Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
===
Pagi itu sepasang ayah dan anak perempuan sedang sarapan bersama seperti biasanya. Mereka memang hanya tinggal berdua karena sang ibu telah lebih dulu wafat. Sang ayah memerhatikan putrinya yang tidak fokus dengan makanannya. Putri semata wayang itu menatap ke arah teras samping kolam renang sambil sesekali tersenyum sendiri. Sang ayah pun jadi ikut geli sendiri melihat tingkah aneh putrinya.
“Yasmin?”
Namun putrinya yang bernama Yasmin itu tidak merespon panggilannya. Kemudian beliau mencolek bahu anaknya barulah ia menoleh.
“Eh? Iya, kenapa, Pa?”
“Ck, kamu ini, pagi-pagi udah melamun. Gak boleh anak gadis pagi—pagi melamun begitu. Kenapa? Mikirin apa? Masih mikirin lelaki yang jadi pangeran penolongmu malam itu?” tebak sang papa yang bernama Pak Wijaya dengan tepat sasaran.
Tak ayal tebakan tepat Pak Wijaya membuat wajah putih Yasmin bersemu merah. Ia memang masih mengingat sosok Sakha yang dengan gentle menolong bahkan mengantarkannya pulang hingga tiba di rumah dengan selamat. Ah, ia berdoa agar punya kesempatan bertemu lagi dengan Sakha. Yasmin merasa ia telah jatuh cinta pada Sakha sejak pandangan pertama. Lalu ditambah sikap Sakha yang baik dan begitu menghargai dan menghormati seorang perempuan.
“Apa perlu Papa cari tahu tentang Sakha?” goda Pak Wijaya yang tahu putrinya sedang terserang virus merah jambu alias jatuh cinta. Lelaki yang berusia lebih dari setengah abad dan rambutnya sudah banyak memutih itu sangat mengenal watak putrinya. Mereka berdua memang sangat lengket.
“Ah, Papa!” rajuk Yasmin manja.
Pak Wijaya terkekeh geli melihat putrinya yang merajuk. Itu berarti Yasmin setuju dengan usulnya tadi.
“Ya, ya. Itu berarti kamu setuju sama usul papa tadi. Tapi, papa mau kamu jangan terlalu berharap ya, Yas.”
“Emang kenapa, Pa?” tanya Yasmin heran.
“Ya, kalau masih lajang gak apa-apa, papa takutnya dia malah udah punya anak istri terus kamu patah hati, deh.”
Deg!
Ah, kenapa aku gak berpikir sampai ke arah sana, ya? Batin Yasmin. Ia terlalu baper dengan perhatian dan pertolongan yang diberikan Sakha.
“Tuh, kan! Tadi wajahnya cerah sumringah, sekarang papa pahitin begitu langsung mendung deh.”
Yasmin menatap wajah papanya dengan ekspresi muram.
“Udah kamu tenang aja, kalau jodoh gak akan ke mana kok. Takdir pasti akan menyatukan kalian kalau Allah sudah menuliskan kalian berjodoh di Lauh Mahfuz.”
Yasmin hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan lesu. “Tapi kan kita juga harus ikhtiar, Pa.”
Pak Wijaya yang baru menyesap teh manis hangatnya tersenyum lalu mengangguk.
“Ya, kamu benar. Anak papa ini emang pintar! Oh ya, Papa nanti mau ketemu klien penting. Hmm, pekan depan seperti biasa kamu jangan lupa kasih donasi rutin ke panti asuhan dan pesantren seperti biasanya, ya,” pinta Pak Wijaya pada Yasmin.
“Siap, Bosku!” ucap Yasmin sambil bersikap hormat pada papanya.
Pak Wijaya adalah seorang direktur yang bekerja pada sebuah perusahaan tambang sedangkan Yasmin sejak lulus kuliahnya di Malaysia, ia memilih untuk berbisnis restoran. Kini sudah dua restoran miliknya sukses digemari warga ibu kota. Selain itu, ia juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Kekurangan Yasmin hanya satu yaitu ia belum menemukan lelaki yang bisa membuatnya ingin menjadi seorang makmum dalam rumah tangga atau menjadi seorang istri. Hingga pertemuannya dengan Sakha malam itu menggetarkan hatinya.
Sejak ibu Yasmin wafat, Pak Wijaya lebih memilih menghabiskan hidupnya dengan bekerja dan juga merawat Yasmin. Yasmin adalah harta beliau yang paling berharga, permata hatinya. Beliau akan melakukan apa saja untuk membahagiakan sang putri. Soal perkara mencari tahu Sakha bukan hal sulit baginya. Beliau bisa dengan mudah meminta orang suruhannya untuk menyelidiki identitas Sakha.
===
Kini Sakha dan Divya telah resmi menikah. Pesta sederhana seusai akad tadi telah digelar dan hanya mengundang keluarga dan teman dekat dari kedua pihak. Alvin, Reifan dan istrinya Meira juga turut hadir memenuhi undangan dari Sakha. Abah Ammar, Ummi Fatimah, Ibu Retno dan juga Ibu Melanie terlihat bahagia. Bahkan para ibu itu sempat menitikkan air mata haru karena merasa bahagia. Bu Retno bahagia sang putri mau menuruti keinginannya untuk menikah dengan Sakha dan Bu Melanie bahagia karena akhirnya sang putra bisa menemukan pelabuhan hati.
Pesta digelar di rumah Sakha dan Divya. Sebelum menikah, Sakha memang sudah membangun sebuah rumah yang luas dan besar untuk ditempati oleh keluarganya. Ia berencana akan memiliki banyak anak karena ia sudah merasakan betapa kesepiannya menjadi seorang anak tunggal. Kini, pesta telah usai dan para tamu sudah pulang.
Divya telah berada di kamar pengantinnya. Ia duduk di tepi ranjang dengan gaun sederhananya masih terlihat gugup. Ia sendiri di kamar karena Sakha sedang berbicara dengan Abah Ammar. Divya tak percaya kini dirinya telah menjadi istri dari seorang Muhammad Sakha Alvarendra. Istri dari seorang CEO. Air mata Divya menitik di sudut matanya. Ia jadi teringat momen pertama kali usai menikah dengan Agra Mahesa. Rasa bersalah kembali menyelimuti Divya.
“Mas Agra, maaf. Maaf aku menikah lagi dengan lelaki lain,” ucap Divya lirih.
Tak lama, terdengar suara ketukan pintu. Divya menoleh dan ia langsung menghapus air matanya dengan cepat. Ia tak ingin terlihat bersedih saat ia harusnya terlihat bahagia.
“Assalamu’alaikum, Divya ini Ummi. Boleh ummi masuk?” tanya Ummi Fatimah.
“Wa’alaikumussalam, Ummi. Iya tunggu sebentar.”
Divya melangkahkan kakinya lalu membuka pintu kamar. Divya mempersilakan ummi masuk dan duduk di sofa panjang yang ada di sudut kamar.
“Alhamdulillah, kamu dan Sakha sudah menikah sekarang. Abah dan ummi senang sekali kalian bisa bersatu dalam pernikahan.”
Divya hanya bisa tersenyum sambil mengangguk. “Iya, Ummi.”
“Ummi tahu, mungkin kamu belum sepenuhnya menerima pernikahan ini. Tapi, berusahalah untuk membangun cinta dengan Sakha karena Allah ya, Divya. Ummi yakin Sakha lelaki yang tepat buat kamu, pun begitu kamu sebaliknya. Insya Allah kalian bisa saling melengkapi.” Ummi Fatimah mengelus pundak keponakannya dengan sayang. Ia merasa perlu berbicara berdua saja dengan Divya agar keponakannya itu perlahan menerima kehadiran Sakha dalam hidupnya. Maka dari itu, ia menyambangi Divya di kamar pengantin selagi Abah Ammar bicara empat mata juga dengan Sakha.
“Ummi harap kamu bisa menjalankan kewajiban kamu sebagai istri dengan baik ya, Div. Sekarang Sakha wajib kamu layani dengan baik, dia suami kamu yang wajib kamu taati perintahnya selama itu tidak bertentangan dengan perintah Allah SWT.”
“Iya, Ummi. Divya paham.”
“Alhamdulillah, ummi lega dengarnya. Semoga kalian cepat diberi keturunan yang shalih shalihah dan qurrota’ayun oleh Allah, ya.”
“Aamiin. Makasih doanya Ummi.”
===
Abah Ammar memberi wejangan pada Sakha agar sabar menghadapi Divya. Lelaki dan perempuan tidak ada yang sempurna. Oleh karena itu, pernikahan menyempurnakan keduanya. Saling melengkapi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selain itu, dalam berumah tangga juga diperlukan hati yang lapang, sabar dan penuh maaf dalam menghadapi pasangan kita.
“Kalau kamu merasa gak kuat dan ingin menyerah, Abah minta kamu banyak istighfar, mohon ampun dan minta kekuatan sama Allah. Ingat kamu menikah ini karena untuk ibadah pada Allah. Jadi, apa pun yang terjadi libatkanlah Allah.”
Sakha termenung di depan pintu kamarnya dengan Divya. Kini, ia tak akan sendiri lagi. Sudah ada Divya, sang kekasih hati yang akan menjadi teman hidupnya, tempatnya pulang dan melepas penat usai seharian berkutat di kantor.
Saat Sakha memegang kenop pintu, pintu sudah lebih dulu terbuka, menampilkan sosok Ummi Fatimah yang hendak ke luar.
“Eh, Ummi.”
Ummi tersenyum lalu menutup pintu kamar Sakha. “Udah ngobrol sama Abahnya, Kha?”
“Udah, Mi.”
“Alhamdulillah. Tadi ummi juga ngobrol sama Divya. Kamu yang sabar ya hadapin Divya.”
“Insya Allah, Ummi.”
“Ya sudah kalau begitu ummi sama abah pamit ya. Selamat menikmati malam pengantin baru, jangan lupa sunnah-sunnahnya.”
Tadinya Sakha ingin mengantar abah dan ummi hingga teras depan tapi ummi melarang. Beliau meminta Sakha untuk menemui Divya di kamar dan saling bicara dari hati ke hati sebagai pasangan baru.
Saat Sakha memasuki kamar, Divya masih duduk di sofa. Keduanya saling berpandangan dan melempar senyum tipis. Sakha dengan mantap melangkahkan kakinya mendekati Divya dan duduk di sebelah perempuan yang sudah sah menjadi istrinya itu.
“Assalamu’alaikum, Divya.”
“Wa’alaikumussalam, Mas Sakha,” ucap Divya kikuk.
Suasana canggung menyelimuti keduanya. Sejak sah menjadi suami istri, baru dua kali mereka bersentuhan secara fisik. Pertama, saat Divya mencium tangan Sakha usai akad nikah. Kedua, saat Sakha meletakkan tangannya di atas ubun-ubun Divya lalu membacakan doa agar terhindar dari keburukan istrinya itu.
Sakha, berinisiatif mengulurkan tangannya hendak mengenggam tangan Divya. Divya kaget, namun ia tak berusaha melepaskan genggaman suaminya. Divya menoleh ke arah Sakha. Ia mendapati wajah tampan suaminya tengah tersenyum, menambah aura ketampan itu berkali-kali lipat.
“Aku tahu, Agra masih memenuhi hati kamu, Div,” ucap Sakha.
Divya hanya bisa menatap tanpa merespon. Ia menunggu apa lagi yang akan dikatakan oleh suaminya.
“Tapi, kita sekarang sudah menikah dan aku suamimu dan kamu istriku. Aku harap, kita bisa saling bekerja sama dalam meraih ridha Allah dalam pernikahan ini. Aku paham bukan hal yang mudah melupakan Agra, aku juga yakin kamu masih mencintainya sampai sekarang.” Sebenarnya Sakha enggan membahas lelaki lain saat hanya berdua dengan Divya, meski itu teman baiknya sendiri. Tapi, ia merasa perlu untuk membahasnya sekarang.
Divya mulai tak kuasa menahan air matanya.
“Tapi, izinkan aku masuk di hatimu dan membuat kamu cinta sama aku sebagai suamimu, Div.”
Divya semakin merasa bersalah. Ia menangis sesenggukan. Rasanya, ia tak pantas menjadi istri Sakha. Sakha pantas mendapatkan perempuan yang mencintainya, bukan perempuan seperti dirinya.
Sakha melepaskan genggaman tangannya lalu beralih menangkup wajah istrinya yang basah dengan kedua tangannya.
“Jangan menangis. Aku gak mau malam pengantin kita dihiasi air mata kesedihan. Cukup berikan aku kesempatan untuk membuat kamu cinta sama aku.” Sakha dengan lembut menghapus air mata yang meleleh di wajah Divya. Sakha memberanikan diri mendekatkan wajah mereka lalu mengecup kening Divya lama sambil memejamkan mata, meresapi rasa yang membuncah di hatinya.
Divya pun ikut memejamkan mata sambil berdoa di hatinya, “ya Allah, tumbuhkanlah cinta di hatiku untuk Mas Sakha, aamiin.”