Gugur Bunga

1909 Words
Suasana di ruang inap nenek Tari terasa begitu menegangkan. Tari yang sudah keluar mencari dokter,membuat Mayang sedikit kebingungan karena ia tidak tahu harus melakukan apa. Sementara, tubuh Nenek yang masih terus mengejang, membuat Mayang semakin panik dan takut.      “Nek, Nenek?” panggil Mayang khawatir. Mayang tidak melepaskan genggamannya pada tangan Nenek. Bibirnya pun tak henti-hentinya merapalkan doa-doa dalam munajatnya.    Dokter datang bersama dengan Tari yang mengekor di belakang sang dokter. Bersamaan dengan itu, tubuh Nenek pun berhenti mengejang. Tari yang masih ngos-ngosan setelah berlarian memanggil dokter, akhirnya ia bisa bernapas dengan lega.  Tari mempersilahkan dokter untuk memeriksa neneknya. Ia pun hanya berdiri di samping dokter. Sementara, Mayang berdiri di sisi Nenek yang bersebrangan dengan posisi Tari.    Dokter pun memeriksa dengan cekatan. Namun, tak lama, terdengar suara mesin EKG yang berbunyi dengan lama. Layar monitor pun hanya menunjukkan  garis lurus.    Tuttttttt.    Tari dan Mayang pun saling tatap. Tidak bisa berkata-kata lagi.    Dokter pun memeriksa kondisi Nenek. Ia menghembuskan napas berat, setelah dirasa nadi Nenek sudah berhenti berdenyut. Mau tidak mau, ia harus memberitahu kabar duka ini pada keluarga pasiennya. “Mohon maaf, kami sudah mengusahakan yang terbaik, tapi Tuhan berkehendak lain. Kami tidak bisa menyelamatkan nenek Anda. Nenek Anda sudah berpulang. Pasien meninggal dunia.”    Deg!    Pertahanan Tari runtuh seketika. Tubuh Tari merosot ke bawah, dan Tari terduduk tak berdaya setelah mendengar peryataan dari dokter.    “Gak mungkin! Nenek Tari gak mungkin meninggal!!! Siapapun tolong bilang, kalau ini cuman mimpi. Tolong bangunkan Tari dari mimpi buruk ini. Tolong!!!” Tari berteriak histeris.    Mayang menghampiri Tari dan langsung memeluk Tari dengan erat. Memberikan kekuatan untuk Tari agar bisa tegar menerima kenyataan pahit ini. “Sabar, Sayang. Tante tahu Tari kuat. Ikhlasin Nenek ya, Nak. Nenek sudah tenang di sana. Kasihan Nenek kalau Tari seperti ini.” Mayang pun ikut menangis. Ia membelai pelan rambut panjang Tari.    Tari pun membalas pelukan Mayang tak kalah erat. Kali ini, ia benar-benar rapuh. Tari mencari sedikit kekuatan dari pelukan yang Mayang berikan. Dengan isak tangis yang belum mereda, Tari membiarkan tubuhnya meluruh di pelukan Mayang. “Tante, Tari sekarang sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Penyemangat hidup Tari sudah pergi. Dari kecil, Tari tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua Tari. Cuman Nenek yang Tari punya di dunia ini, tapi kenapa? Kenapa Nenek ninggalin Tari secepat ini? Nenek pergi di saat Tari belum bisa bahagiain Nenek. Di masa hidupnya, Nenek belum pernah merasakan bahagia. Tari salah apa, Tante? Kenapa Tuhan tidak memberikan Tari kesempatan untuk bisa bahagiain Nenek? Apa Tari cucu durhaka? Apa Tari selalu buat Nenek kecewa? Kenapa, Tante, kenapa?”    Isak Tari semakin menjadi. Meski ia mencoba untuk tegar, tapi nyatanya ia tidak setegar itu. Ia tetap rapuh. Kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidup, itu tidaklah mudah. Setegar apapun kita, tetap saja rapuh, jika itu menyangkut seseorang yang teramat berharga.    