi.
“T-tidak, Mas. Saya sangat senang bekerja di sini. Suer!” Riyu mengangkat dua jarinya membentuk huruf V.
Ridwan tergelak pelan, matanya beralih menatap arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 18.00 sore. Itu artinya sudah satu jam Riyu duduk di teras minimarket dan sepertinya dia juga masih enggan untuk pulang ke rumah kontrakannya. Ditatapnya wajah karyawannya itu lekat-lekat. Dua lingkaran hitam di bawah mata Riyu terlihat jelas. Badannya juga terlihat lebih kurus dengan dagu yang semakin meruncing.
“Sebenarnya apa yang terjadi pada dia di rumah itu?” bisik Ridwan dalam hatinya.
“Kamu makan dan tidur dengan baik kan, Ri?”
Riyu tidak langsung menjawab. Ada jeda sekian detik sebelum akhirnya dia mengangguk. “Iya, Mas. Saya makan dan tidur dengan baik, kok.”
Ridwan mengangguk pelan sambil mengusap-usap pelipisnya. Percakapan itu pun berakhir saat ada seorang pelanggan yang ingin berbelanja. Bersamaan dengan itu Riyu pun juga bangun dari duduknya dan pamit pulang ke rumah.
“Kalau begitu saya pamit dulu, Mas.”
“Hati-hati di jalan.”
Riyu melangkah gontai di tengah jalanan yang lembab setelah di sapu oleh hujan gerimis. Semakin lama gerakan langkahnya semakin lambat dan terseok-seok. Riyu sangat malas sekali pulang ke rumah itu. Dia masih merasa dongkol pada sosok Raymon yang sudah membuat keuangannya semakin menipis. Riyu terpaksa membayar rokok yang diambil oleh Raymon dengan uangnya sendiri.
Helaan napas Riyu pun terdengar semakin sesak saat dia sudah sampai di gerbang rumah itu. Langkah kakinya kini terhenti. Di depan sana terdengar suara riuh para penghuni rumah yang menggema. Sepertinya mereka semua sedang berkumpul di ruang tamu. Kedua kakinya terasa enggan melangkah. Riyu hanya menatap rumah itu dengan tatapan sayu dan raut wajah lelah yang tergambar jelas.
Kedua kakinya terasa enggan untuk masuk ke dalam rumah. Dia sama sekali tidak ingin menatap wajah-wajah asing yang masih saja membuatnya merasa gelisah. Riyu menatap arlojinya sebentar. Waktu baru menunjukkan pukul 19.00 malam.
“Apa sebaiknya aku jalan-jalan sebentar untuk menghirup udara segar?” bisiknya dalam hati.
Riyu perlahan berjalan mundur dan kemudian berbelok kembali hendak pergi dari sana.
“Mau ke mana?”
Deg.
Riyu terkejut mendengar pertanyaan yang lebih mirip dengan hardikan itu. Dia menoleh sambil memegangi dadanya dan ternyata itu adalah sosok Darrel yang entah sudah sejak kapan berdiri di sana.
“K-kamu ….” Riyu berucap dengan napas sesak karena terkejut.
“Kamu tidak masuk ke rumah?” tanya Darrel lagi.
Riyu kebingungan mencari alasan. “A-ada sesuatu yang ketinggalan.”
“Di mana?”
“Minimarket.”
“Kalau begitu tolong sekalian belikan aku dua cup kopi espresso di samping minimarket itu,” ucap Darrel lagi.
Deg.
Riyu meringis pelan. Dia berniat untuk melarikan diri, namun Darrel malah menitip dua cup kopi kepadanya. Wajahnya memelas seakan menolak permintaan itu, tapi saat Dareel memberikan uangnya, Riyu pun dengan cepat mengambil uang itu.
“Tapi ngomong-ngomong kenapa dua cup?” tanya Riyu.
Darrel tidak menjawab dan melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah.
“Dasar manusia es batu. Minta tolong ke orang lain, tapi pertanyaan orang malah nggak di jawab,” dengkus Riyu sambil melangkah pergi.
