Aku melangkah pelan menuju kerumunan di mana lelaki yang aku cintai dan sahabatku duduk berdua hendak ijab kabul. Wajah Haykal tampak tegang. Tentu saja karena ini hari pernikahannya.
Aku terus melangkah mendekat sambil tersenyum, tak mempedulikan sekitar yang berbisik-bisik, pasti iba padaku yang datang di pernikahan pacarku. Ibu Haykal yang mengenakan kebaya bagus berkilauan terlihat tak tega. Haykal memandangku dengan senyum di bibirnya. Sementara Yeni dia tampak syok. Pasti ia tak menyangka aku akan datang di hari bahagianya dengan pacarku. Benalu. Sumpah aku benci sekali memiliki sahabat sepertinya.
"Kukira kamu gak akan datang." Haykal mengamati penampilanku terlihat heran. Aku tersenyum kecil, pedih hati tak kuperlihatkan, tapi yang kupertontonkan adalah senyum ceria seolah aku baik-baik saja. Hancur hatiku, maka aku hendak membalas dengan sesakit-sakitnya.
"Aku datang seperti yang kemarin kukatakan padamu, Kal." Aku tersenyum mempertontonkan senyumku yang manis.
"Kamu begitu tegar," ucapnya, lagi-lagi menatapku dari atas ke bawah dengan heran. Aku begitu cantik hari ini dengan gaun pengantin.
"Kenapa aku harus terpuruk? Ha ha. Kal, cowok gak hanya kamu. Aku datang sebenarnya selain menghadiri pernikahanmu, juga untuk menagih uang 25 jutaku yang kamu pinjam tiga bulan lalu." Aku tersenyum menatapnya, senang karena tamu-tamu yang hadir berbisik-bisik mengatainya. Aku senang melihatnya tampak malu. Yeni juga menatapnya seakan tak percaya.
"Kamu bilang udah kamu lunasi, Kak?" tanya Yeni yang Haikal sambut anggukan.
"Memang sudah, pasti dia lupa."
"Aku gak lupa, kamu emang belum bayar. Kamu bilang waktu itu akan mengembalikannya segera, begitu urusan kamu beres. Dan kurasa sudah beres."
Haykal mengusap keringat di lehernya. Menatapku tajam. "Kamu jangan mengada-ada. Jangan ada yang percaya. Dia pasti mengada-ada karena sakit hati karena aku lebih memilih Yeni."
Orang-orang pun memandangku dan berbisik-bisik. Aku menyeringai sinis penuh kemenangan. Aku ambil HP di tas tangan kecil, lalu memutar rekaman. Suara Haykal yang sedang merayu agar aku meminjaminya uang terdengar jelas. Ya, aku memang sangat mencintainya. Tapi aku bukan gadis oon yang membiarkan uang dipinjam orang tanpa bukti. Walaupun itu oleh Haykal pacarku. Ternyata kehati-hatianku selama ini ada gunanya. Aku gak mudah mengumpulkan uang dari hasil kerjaku, jadi aku menjaganya dengan baik.
Baik ayah juga ibunya terlihat syok. Begitu pun Yeni, yang menatap Haykal tak percaya.
"Nduk, pulanglah. Nanti kita selesaikan semua ini setelah Haykal selesai ijab kabul," kata ibunya dengan wajah mengimbai. Malu pasti.
Aku menggeleng tegas. Aku bukan gadis oon yang mau menurut begitu saja setelah disakiti begitu dalamnya.
"Aku gak mau pergi sebelum utangku dilunasi. Kembalikan uangku baru aku pergi." Aku memandang Haykal, yang terus ngotot mengatakan uang sudah dibayar. Orang-orang terus berbisik-bisik. Akhirnya ibu Haykal masuk ke dalam, cukup lama sekitar satu jam, ia kembali dengan segepok uang di tangan dan aku menghitungnya. Tak kubiarkan pak penghulu segera memulai ijab kabul.
"Baiklah, pas." Akhirnya aku berdiri penuh kemenangan.
"Pergi sana! Kenapa tetap di sini?!" kata Haykal dengan wajah garang. Ia pasti malu. Rasain.
"Tentu aku akan pergi. Tapi, Kal, bukankah seharusnya ini adalah pernikahan kita?" Aku tertawa kecil, sekaligus mencemooh.
"Pada suatu hari kamu pernah berkata-kata padaku, lalu aku terbujuk dan melakukannya denganmu. Kamu berjanji setelah aku mengabulkan keinginnanmu, kamu akan nikahin aku."
Haykal menatapku bingung. Sementara orang-orang terlihat ingin tahu. Aku memutar rekaman suaranya, digabung dengan suaraku yang telah kuedit, yang langsung membuat ayahnya bangkit dan menamparnya kuat sampai tubuh Haykal terjengkang dan orang-orang berteriak panik.