Pertanyaan My Bias

1102 Words
Aku tertegun, kemudian mengernyit ketika tak bisa menebak kalimat yang masih mengambang itu. “Ya, Ustaz?” seruku ketika laki-laki yang kemudian mengangkat kantong plastik besar berisi botol-botol air mineral itu terlihat ragu. “Kamu dan Arif temenan ‘kan?” lanjutnya sambil berjalan di sampingku. Kami berdua meletakkan barang-barang bekas ini di deretan barang yang belum ditimbang. Aku berdiri dan tertegun sejenak. “Maksudnya?” ucapku ragu, pikiran ini bercabang tiba-tiba. “Hanya berteman? Atau kalian berdua punya hubungan khusus seperti banyak remaja belasan di luaran sana?” jawab Ustaz Hamzah datar. “Oh, itu,” sahutku paham, kepala ini menggeleng pelan. “Nggak, Ustaz. Kami berteman sejak masih bayi merangkak kayaknya, ibu-ibu kami dekat,” jelasku agar pertanyaan itu mendapat jawaban gamblang. Ustaz Hamzah mengangguk dan wajahnya menunjukkan ekspresi senang. Aku mengeluh dalam hati. Andai, alasan pertanyaan biasku itu dengan alasan seperti yang ada di n****+-n****+ romance. Andai, itu karena ia nggak ingin aku dekat dengan orang lain selain dirinya. Uh! Sayang sekali, alasan itu pasti ditujukan untuk menjaga adab pergaulan antara laki-laki dan perempuan muslim. Hidung ini sedikit menyengir sebagai ungkapan dari halusinasiku yang terluka. Aku berjalan ke arah tumpukan barang-barang bekas yang baru datang dan meninggalkan ustaz ganteng yang sedang mengangkat barang-barang dengan ukuran berat. Kepala ini menoleh ke arah Arif yang sibuk membantu di sana sini. Dari gerakannya, teman kecilku itu masih terlihat kaku dan sungkan. Aku mengedarkan pandangan ke sekitarnya dan melihat beberapa orang menatap anak sahabat ibuku itu dengan tatapan aneh. Aku mengembuskan napas, tak menyalahkan orang-orang itu karena penampilan Arif di masjid ini tentu sangat menarik perhatian, mengaktifkan sinyal-sinyal kekepoan mereka. Aku berbalik dan dengan setengah berlari masuk ke dalam masjid. Ruangan dalam masjid itu diisi beberapa laki-laki yang sedang berkumpul. Mereka tim yang mengurusi program masjid yang lain. Aku menganggukkan kepala ketika beberapa laki-laki menoleh ke arahku yang berjalan tanpa suara ke arah lemari kecil yang ada di salah satu sudut masjid. Tangan ini meraih satu sarung dan dengan cepat membawa kain motif kotak-kotak itu keluar ruangan masjid. “Nih!” seruku sambil melemparkan kain sarung itu pada Arif yang menyadari kedatanganku. “Punya masjid, nanti dikembalikan, aurat laki-laki dari pusat sampai lutut,” ucapku sambil membuat gerakan isyarat melingkarkan kain sarung itu di pinggangnya. Arif tersenyum lebar, mengacungkan jempol dan dengan tanpa ragu dan tak malu menaikan kaos gambar tengkoraknya setinggi pinggang. Laki-laki muda itu kemudian mengikatkan sarung yang terlipat dua mengelilingi pinggangnya. Sarung itu kini menutup pusat sampai lututnya. Kemudian ia menurunkan kaosnya seperti semula. Tiba-tiba teman kecilku itu menggerak-gerakkan tangan dan tubuhnya menirukan joged melayu dengan kaku. “Gimana? Mirip?” tanyanya, aku tertawa sambil mengacungkan jempol, tapi baju khas Melayu lebih rapi, Rip. Kemudian aku meninggalkan Arif yang sibuk melanjutkan kegiatannya. Selesai salat dzuhur acara masjid itu selesai. “Kita mampir dulu di toko kosmetik ya, ada beberapa item yang harus kubeli,” ujar Salwa ketika Arofah dan Imla berjalan di sampingku yang sedang menuntun sepeda. “Hem bisa betah deh kita,” sahut Imla dengan santai. Kami berempat berjalan sambil meributkan bias kami tercinta, Ustaz Hamzah. Arofah menyenggol lengan ini. “Ihh, jika tahu begitu, aku bakalan pindah tim aja, aku rela berakrab-akrab dengan barang bekas itu,” ucap Arofah bersungut-sungut. “Ihh, kok