_
Agenda pelarian Riyu akhirnya hancur sudah. Awalnya dia berencana untuk berjalan-jalan bersama angin malam yang tenang. Tapi sekarang dia merasa seperti seorang pesuruh yang patuh pada majikannya. Riyu hanya sekedar membelikan dua cup kopi untuk Darrel dan kembali berjalan pulang ke rumah dengan wajah lesu.
“Eh, selamat dataaaang! Kamu kok akhir-akhir ini pulang larut terus, sih? Bukannya kamu hanya bekerja sampai pukul 17.00 sore?” Abian yang sedang melahap sebungkus nasi Padang langsung menyambut kedatangan Riyu dengan pertanyaan yang enggan dijawabnya.
Riyu memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Tatapannya kini beralih pada Tovani yang sedang asyik membaca sebuah komik dan juga sosok Edwin yang sedang sibuk dengan laptopnya. Dua manusia itu sampai sekarang masih saja bersikap cuek. Bukannya tidak pernah berusaha, Riyu sudah melakukan berbagai cara untuk mendekati mereka berdua. Namun Tovani dan Edwin bagaikan sebuah tembok tinggi yang tidak bisa diraihnya. Satu-satunya yang membuat Riyu nyaman tetaplah Abian. Satu-satunya yang membuat Riyu ketakutan tetaplan Raymon dan satu-satunya yang selalu membuat Riyu kebingungan tentu saja Darrel.
“Eh, kok nggak dijawab, sih?” sergah Abian dengan mulut yang terisi penuh.
“Jam kerjanya sudah berubah,” jawab Riyu asal.
“Itu kopinya yang satu buat aku, ya?” tanya Abian lagi.
“B-bukan, ini adalah kopi pu--”
Ucapan Riyu terhenti karena tiba-tiba saja Raymon muncul dari kamar mandi memakai sebuah baju kaos berwarna merah yang terlihat kekecilan di tubuhnya. Pria berbadan kekar dengan tato di sekujur tubuhnya itu melangkah santai sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk yang juga membuat mata Riyu melotot.
Baju itu.
Handuk itu.
Adalah milik Riyu.
Riyu menatap nanar. Sedangkan Raymon memandangnya santai masih sambil mengibas-ibaskan rambut gondrongnya yang masih kelihatan kejang walaupun dia sudah mandi. Mungkin dia tidak memakai sampo, atau dia hanya memakai deterjen rinso untuk rambutnya itu.
“Apa lo lihat-lihat, ha?” tanya Raymon.
Riyu meneguk ludah. Dia sudah berusaha melupakan perihal rokok yang tadi tidak dibayar oleh manusia berperi-kesetanan itu, tapi sekarang? Dia juga seenaknya memakai barang-barang milik Riyu begitu saja.
“Kenapa kamu memakai baju aku?” tanya Riyu.
Pertanyaan itu sontak membuat suasana berubah tegang. Abian kini termangu dengan mulut berisi penuh. Edwin tidak lagi memerhatikan layar lapotonya dan Tovani pun juga diam-diam mengintip dari balik komik yang sedang dibacanya. Mereka semua sudah mencium bau-bau perselisihan dan memilih untuk diam dan menontonnya saja.
“Jadi ini baju, lo?” tanya Raymon santai.
“Itu juga handuk milik aku.” suara Riyu terdengar bergetar.
Hening.
Suasana menjadi sunyi. Saat ini Riyu masih menatap Raymon dengan rasa amarah yang tertahan. Raymon pun melangkah lebih dekat, lalu menatap Riyu lekat-lekat.
“Ada apa dengan tatapan itu, ha?”
Glek.
Riyu mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk menahan diri. Dia sangat sadar bahwa melawan sosok Raymon bukanlah pilihan yang tepat. Mungkin dia akan langsung pingsan jika Raymon melayangkan tinjunya. Atau dia bisa terbang menembus angkasa jika Raymon mengangkat dan melemparnya ke udara.
Riyu paham akan hal itu. Karena itu dia kini memilih diam, namun menjerit dalam hatinya.
“Nih, handuk lo!” Raymon melempar handuk yang sudah basah itu ke wajah Riyu dengan kasar.