Mayang berusaha menenangkan Tari. Ia melepas pelukannya, dan beralih menangkup wajah lusuh gadis itu. Wajah Tari memucat, matanya pun begitu sendu, seperti tidak ada gairah hidup dari tatapan matanya.    Mayang menatap Tari lekat-lekat, mengisyaratkan seolah semuanya akan baik-baik saja. Lagi pula, ia juga sudah berjanji pada Nenek untuk menjaga dan menjamin masa depan Tari. Mayang akan memenuhi janjinya. Ia akan menganggap Tari seperti anak sendiri. “Tari, dengerin Tante ya, Nak. Bukannya Tuhan tidak sayang sama Tari. Tuhan sayang sama Tari. Sayang banget malah.  Tapi, Tuhan lebih sayang sama Nenek. Tuhan mengambil Nenek dari Tari, karena Tuhan tidak ingin Nenek menderita lebih lama lagi di dunia ini. Tuhan ingin Nenek segera sembuh, dan tidak merasakan sakit lagi. Tante juga yakin sekali, kalau Nenek sudah sangat bahagia di dunia karena Nenek memiliki cucu sebaik dan sepatuh Tari. Nenek akan lebih bahagia lagi, kalau melihat Tari tersenyum. Tari gak boleh sedih lagi. Ayo, mana senyumnya?”    Benar yang Mayang katakan. Nenek pasti akan sedih jika melihat Tari seperti ini. Tari pun berusaha tersenyum. Dihapusnya air mata yang masih tersisa di pipinya. “Terima kasih, Tante. Tante Mayang yang selalu ada buat Tari. Tari janji, Tari gak akan menangisi kepergian Nenek lagi. Biar Nenek bisa tenang di sana.”    Mayang pun ikut tersenyum. Ia kemudian mengajak Tari untuk bangkit berdiri. “Gadis kuat. Ayo, kita urus jenazah Nenek untuk segera dimakamkan.” ***     Di pemakaman umum tempat nenek Tari dimakamkan, Mayang masih setia berada di samping Tari. Jenazah Nenek pun diturunkan dari keranda untuk segera di kebumikan. Suara azan yang menggema di dalam liang lahat, membuat Tari tak kuasa menahan tangisnya. Ia langsung memeluk Mayang untuk mencari kekuatan di sana.    Hari ini, hari terakhir di mana Tari bisa melihat neneknya untuk yang terakhir kali. Setelahnya, ia akan menghadapi hari-hari sulitnya sendirian. Tidak ada lagi canda tawa bersama Nenek, tidak ada lagi petuah-petuah bijak yang akan menjadi semangat  dan obat lelah Tari dalam menjalani lika-liku kehidupan ini.    Tumpuk demi tumuk tanah kuburan yang basah, menutup jasad Nenek yang terbungkus kain putih sebanyak lima lapis itu. Tari mencoba kuat untuk menyaksikan pemakaman neneknya.    Setelah beberapa lama, akhirnya lubang galian itu membentuk sebuah gundukan. Mayang menuntun Tari mendekat untuk menabur bunga di atasnya.    Aroma tanah kuburan yang masih basah, bersatu padu dengan cairan bening yang menetes dari kelopak mata Tari, menjadi saksi betapa rapuhnya gadis itu sekarang. Bahkan, alam semesta pun turut menangis, menghantarkan kepergian Nenek ke alam yang abadi.   Air langit mengguyur pemakaman. Hujan yang turun begitu deras, meninggalkan jejak-jejak kesedihan yang mendalam. Tari yang masih membeku di tempatnya, tak sedikit pun bergembing. Sama sekali tidak terganggu dinginnya hujan yang membuat tubuhnya menggigil. Tari membiarkan tubuhnya diguyur hujan deras yang melanda. Tari masih ingin lebih lama berada di tempat peristirahatan terakhir sang Nenek.    