Suasana kedai bakso Mas Tono yang terkenal lezat itu masih ramai dipadati pengunjung. Suara sorak sorai para pembeli itu terdengar riuh. Suara dentingan sendok dan gelak tawa juga terdengar bersahutan. Namun bagi Riyu suasana di sana terasa sangat mencekam karena dia harus duduk berhadapan dengan sosok Darrel di depannya.
Deg.
Jemari Riyu masih bergetar setiap kali dia mengangkat sendok ke mulut. Ingin rasanya dia juga kabur melarikan diri seperti Abian, namun kedua telapak kakinya bagai terpaku ke lantai. Riyu tak punya pilihan lain selain berpura-pura menikmati bakso yang sudah terasa tidak enak lagi di lidahnya.
“Apa yang harus aku lakukan?” bisik Riyu dalam hatinya.
Diam-diam Riyu melirik Darrel dengan sudut matanya. Pemuda itu terlihat menyantap bakso dengan santai sambil mengangkat salah satu kakinya ke atas kursinya. Riyu kembali meringis saat teringat bagaimana dia dan Abian sudah menggosipkan lelaki itu. Darrel mendengar semua itu, tapi anehnya kenapa dia diam saja?
Apa jangan-jangan semua yang dikatakan oleh Abian itu benar? Apa dia benar-benar anak tersenyembunyi dari sosok yang penting? Atau apa dia memang simpanan tante-tante tajir? Riyu menggeleng cepat dan kembali fokus pada makanannya. Dia hanya perlu menghabiskan bakso itu dan segera kabur dari sana.
Riyu pun melahap sisa bakso di mangkoknya dengan tergesa-gesa. Mulutnya kini terlihat penuh dan dia juga kesulitan untuk mengunyah. Darrel pun hanya melihat sekilas, lalu tersenyum sinis. Sementara itu Riyu masih berusaha keras menghabiskan baksonya agar bisa segera angkat kaki dari tempat itu.
“A-aku sudah selesai. Aku duluan, ya!” ucap Riyu kemudian.
Darrel tidak menjawab dan hanya fokus menyantap bakso miliknya.
Dengan canggung, Riyu pun segera bangun dari duduknya sambil menghela napas lega. Setidaknya dia bisa lepas dari situasi yang sangat mengerikan itu. Awalnya Riyu sempat berpikir bahwa Darrel akan marah padanya karena sudah terciduk sedang bergosip bersama Abian. Namun ternyata Darrel tidak berkata-kata apalagi selain satu kalimat yang dia lontarkan ketika dia baru datang.
“Boleh aku duduk di sini?”
Riyu segera membayar bakso itu ke kasir. Selagi menunggu kembalin uang, dia pun terkejut karena tiba-tiba Darrel juga sudah berdiri di belakangnya dan juga membayar bakso miliknya.
Deg.
Tatapan Riyu beralih pada mangkok bakso milik Darrel di atas meja. Apa dia tidak menghabiskan makananya? Tidak, mangkok itu terlihat kosong. Lalu apa mungkin dia sengaja cepat-cepat makan untuk mengejar Riyu?
Glek.
Riyu menelan ludah. Sepertinya Darrel akan meluapkan amarahnya setiba di luar sana. Itu memang masuk akal, dia tidak mungkin marah-marah di tempat umum yang ramai seperti ini. Darrel seperti sedang menunggu saat yang tepat untuk menyerang dan Riyu merasa saat itu akan segera datang padanya.
“T-terima kasih.”
Riyu pun melangkah pelan keluar dari kedai itu setelah mendapatkan kembalian uangnya. Dia sengaja memperlambat langkah agar Darrel berjalan mendahuluinya. Selang beberapa detik kemudian, Darrel memang keluar dan melangkah santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak kembali ke rumah?” Darrel berbalik dan menghardik Riyu.
“I-iya.” Riyu pun mulai berjalan dengan degup jantung yang sudah memburu.
Mereka berdua berjalan pelan di bawah matahari senja yang berwarna jingga. Riyu berjalan di belakang Darrel dengan langkah hati-hati sekali. Dalam hati dia terus berdoa agar semua tetap baik-baik saja. Bagaimana kalau lelaki itu menghajarnya? Bagaimana kalau Darrel juga menyingkirkannya dari kota ini seperti penghuni yang bermasalah dengannya itu?
Deg.
“Situasi ini benar-benar terasa menakutkan. Aku merasa seperti sedang mengikuti malaikat maut menuju tempat pencabutan nyawa,” bisik Riyu dalam hatinya.
Mereka terus melangkah. Semilir angin sore ini terasa sejuk dan membuat rambut kedua manusia itu berkibar. Riyu masih menunggu, tapi tetap saja tidak ada yang terjadi. Dia pun menatap punggung Darrel yang terlihat kekar. Kedua bahu pemuda itu benar-benar lebar. Riyu bahkan bisa bersembunyi di balik badan Darrel. Selain itu Darrel juga sangat tinggi dan mempunyai langkah yang panjang.