Riyu hanya menunduk. Sementara para penghuni yang lain kini kembali pura-pura sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Mereka bertiga seperti enggan untuk terlibat. Riyu menatap Abian perlahan. Dia benar-benar merasa kecewa. Hatinya sempat berharap Abian akan membantunya, atau setidaknya mengeluarkan pendapatnya. Namun yang dilakukan oleh lelaki yang dianggap sebagai ‘teman’ oleh Riyu itu hanyalah melajutkan agenda makannya dengan lahap.
“Ah, ini kopinya kenapa dua? Satu buat gue, ya!” Raymon dengan semberono hendak mengambil kopi itu, tapi sebuah hardikan membuat dia berhenti.
“Hey perampok!”
Deg.
Semua mata kini tertuju pada Darrel yang melangkah santai sambil memasukkan kedua tangan di dalam kantong celananya.
“Apa mendekam di penjara karena kasus mencuri selama dua tahun belum membuat kamu jera?” tanya Darrel pada Raymon sambil mengambil kopi dari tangan Riyu.
Riyu menelan ludah, dia cukup terkejut mendengar ucapan itu. Riyu pun dengan cepat beralih menatap Raymon. Dia mengira Raymon akan mengamuk dan langsung menyerang Darrel. Riyu mengira pertumpahan darah akan terjadi. Riyu menduga kedua lelaki itu akan bertengkar hebat, tapi ….
Raymon malah diam saja seperti seekor harimau yang kehilangan taringnya.
Riyu pun menatap heran. Raymon seperti sangat terintimidasi dengan kehadiran Darrel. Padahal jika dilihat dari segi fisik, Raymon pasti bisa mengalahkannya dengan mudah.
“Setelah terkenal sebagai pencuri handphone, apa sekarang kamu juga menjadi pencuri baju dan juga kopi?” tanya Darrel lagi.
Raymon menatap tajam dengan bola mata yang sudah memerah. Dia terlihat berusaha keras menahan amarah yang sudah memuncak.
Aneh.
Aneh sekali.
Apa ada sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua hingga Raymon menjadi takut kepada Darrel?
Darrel tersenyum kecut, lalu kembali melangkah santai masuk ke dalam kamarnya. Sepeninggal Darre, Raymon pun langsung menatap ke arah Riyu dengan tajam.
“Malam ini … lo keluar dari kamar gue!”
Deg.
“A-apa?” Riyu melotot kaget.
Raymon langsung melangkah gusar memasuki kamar. Tak lama kemudian dia langsung melempar semua barang-barang milik Riyu keluar kamar. Dia melempar bantal, selimut, ransel, pakaian, pokoknya semua barang-barang milik Riyu dikeluarkan tanpa sisa.
“Apa yang kamu lakukan …!?” pekik Riyu.
Abian, Tovani dan Edwin kali ini juga ikut berdiri dan mendekat. Kali ini mereka tidak lagi diam dan mencoba menengahi permasalahan itu.
“Sabar, Bro … nggak usah seperti ini,” bujuk Edwin.
“Hei … hei … ayo kita bicarakan semuanya dengan baik-baik,” timpal Tovani dengan nada suara yang terdengar sedikit takut-takut.
“Tenang dulu, Bang! Jangan emosi seperti ini,” sahut Abian.
Mereka bertiga berusaha membujuk Raymon. Tapi lelaki itu tidak mendengarkan sama sekali dan terus saja melempar semua barang-barang milik Riyu keluar kamar. Setelah semuanya habis, Raymon juga melepas baju milik Riyu dan juga melemparkannya.
BLAM…
Semua orang pun kompak memejamkan mata karena saat Raymon membanting pintu kamar itu dengan keras dan menguncinya rapat-rapat.
Riyu pun masih menatap nanar. Sementara itu Abian, Tovani dan Edwin kini menatapnya sambil menghela napas
“Beginilah jadinya kalau terlibat masalah dengan mereka berdua,” ucap Tovani lirih.
“Sekarang kamu akan melalui hari-hari yang sulit,” sahut Edwin.
“Lalu sekarang … apa Riyu akan bergabung di kamar kita sebagai orang buangan?” tanya Abian kemudian.
Edwin dan Tovani hanya mengangguk lemah, sedangkan Riyu masih termangu dengan pikiran yang sudah melayang jauh meninggalkan raga.
_
Bersambung ….