Sementara, orang-orang yang turut menghantar kepergian Nenek, langsung berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Di sana hanya tersisa Tari, Mayang dan seorang sopir yang bekerja untuk Mayang. Dengan susah payah, Mayang mencoba untuk membujuk Tari agar mau diajak pulang.    Mayang merangkul tubuh Tari. “Nak, ayo pulang, Sayang. Tubuh kamu basah kuyub, nanti kamu masuk angin,” bujuk Mayang.    Tari menggeleng pelan. “Tante duluan saja. Tari masih mau di sini. Baju Tante Mayang juga basah. Tante pulang ya? Tari nanti bisa pulang sendiri.” Tari menolak ajakan Mayang untuk pulang. Dirinya masih ingin di sini lebih lama lagi.    “Ya sudah, kalau gitu, Tante juga akan nunggu di sini sampai kamu mau pulang.” Mayang tidak punya pilihan lain. Meski tubuhnya sudah menggigil kedinginan, tapi Mayang tidak bisa meninggalkan Tari di sini sendirian. Apalagi, Tari adalah anak perempuan. Sangat bahaya jika Tari berada di tempat seperti ini sendirian, dengan kondisi mental yang sangat rapuh.    “Jangan, nanti Tante sakit. Tante pulang ya? tubuh Tante Mayang basah kuyub, nanti Tante masuk angin.”    Hanya sebuah gelengan yang mayang berikan.     Tari pun menghela napas beratnya. “Ya sudah, Tari pulang.” Pada akhirnya Tari mengalah. Ia tidak mau kalau sampai perempuan yang sudah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri, menjadi sakit karena dirinya.    Mayang tersenyum. “Ayo kita pulang,” ajak Mayang. Mereka kemudian masuk ke dalam mobil.    Di dalam mobil, suasana begitu hening. Hanya suara hujan yang terdengar begitu gemuruh.    “Tari, kamu pulang ke rumah Tante saja ya, Nak? Biar kamu ada teman dan gak sendirian. Almarhumah Nenek juga kan udah titipin kamu sama Tante, jadi sekarang, Tante yang berkewajiban untuk menjaga kamu,” ujar Mayang mengakhiri kebisuan yang tercipta.    “Maaf, Tante. Lain kali ya? Tari masih ingin mengenang momen kebersamaan Tari sama Nenek di rumah. Nanti Tari pasti akan tinggal di tempat Tante, tapi tidak untuk saat ini. tolong beri waktu untuk Tari berdamai dengan kedaan ini.” Tari menolak tegas permintaan Mayang. Bukannya dia tidak mau tinggal bersama Mayang, tapi dia masih belum siap meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat mengukir kenangan indah bersma neneknya. Lagi pula, Tari juga sudah terlalu sering merepotkan Mayang. Jadi, ia merasa sedikit tak enak kalau harus merepotkan Mayang lagi dan lagi. ***    Mobil sudah tiba di rumah duka. Rumah inilah yang menjadi tempat Almarhumah Nenek dan Tari berlindung dari teriknya matahari dan dinginnya hujan. Meski begitu sederhana, tapi rumah ini mampu memberi kenyamanan untuk mereka berdua.    Tari dan Mayang turun. “Tante Mayang mau Tari buatin teh hangat?” tawar Tari saat mereka sudah berada di depan pintu.    “Gak usah Repot-repot, Sayang. Tante mau langsung balik aja. Lain kali ya, Tante berkunjung lagi.” Sebenarnya, mayang masih ingin menemani tari lebih lama lagi. Tapi, mengingat bajunya yang basah dan tubuhnya yang perlu dibersihkan, membuat Mayang mengurungkan niatnya.    “Ya sudah, Tante hati-hati ya, di jalan.” Tari merih tangan Mayang dan menciumnya dengan tulus.   Mayang pun meraih kepala Tari, lalu mendaratkan kecupan lembut di kening gadis itu. “Tante balik dulu ya, Nak. Assalamualaikum.”    “Wa’alaikumussalam. Hati-hati, Tante.” Tari menatap kepergian Mayang dengan senyum yang tulus.    