Tanpa terasa mereka berdua pun tiba di rumah kontrakan. Darrel masuk ke dalam rumah dengan santai. Sementara Riyu kini menghentikan langkah dan menatap heran.
“T-ternyata dia tidak melakukan apa-apa,” bisiknya pelan.
Riyu mengembuskan napas lega dan juga bergegas masuk. Kedatangannya langsung di sambut oleh Abian di depan pintu yang langsung menatapnya dengan wajah rusuh.
“K-kamu nggak di apa-apain, kan?” Abian langsung sibuk mengitari Riyu dan mengecek keadaannya.
“Aku nggak apa-apa, kok.”
“Dia marah nggak?”
“Dia mukulin kamu?”
“Apa dia mengancam kamu?”
“Atau … kamu diusir dari rumah ini?”
Abian tak henti meracau dengan wajah panik. Riyu pun hanya menghela napas, lalu menepuk pundak Abian perlahan.
“K-kenapa?” tanya Abian.
“Dia tidak melakukan apa-apa,” jawab Riyu.
Abian mengembuskan napas lega dan kemudian langsung menarik Riyu masuk ke dalam rumah. Riyu pun langsung menatap canggung saat melihat ada dua orang pemuda yang sedang duduk menonton televisi.
“Nah, ini dia yang namanya Riyu,” ucap Abian kemudian.
Seorang lelaki berkacamata dengan potongan rambut pendek menatap sebentar, lalu menganggukkan kepala. “Salam kenal, Bro! Aku Tovani.”
Riyu tersenyum canggung. “Salam kenal.”
Tovani tersenyum sebentar, lalu kembali fokus menatap acara bola di televisi. Riyu pun memerhatikan sosok pemuda itu sejenak. Tidak ada yang spesial dari sosok pemuda itu. Tovani memiliki postur tubuh yang standar, fitur wajahnya pun biasa-biasa saja, tapi dia mempunyai senyuman yang manis. Kacamata yang melekat di wajahnya itu juga menampilkan kesan bahwa dia adalah tipikal kutu buku yang sering menghabiskan waktu di perpustakaan. Sekilas dia terlihat seperti penyanyi Afghan Syahreza, hanya saja Tovani mempunyai hidung yang cukup mancung dan kulit yang lebih putih.
Tatapan Riyu pun beralih pada pemuda yang lainnya. Sosok berambut cepak dengan kumis yang agak tebal itu hanya fokus menatap televisi dan seolah tidak menganggap keberadaan Riyu. Wajah pemuda itu terlihat sedikit sangar. Sosok itu terus menonton sambil tak henti mengunyah keripik singkong balado yang ada dalam pangkuannya.
“Bang! Fokus amat nontonnya. Ada anak baru, nih!” sergah Abian sambil merebut keripik balado itu.
“Balikin keripik balado gue!”
“Kenalan dulu, noh … ama anak baru,” ucap Abian lagi.
Riyu pun tersenyum canggung saat pemuda itu menatap padanya.
“Gue Edwin. Salam kenal ya … semoga lo betah tinggal di rumah ini.”
“A-aku--”
“Gue udah tau nama lo. Riyu, kan?” Edwin langsung memotong percakapan.
Riyu hanya mengangguk dan masih terlihat kikuk. Dia mulai menduga-duga. Apa mungkin sosok Edwin adalah teman satu kamarnya?
“Balikin keripik gue setan!” Edwin melayangkan sebuah bantal kepada Abian. Si pengecut Abian pun akhirnya kembali memulangkan bungkusan keripik itu kepada pemilik aslinya.
Mendadak keadaan kembali hening. Si tengil Abian juga duduk di sofa dan ikut menikmati laga pertandingan sepak bola itu.
Glek.
Riyu menatap bingung. Sejenak dia merasa ragu apakah dia harus bergabung bersama mereka, atau melarikan diri saja masuk ke dalam kamarnya. Riyu menatap ketiga pemuda itu secara bergantian, lalu menelan ludah. Rasanya kehadirannya pun juga tidak akan memberikan sesuatu yang berarti untuk mereka semua.
“A-aku ke kamar dulu,” ucap Riyu lirih.
Hening.
Mereka bertiga seperti tidak mendengar suara Riyu dan tetap fokus menatap layar televisi. Riyu pun melangkah canggung ke dalam kamar sambil menggaruk bagian belakang lehernya.
“Sepertinya kehidupan aku di rumah ini akan menjadi sangat melelahkan,” batinnya kemudian.
