Riyu nyaris menitikkan air mata karena rasa sedih yang sudah membelit hati. Namun keberadaan Tovani, Edwin dan Abian yang masih ada di sana membuat dia berusaha menahan diri. Riyu masih terpana menatap barang-barang miliknya yang sudah berserakan di lantai. Bahkan sebuah lampu tidur yang baru dibelinya dua hari yang lalu sudah pecah dan sepertinya tidak akan bisa menyala lagi.
“Kamu harusnya tadi bisa menahan diri,” ucap Abian.
Riyu beralih menatap lelaki itu. “Jadi maksud kamu sebaiknya aku diam saja?”
Abian terdiam.
“Sudah … semua sudah terjadi. Sekarang sebaiknya kamu rapikan semua barang-barang kamu dan masukkan saja dulu ke dalam kamar kami,” tukas Tovani.
Edwin hanya menggeleng pelan. “Ah … benar-benar melelahkan. Situasi di rumah ini memang tidak akan pernah tenang.”
Riyu tertegun. Dia merasa sedikit tersentil dengan ucapan Edwin. Riyu merasa bahwa dia adalah dalang dari segala permasalahan yang sudah terjadi.
Tak lama kemudian pintu kamar Darrel terbuka pelan. Sosoknya yang sudah memakai pakaian tidur motif kotak-kotak itu menatap barang-barang Riyu yang sudah berantakan di lantai. Riyu pun juga beralih menatapnya. Sejenak tatapan mereka beradu. Riyu sempat mengira Darrel akan bertanya atau setidaknya menunjukkan empatinya. Namun lelaki itu hanya berjalan ke dapur untuk membuang bekas cup kopinya dan kembali masuk ke dalam kamarnya begitu saja.
“Padahal semua karena dia. Raymon tidak bisa melampiaskan amarahnya kepada Darrel dan akhirnya dia melampiaskan kekesalannya itu kepada aku,” batin Riyu.
“Udah, Ri! Ayo buruan beresin barang-barang kamu!” sergah Tovani sambil berjalan kembali ke sofa untuk melanjutkan aktivitasnya.
Riyu hanya mengangguk. Dia mulai mengangkut barangnya ke dalam kamar yang tempati oleh Abian, Tovani, dan Edwin.
Riyu mendorong pintu itu dengan gundukan barang dipangkuannya. Setelah memasuki kamar itu, dia pun tercengang dengan mulut menganga.
Kamar itu bahkan terlihat lebih sempit daripada kamar yang dia tempati sebelumnya. Tidak ada ranjang tingkat dan space untuk meletakkan banyak barang. Terdapat beberapa kasur kapuk yang digabungkan dan tergeletak di lantai begitu saja. Aroma kamar itu juga tercium sedikit tidak enak. Sumpek dan bau sekali.
Cukup lama Riyu termangu dengan tumpukan barang yang masih berada di pangkuannya. Bagaimana dia bisa tidur di sana? Benar-benar tidak ada ruang yang tersisa untuk sekedar menggelar kasur atau pun alas tidur.
“A-apa aku akan tidur di tempat yang sama dengan mereka bertiga?” bisik Riyu pelan.
“TENTU SAJA!”
Deg.
Riyu terkejut karena tiba-tiba saja Abian menyahut ucapannya. Abian datang sambil membantu Riyu membawakan barang-barangnya masuk ke dalam kamar itu.
“J-jadi kita semua tidur di sini?” tanya Riyu lagi.
Abian mengangguk. “Iya. Tenang saja. Muat kok! Lagian badan kamu juga kecil. Kamu bisa nyelip di mana-mana nantinya. Di tengah, di kiri, di kanan, semuanya bisa.”
Deg.
Riyu seketika merasa pusing. Bagaimana pun juga itu akan menjadi mimpi buruk yang sangat mengerikan. Dia tidak mungkin tidur di antara para lelaki. Sejenak Riyu membayangkan bagaimana dia tidur ditengah-tengah mereka bertiga. Ada lelaki di sisi kanan dan kirinya.
Glek.
Riyu cepat-cepat menghalau pikiran mengerikan itu dari otaknya.
“B-bagaimana peraturannya tidur di sini?” tanya Riyu.
Abian menatap bingung. “Maksud kamu?”
“Maksud aku bagaimana pembagian tempat tidurnya? Misalnya kamu tidur di sebelah mana? Aku di sebelah mana dan mereka juga di sebelah mana?”
Abian melongo dengan wajah bodohnya. Beberapa detik kemudian barulah dia tertawa lebar. “Hahaha … apaan sih? Ya terserah aja kali. Pokoknya ngisi space yang ada aja!”
Jawaban itu membuat bulu kuduk Riyu berdiri. Dia membayangkan seandainya dia sudah terlelap para lelaki itu tidur mengapitnya. Sekamar dengan Raymon adalah pengalaman yang menakutkan, namun sepertinya kenyataan yang ada di depan mata Riyu saat ini jauh lebih menakutkan lagi.
“Kenapa bengong?” sergah Abian.
“T-tidak ada apa-apa,” jawab Riyu sambil memaksakan sebuah senyum di bibirnya.
_
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Riyu sedang duduk meringkuk sambil memeluk lututnya sendiri di pojokan kamar dengan cahaya lampu yang redup. Di atas kasur sudah terkapar tiga lelaki yang tidur dengan posisi berantakan dan juga bertelanjang d**a.
Space kosong?
Riyu bahkan tidak punya tempat untuk sekedar mendudukkan pantatnya. Awalnya Riyu sengaja menghabiskan waktu di ruang tamu. Dia menunggu hingga ketiga lelaki itu masuk ke dalam kamar dan tertidur pulas. Riyu sengaja melakukannya agar dia bisa tidur di bagian pinggir. Tapi apa mau dikata, tidak ada tempat yang tersisa. Dan kalaupun ada tempat untuknya, Riyu juga merasa ngeri setelah melihat bagaimana gaya ketiga lelaki itu tertidur.
Riyu membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Malam ini dia merasa sangat lelah. Dia mencoba memejamkan mata dalam posisi seperti itu. Helaan napasnya lama kelamaan terdengar sesak. Seiring dengan itu kedua pundaknya mulai bergetar pelan.
Akhirnya … dia menangis.
Riyu menangis sambil menutup mulutnya sendiri rapat-rapat. Dalam keheningan malam dia menumpahkan segala rasa sesak yang terasa menyiksa. Semua yang terjadi benar-benar terasa melelahkan, akan tetapi Riyu tahu jelas bahwa semua itu karena keputusannya sendiri.
“Apa sebaiknya aku pergi saja dari rumah ini dan kembali menjalani kehidupan sebagai Ayu?”
“Tidak … kehidupan di tempat lain mungkin bisa jauh lebih buruk dari ini. Bagaimana jika nanti paman menemukan aku? Bagaimana jika nanti aku kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan?”
“Aku hanya perlu bersabar. Aku sudah sangat nyaman dengan pekerjaanku saat ini. Satu-satunya yang menjadi masalah hanyalah tempat tinggal saja. Aku hanya perlu bersabar hingga mempunyai cukup uang dan mencari tempat yang lebih baik dari ini.”
Riyu terus saja mengangguk-angguk pelan sambil menyeka sisa-sisa air mata yang melekat. Tiba-tiba dia merasa sangat sesak dibagian dadanya. Belakangan ini Riyu memang mengikat bagian payudaranya dengan sangat kencang. Selain itu dia juga tidak punya kesempatan lagi untuk melepas ikatan itu kecuali saat di kamar mandi saja. Saat Reymon belum muncul, Riyu bisa melepaskan lilitan itu dan bernapas lega setiap malam. Namun sekarang dia harus terus memakainya dan rasanya tentu akan sangat menyiksa.
“A-aku benar-benar merasa sesak,” bisiknya kemudian.
Riyu menatap tiga manusia yang sudah tertidur itu kembali. Abian tertidur dengan aliran bening yang mengucur deras di sudut bibirnya. Sosok Tovani tidur dengan posisi telungkup dan sesekali sibuk menggaruk-garuk bagian bokongnya. Sedangkan Edwin tampak tenang tertidur dengan kedua telapak tangan dibawah kepala sebagai bantal dan menampakkan bulu keteknya yang maha lebat lagi keriting.
Deg.
Riyu benar-benar tersiksa melihat pemandangan itu. Ada rasa malu dan juga rasa jijik yang berpadu jadi satu. Apa lelaki memang selalu seperti itu? Riyu benar-benar tidak mengerti dengan pola hidup kaum pria. Sepertinya dia memang membuat sebuah kesalahan fatal dengan menjalani kehidupan sebagai seorang laki-laki.