Baru beberapa langkah kakinya terayun, Mayang kembali menghampiri Tari. Terlihat, Tari yang masih berdiri di ambang pintu, menatap Mayang dengan alis yang bertaut. “Kenapa, Tante? Ada yang ketinggalan?” tanya Tari spontan, saat Mayang sudah berada di hadapannya.    Mayang menggeleng pelan. Ia meraih kedua tangan Tari dan menggenggamnya erat. “Tari gak mau ikut pulang sama Tante, Sayang? Tante gak tega kalau Tari sendirian. Ikut ke rumah Tante, yuk! Tinggal sama keluarga Tante Mayang.” Jujur saja, hati Mayang terasa begitu berat meninggalkan Tari sendirian. Ingin sekali ia memboyong Tari ikut bersamanya.    Dengan senyum tulusnya, Tari meyakinkan Mayang. “Tante, Tari janji, nanti Tari pasti akan ikut sama Tante. Untuk saat ini, Tari masih ingin di sini dulu. Kasih waktu tari 3 bulan untuk berdamai dengan keadaan ini, setelah itu, Tari akan ikutin mau Tante buat tinggal sama Tante.  Beri Tari waktu ya? Tante gak perlu khawatir, Tari pasti baik-baik aja.  Kalau Tante rindu sama Tari, Tante bisa mampir ke sini kapan saja. Pintu rumah Tari akan selalu terbuka untuk Tante. Tari juga janji, kalau terjadi sesuatu sama Tari, pasti Tari langsung kabarin tante Mayang.”    Mayang pun mengangguk. Ia tidak boleh egois. Mayang tidak bisa memaksakan kehendaknya pada Tari. Tari sudah dewasa, Tari tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Sepertinya, penyembuh luka terbaik adalah waktu. Mayang akan memberi waktu pada Tari untuk berdamai dengan kenyataan pahit ini. Tari butuh waktu untuk menyembuhkan luka-luka di hatinya. Mayang pun kembali pamit dan masuk ke mobil. Ia meninggalkan Tari sendirian meski hatinya terasa berat.    Setelah mobil Mayang tak terlihat lagi, Tari pun bergegas masuk ke dalam rumah.    Seusai menapakkan kaki di ruang tamu, seketika bayangan neneknya langsung memutar di pikiran Tari. Biasanya, sang nenek akan selalu menunggu kepulangannya di kursi ruang tamu. Nenek akan menyambut Tari setelah pulang berkuliah dengan senyumnya yang menenangkan.    Tari memejamkan mata guna menghalau air matanya agar tidak keluar. Ia sudah berjanji untuk tidak menangisi kepergian Nenek lagi. Tapi dirinya tidak yakin, apakah bisa melewati semua ini sendirian? Rasanya, ini hanyalah sebuah mimpi buruk bagi Tari. Tari masih belum percaya, jika neneknya sudah pergi secepat ini.     Perlahan, tari membuka matanya kembali. Ia memantapkan hati untuk melangkah ke dalam.    Saat melewati kamar neneknya yang terbuka, bayangan akan neneknya kembali hadir. Biasanya, nenek akan tidur dengan lelap di kamar ini. kamar yang menjadi tempratnya melepas penat, kamar yang selalu dibersihkan dan dijaganya. Meski kamarnya tidak mewah dan sangat sederhana, tapi nenek selalu rajin merawatnya.    Tari menghembuskan napas berat. Ia pun menutup pintu kamar itu, dan segera beranjak untuk membersihkan dirinya yang basah kuyup.    Seusai bersih-bersih dan berganti pakaian, Tari langsung merebahkan diri di kamarnya. Tangisnya kembali pecah setelah bayangan Nenek menghantui pikirannya.    Ternyata ia tidak mampu. Ia tidak sanggup memegang janjinya untuk tidak menangisi kepergian neneknya lagi. Karena pada kenyataannya, Tari benar-benar rapuh.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD