Suara itu keluar dari ustaz yang telah meresahkan jagad halusinasi.
Ternyata suaranya dari dekat serasa meneduhkan sinar matahari, menghalangi proses etiolase pada daun jadi menguning dan membuat dedaunan tetap hijau karena klorofil.
"Sa-sa-ya, Ustaz?" jawabku tergagap sambil menunjuk hidung ini.
Laki-laki yang tujuh tahun lebih tua dari usiaku itu mengangguk.
"Rayya 'kan namamu?" lanjutnya sambil memperhatikan sepeda yang dituntun Arif.
Aku mengangguk berkali-kali sebagai penegasan fakta itu.
Wah! Daebakk! Jjinja Daebak! Dalam sekali perkenalan dia langsung ingat namaku.
"Duh Gusti Allah, inikah tanda-tandanya?" haluku dalam hati.
Mode ke-ge-er-an auto tercipta dalam sanubari. Duh! Calon mantumu lo, Mak!
Tatapan mata ustaz ganteng itu beralih ke arah Arif.
"Itu temanmu 'kan, Ra?" lanjutnya sambil menunjuk ke arah Arif dengan gerakan kepala sementara tangannya menyeret kantong yang kemungkinan besar berisi sedekah barang daur ulang.
Aku mengangguk.
"Namanya siapa?" sambung Ustaz Ganteng itu sambil menatap lembut ke arah ... Arif.
Laki-laki sebaya yang masih memegangi sepedaku itu menatapku penuh tanya.
"Itu Ustaz baru di ngaji akselerasi," jelasku singkat.
Kemudian Arif menoleh ke arah Ustaz Ganteng itu.
"Saya... Arif.... Arif Hakim, Ustaz," jawabnya dengan wajah sungkan.
Ustaz Ganteng tersenyum.
Ooh! Andai dia tahu efek senyum manis itu bisa menerbangkan baju dari tali jemuran.
Ada rasa ces tersendiri dalam hati ini.
"Aku Hamzah, apa Kamu bisa membantuku?" balas Ustaz Ganteng sambil tersenyum lebar.
Oh... harusnya aku tadi pakai kaca mata hitam agar hati ini tak silau dengan lebar senyumnya.
Arif kembali menoleh ke arahku dengan tatapan penuh tanya.
"Laki-laki akan campur dengan laki-laki, perempuan juga dengan sesamanya, begitu kaidah pergaulan yang diterapkan di sini," jelasku.
Arif hanya menyahut dengan kata oh panjang.
Ya... kami berdua memang sejak kecil bersekolah di sekolah negeri yang jatah pelajaran agamanya tak sebanyak di pesantren, hanya dua jam dalam seminggu. Sedangkan, belajar agama di luar sekolah hanya sebatas belajar baca Al Quran di masjid ini. Jadi, hal-hal seperti itu awam bagi kami.
Arif sejenak bimbang, tapi berikutnya, dengan cekatan, temanku sejak kecil itu menurunkan standar sepeda.
Kemudian, kami berdua menurunkan muatan yang membebani alat transportasi gowes ini.
Mendadak, indra ke empat seperempatku bicara, mata hati ini mengatakan ada mata yang tengah menatapku dengan tajam.
Aku berbalik. Dan benar saja, salah satu teman dekatku yang sama-sama terdaftar menjadi fans Ustaz Hamzah tengah berdiri di serambi masjid.
Walaupun, serambi masjid jaraknya beberapa meter, tapi aku tahu pasti, tatapan Arofah setajam golok lebaran Idhul Adha.
“Hehehe ...,” tawaku dalam hati penuh kemenangan ketika teman sebayaku itu menunjuk ke arahku, kemudian mendekatkan kedua jarinya ke matanya. Mulutnya bergerak samar dan terbaca dengan jelas sebagai I watch you!
Aku menoleh dengan cepat untuk memantau apa yang ditunjuknya.
“Aah!” seruku dalam hati.
Hanya berjarak beberapa langkah di belakangku, Ustaz Hamzah sedang membantu Arif mengikat barang-barang bekas itu.
Sebuah niat usil mendadak melintas.
Aku segera mengambil handphone dan berselfi dengan mengangkat benda pipih itu tinggi-tinggi agar sosok ustaz ganteng itu in frame.
Segera, jari ini mengirim foto itu ke grup yang hanya beranggotakan kami berempat.
“Terkhusus untuk para ukhti-ukhti yang menjaga pos satu, dua dan tiga,” ketikku dengan menambahkan emoticon wajah warna kuning pamer gigi di ujung kalimatku.
Dengan puas, jari ini menekan tombol kirim.
Dari tempatku berdiri, aku melihat Arofah yang sedang berdiri di serambi sedang menatap layar sambil menjejak-jejakkan kaki.