Dalam hati Riyu pun juga mulai menyesal dan memikirkan ucapan Abian. Seharusnya dia memang hanya perlu menahan diri dan mengabaikan Raymon. Dia bisa mengambil lagi pakaian dan handuknya nanti. Dia bisa mencegah hal itu terjadi lagi dengan menyimpan barangnya sebaik mungkin agar tidak bisa digunakan lagi oleh teman sekamarnya itu.
“Tapi semua mungkin tidak akan seperti ini jika Darrel tidak muncul,” bisik Riyu kemudian.
Riyu beranjak keluar dari kamar itu dengan langkah pelan. Suasana di luar sana terlihat sangat gelap. Riyu menyalakan lampu dan beranjak duduk di sofa. Dia memehatikan keadaan sekitarnya. Setidaknya dia merasa lebih tenang dan juga lega. Riyu menepuk-nepuk sofa yang sudah terasa keras itu perlahan. Setidaknya ini jauh terasa lebih baik daripada dia harus terkurung di dalam kamar dengan kumpulan lelaki yang hanya akan membuat dirinya resah.
“Sepertinya aku bisa tidur di sini saja,” bisik Riyu kemudian.
Riyu memerhatikan keadaan sekitarnya. Dia benar-benar merasa sesak dan ingin melepas lilitan di dadanya walau sebentar saja. Keadaan begitu hening. Setelah merasa aman, Riyu pun melepas lilitan itu seraya mengembuskan napas lega. Dia tersenyum lepas seiring rasa sesak yang sudah menghilang.
Klik.
Tiba-tiba saja pintu kamar Darrel terbuka pelan. Riyu langsung menatap panik. Dia cepat-cepat mengambil bantal yang tadi dia bawa keluar dan langsung menutupi bagian dadanya dengan bantal itu.
Darrel keluar dengan membawa gelas yang sudah kosong. Tatanan rambutnya masih terlihar rapi, itu berarti dia belum tertidur sama sekali. Darrel pun menatap Riyu sekilas, lalu berjalan ke dapur untuk mengisi gelasnya yang sudah kosong dengan air putih.
Suara cucuran air dari dispenser itu terdengar sangat jelas di keheningan malam. Diam-diam Darrel melirik Riyu perlahan dari sudut matanya. Setelah mengisi gelas minumnya, dia pun kembali berjalan ke kamarnya.
“Hei! Apa kamu benar-benar seorang manusia, ha?” hardik Riyu.
Deg.
Pertanyaan Riyu membuat langkah kaki Darrel terhenti. Jemarinya yang sudah siap memutar knop pintunya pun kembali terlepas. Darrel berbalik dan menatap Riyu perlahan.
“Apa maksud kamu berbicara seperti itu?”
Riyu tersenyum kecut. “Apa kamu tahu apa yang sudah terjadi karena ucapan kamu?”
Darrel mengangkat bahunya. “Memangnya aku harus tahu?”
Riyu benar-benar merasa kesal. Wajahnya kini terasa panas. “Kalau kamu tadi tidak bicara … semua tidak akan jadi seperti ini! Kalau kamu tidak bicara seperti tadi, aku mungki tidak akan diusir dari kamar.”
Darrel menatap sinis. “Kalau aku tidak berbicara seperti tadi … maka selamanya kamu akan menjadi pecundang yang selalu direndahkan oleh orang lain dan diperlakukan dengan seenaknya.”
Deg.
Pupil mata Riyu bergetar.
Apa Darrel sedang mengatakan bahwa dia sudah membela Riyu?
Apa Darrel sedang menjelaskan bahwa dia memihak pada Riyu?
Hening.
Riyu masih tertegun dengan memeluk bantal di depan dadanya lebih erat. Sedangkan Darrel masih menatapnya tajam dan kemudian mengembuskan napas gusar.
“Apa masih ada yang ingin kamu katakan lagi, ha?” tanya Darrel.
Riyu meneguk ludah. “Apa kamu melakukan semua itu untuk membela aku?”
Darrel mengernyit, lalu kemudian tertawa.
“Hahaha … jangan salah sangka! Aku melakukannya karena dia ingin mencuri kopiku. Aku tidak melakukannya untuk membela manusia lemah dan tak berguna seperti kamu” jawabnya kemudian.
_
Bersambung …