Riyu langsung berbaring di ranjang tingkat dua miliknya sambil mengembuskan napas lega. Perutnya terasa kenyang dan kini matanya mulai terasa mengantuk. Gadis yang sudah menjelma sebagai laki-laki itu memicingkan matanya sejenak dengan helaan napas yang terdengar kencang.
Namun beberapa detik kemudian Riyu kembali membuka mata. Dia menatap langit-langit kamar itu sambil kembali mengingat-ingat.
“Sejauh ini aku sudah bertemu dengan empat orang penghuni rumah ini … Abian, Darrel, Tovani dan juga Edwin,” bisiknya pelan.
Riyu kembali berpikir. Menurut cerita Abian, Darrel menempati kamarnya seorang diri. Itu berarti yang berkemungkinan menjadi teman sekamarnya memanglah antara Tovani dan Edwin.
Deg.
Riyu kembali bangun dan duduk bersila memikirkan hal itu. Tapi kemudian dia kembali memilih berbaring dan mencoba mengabaikan segala kecemasan-kecemasan yang sejatinya tidak perlu dipikirkan. Karena terlepas dari siapapun yang akan menjadi teman sekamarnya, hal terpenting yang harus jadi perhatian Riyu adalah …
Tidak ada seorang pun di rumah itu yang boleh tahu rahasia terbesarnya.
Riyu mengangguk pelan. Dia harus bisa bertahan hidup sebagai ‘Riyu’. Dia harus mengubur segala kehidupannya sebagai ‘Ayu’. Sejenak kesedihan itu kembali terasa membelit hati. Riyu kini teringat dengan semua yang sudah dia tinggalkan. Kampung halamannya, bangku universitasnya, teman-temannya, Semua itu membuat Riyu larut dalam kesedihan. Tanpa dia sadari, bulir-bulir bening pun meluncur pelan di wajahnya.
“Semua ini hanya sementara waktu. Aku hanya perlu bersembunyi sebentar saja dan suatu hari nanti, aku akan kembali hidup sebagai Ayu,” bisiknya kemudian.
Rasa penat dan perut yang sudah kenyang lama kelamaan membuat mata Riyu menjadi sayu. Kelopak matanya mulai membuka dan menutup pelan, hingga kemudian menutup dan terlelap.
Sementara itu di luar sana ketiga manusia pecinta bola itu masih sibuk menonton bola dan berteriak histeris. Sesekali Riyu yang sudah terlelap kembali mengernyit dan membuka mata setiap kali dia mendengar teriakan mereka semua.
“GOOOOOOLLL ….!!!”
Teriakan maha dahsyat dari Abian, Tovani dan Edwin itu pun langsung membuat Riyu tergelinjang kaget. Dia mencoba menutup telinganya menggunakan bantal, tapi semua itu ternyata tidak bisa meredam suara ribut yang memekakkan telinga.
Riyu benar-benar merasa lelah dan ingin beristirahat sebentar saja. Hari-hari yang dia lalui sejak menginjak Ibukota memang terasa sangat berat dan melelahkan. Tak lama kemudian suasana kembali hening. Riyu pun mengembuskan napas lega dan kembali memejamkan matanya.
Tapi beberapa menit kemudian.
“HUAAAAAA …!!!!”
Suara teriakan kembali menggema keras. Detak jantung Riyu bahkan memompa cepat saking kagetnya.Tatapan Riyu beralih pada pintu kamar yang sudah tertutup rapat. Rumah ini ternyata tidak kedap suara sama sekali dan menutup pintu kamar pun seperti tidak berdampak apa-apa.
“Apa aku bisa mengatakan kepada mereka semua untuk melambatkan suaranya?”
Riyu akhirnya memilih bangun. Dia turun dari ranjangnya dan melangkah sempoyongan keluar kamar. Ketiga manusia di depan matanya itu masih asyik menonton dan bersorak kencang. Riyu pun menelan ludah. Rasanya dia tidak berani untuk berucap, tapi rasa lelah dan kantuk yang menyerang juga tidak bisa diabaikan lagi. Riyu mengepalkan tangannya kuat-kuat, lalu mulai membuka mulutnya.
“KENAPA KALIAN BERISIK SEKALI, HA …!”
Deg.
Abian, Tovani dan Edwin langsung membeku. Riyu yang baru saja hendak bersuara pun juga termangu menatap sosok Darrel yang tiba-tiba berteriak di ambang pintu kamarnya.
Sosok pemuda itu tampak sangat murka dan menatap tajam. Setelah membentak keras, dia pun kembali masuk ke dalam kamar dan membanting pintu dengan sangat keras. Riyu pun menelan ludah, lalu mengembuskan napas yang sedari tadi tertahan di tenggorokannya. Sepertinya Darrel sudah mewakilinya untuk membuat suasana menjadi hening.
“Jadi bukan hanya aku yang merasa terganggu …?”
_
Bersambung …