Aku tertawa jahat dalam hati.
“Siapa suruh memilih tim pembagian sembako? Aku yang ditempatkan di tim daur ulang ternyata ketiban pulung karena ternyata bias kita begitu humble, mau menjadi bagian tim yang mengurusi sedekah barang daur ulang ini,” ujarku bangga dalam hati.
“Rayya!” seru suara yang membuat detak jantung ini pengen resign sejenak.
Aku berbalik dengan cepat.
“Ya, Ustaz,” jawabku lantang.
Laki-laki yang mengenakan celana panjang dengan kaos warna putih itu menatap penuh tanya.
Aku tersenyum lebar, berharap senyumku ini mendadak mengandung muatan zat pemanis alami yang memikat.
“Em ... em ... Ustaz, saya izin mengantar snack ini ya?” ucapku sambil menunjuk tumpukan kotak kardus putih yang terbungkus dengan plastik putih yang berada di keranjang sepeda bagian depan.
“Ini pesanan masjid untuk kegiatan hari ini,” imbuhku sebelum ditanya.
Ustaz Hamzah mengangguk.
“Cepat ke sini ya!” serunya datar.
Ah ...! aku berteriak dalam hati, andai kalimat perintah itu bermakna ia ingin aku ada di dekatnya.
Hem sayang sekali ... izin sejenak itu artinya aku harus segera kembali dan bergabung dengan tim daur ulang putri karena makin siang barang bekas yang datang makin menumpuk.
Bahu ini sedikit turun menyadari kenyataan itu.
Bergegas aku mengangkat bungkusan snack itu dan mengitari halaman depan masjid untuk menyerahkan titipan Emak pada tim penyedia konsumsi yang ada di ruang masjid yang diperuntukkan untuk putri.
“Ssst! Ssst!” Suara itu terdengar begitu aku keluar dari ruang konsumsi masjid itu.
Aku menoleh dan melihat teman dekatku Salwa sedang melongokkan kepala dari ruang yang digunakan untuk menyortir baju layak pakai.
“Apa?” jawabku tanpa mendekat.
Gadis yang ditempatkan di tim yang menerima sumbangan baju dari ukhti-ukhti yang jilbab dan gamisnya udah overdosis itu menunjuk ke arahku.
“Ingat! Persaingan dilakukan secara sehat, walaupun Kamu se-tim dengannya, nggak boleh curang!” ancamnya halus.
Aku terkekeh dalam hati.
Ternyata foto dengan latar belakang Ustaz Hamzah mempengaruhi Salwa yang rumahnya kami sebut sebagai pos tiga.
Aku hanya mengangguk pelan tapi meninggalkan senyum rubah berekor selusin.
“Jika kami berdua ternyata dekat, apa itu salahku?” sahut dalam hati kemudian terkekeh panjang ... dalam hati juga.
Aku bergegas berjalan mengitari bagian depan masjid agar segera sampai di halaman masjid dengan tumpukan kardus dan plastik.
“Rayya!”
Panggilan itu membuatku mendadak mengerem kaki.
Aku menoleh dan melihat salah satu dari fans Ustaz Hamzah yang adalah anggota grup sedang berjalan mendekat.
“Apa?” jawabku tanpa suara dengan sedikit mengangkat dagu.
“Kamu nggak lupa ‘kan dengan asas fair, jujur dan berimbang yang kita berempat telah ikrarkan?” ucapnya dengan tegas.
Aku diam sejenak kemudian dengan usil sengaja menggelengkan kepala.
Seketika gadis yang rumahnya kami sebut dengan pos dua itu membelalakkan mata, melancarkan ancaman.
Dengan pura-pura sedih, aku mengubah gelengan kepala menjadi anggukan.
“Hih!” sahutnya geram, teman dekatku itu dengan wajahnya yang masih geram memperagakan gerakan sedang melumat sesuatu dengan kedua telapak tangannya.
Aku tersenyum dengan ekspresi wajah semenjengkelkan mungkin, kemudian bergegas meninggalkan Imla yang kembali dengan tumpukan buku-buku bekasnya.
Ah ... ternyata foto dengan latar belakang Ustaz Hamzah itu telah menggetarkan hati para fansnya, membangkitkan jiwa-jiwa insecure mereka.
“Rayya!” panggil Ustaz Hamzah begitu aku tiba di tengah tumpukan kardus dan botol-botol air mineral yang bertumpuk di dalam plastik besar.
Aku menoleh dengan tumpukan beberapa kardus yang terangkat di tangan.
“Kamu dan Arif ...,” ucap Ustaz Hamzah menggantung.
"Kenapa?" ucapku dalam hati.