ya nggak bersyukur sih, Kamu ‘kan sudah bisa mengamati Ustaz kita dari ruang tamu, gimana aku yang hanya di pos tiga, coba?” sanggah Salwa tak terima. “Hem ... rendah hati banget ya, setampan dan sekeren itu mau berkubang dalam kardus-kardus dan botol plastik begitu,” imbuh Imla memuji. “Berkubang ... huh!” protesku yang mendadak melihat gambar kerbau di benak ini. “Eh! Walaupun berjarak selemparan duit receh, tapi tetep aja kan? Hanya bisa melihat, nggak bisa berkomunikasi, beda jika satu tim,” kilah Arofah sambil melirik iri ke arahku. Aku tersenyum penuh kemenangan, mengedikkan bahu dan merasa terhormat menjadi bagian dari tim daur ulang masjid yang satu tim dengan my bias. Kami berempat memasuki sebuah toko kosmetik yang lumayan luas yang berada tak jauh dari masjid. “Seingatku, kita belum lama ke sini nganter Kamu belanja kosmetik, Wa,” celetuk Imla begitu kami berdiri di stand dengan deretan masker-masker sekali pakai yang menyajikan varian dan kegunaan beragam. “Hei, aku harus meningkatkan perawatan wajah, aku nggak mau terdaftar sebagai kaum kusam yang tak merawat wajah. Ingat kita sekarang berkompetisi mendapatkan perhatian bias kita,” ucap Salwa yang kali ini menggunakan lip tint warna natural di bibirnya dan mengaplikasikan maskara dengan membentuk sudut lancip di sudut mata luarnya. Sekilas bayangan keponakan Cleopatra muncul dalam benak. Arofah dan Imla hanya mengembuskan napas panjang mendengar tekad Salwa. Kami berdiri menyebar melihat-lihat pernak-pernik kosmetik cantik yang disusun rapi itu. Sekilas aku menoleh ke arah Salwa yang tengah sibuk membaca tulisan yang tertera dalam kemasan krim ini dan itu. Aku tersenyum dalam hati. “Bukan maksudku untuk menjadi kaum kusam yang tak merawat wajah. Aku hanya memilih untuk jadi kaum mending, mending dibeliin yang lain daripada untuk beli-beli yang kurang penting,” ucapku dalam hati. Jari ini seketika menyentuh satu benjolan yang sangat kecil yang muncul di dagu. Aku mengeluh sebal menyadari calon jerawat itu bakal nebeng di sana. “Apa gel jerawatku masih?” tanyaku dalam hati mengingat-ingat benda penting itu. Aku menepis godaan untuk membeli benda itu sebelum benar-benar habis. “Ah ... ‘kan masih bisa dipencet-pencet tube-nya,” ujarku menenangkan diri. Bukan maksudku untuk berhemat ketat dan hanya membeli barang-barang yang perlu. Aku sadar, aku bukan Salwa yang memiliki dua orang tua yang berada. Bukan juga Arofah dan Imla yang memiliki keluarga berkecukupan. Aku hanya tak tega menukar pengorbanan Emak yang tak ingat siang dan malam terus ikhtiar memperjuangkanku. Aku meletakkan satu masker sekali pakai dengan gambar lidah buaya itu. “Tujuh puluh lima persen mitokondria dalam tubuh ini berasal dari ibuku, aku ingin membahagiakannya dengan nggak menuntut ini itu padanya. Pada satu-satunya yang kumiliki di dunia ini,” ucapku dalam hati yang dengan legowo merelakan untuk nggak membeli apapun walaupun berkompetisi bersama tiga orang sahabatku. Suara langkah kaki yang ditarik dan menimbulkan suara gesekan sandal dan lantai terdengar. “Rayya!” seru suara laki-laki yang membuat kepala kami berempat menoleh. “Rip!” balasku heran. “Ngapain?” tanyaku ketika teman kecilku itu mendekat. “Kita ‘kan berangkatnya bareng, kita pulangnya bareng ya?” pintanya sambil cengengesan. Ketiga temanku seketika mendekat. “Kenapa?” seru Salwa dengan cepat. “Kenapa pulangnya harus bareng?” sambung Imla dengan nada yang tak kalah cepat. “Emang nggak bisa pulang sendiri?” timpal Arofah dengan tegas. Mereka bertiga menatap Arif dengan memicingkan mata dengan sorot mata penuh kecurigaan. Ah!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD