Malam Pertama

1739 Words
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Malam saat mereka sudah resmi menyandang sebagai suami istri ini terasa begitu syahdu. Rembulan nampak malu-malu mengintip di balik celah awan gelap yang menghiasi malam. Divya begitu damai menyaksikan pemandangan langit dari balkon kamar barunya ini. Ia menikmati suasana malam sambil merenungkan semua kejadian yang dialaminya hingga detik ini. Statusnya kini bukan seorang janda lagi. Ia sudah resmi menyandang status sebagai istri Sakha yang sah di mata hukum dan agama. Ia telah menjadi Nyonya Sakha, seorang CEO dari perusahaan besar. Surga dan nerakanya kini ada di tangan Sakha. Sakha tidak meninggalkan Divya sendiri di malam pengantin mereka. Ia sedang berada di ruang kerjanya karena ada sedikit pekerjaan yang menuntut untuk diselesaikan hari ini juga sedangkan Bu Retno dan Bu Melanie menempati kamar di lantai bawah. Hari ini kedua ibu itu menginap dan rencananya besok mereka akan pulang ke rumah masing-masing. Divya kembali memandang sekeliling rumah Sakha yang begitu luas, besar dan mewah. Ia sebelumnya tak menyangka jika akan menjadi nyonya di rumah sebesar ini. Divya memandang ke bawah. Ada kolam renang, gazebo untuk bersantai dan juga taman yang dipenuhi tanaman hias. Yang ia tahu, Sakha memang sudah menyiapkan semua ini jauh sebelum mereka menikah. Ia mempekerjakan asisten rumah tangga untuk merawat rumah besarnya ini agar selalu rapi dan bersih meski jarang ia tempati. Divya jadi membayangkan keadaan kini dengan keadaannya dulu saat menjadi istri Agra. Usai akad nikah, mereka langsung menempati hotel sebelum keesokannya berbulan madu. Memang, Agra tak sekaya Sakha. Ia hanya berasal dari keluarga yang sederhana, sama seperti Divya. Agra saat itu hanya menjabat sebagai karyawan biasa di sebuah perusahaan belum memiliki rumah. Jadi, mereka memutuskan untuk mengontrak rumah terlebih dahulu sambil menabung sedikit demi sedikit untuk membeli rumah nantinya. Meski begitu, Divya tetap merasa bahagia hidup sederhana dengan Agra. Mereka hidup bersama, saling mencintai. Hingga akhirnya Divya mengandung buah cintanya yang pertama. Ia dan Agra merasa sangat bersyukur dan terharu karena dipercaya oleh Allah untuk memiliki seorang anak. Namun, ujian Allah selanjutnya menimpa mereka. Bukan karena Allah tidak sayang, justru ujian Allah timpakan pada mereka karena Allah sayang. Ujian yang datang sebagai tanda cinta Allah pada hamba-Nya. Bukankah Nabi Muhammad SAW, kekasih-Nya pun diuji demikian berat saat itu? Seperti yang tertera pada suatu hadits: “Jika Allah mencintai suatu kaum, maka mereka akan diuji.” (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, 3/302). Jadi, Allah mengambil Agra dan calon anak mereka dari Divya, bukan karena Allah tak sayang dan cinta pada Divya. Justru karena Allah cinta pada Divya. Allah pasti memiliki rencana baik dan hikmah dibalik itu semua. Waktu yang akan menyingkap semua hikmah itu. Hanya kadang, manusianya saja yang tidak sabar. Divya kembali memandang langit malam sambil mendesah pelan. Ini adalah malam pengantinnya dengan Sakha. Apa yang harus aku lakukan ya Allah? Jujur aku belum siap jika Mas Sakha meminta haknya malam ini. Bukan aku tak mau melaksanakan kewajiban sebagai istri. Tapi, aku masih merasa asing. Kalau aku menolaknya dulu, apa Mas Sakha akan marah? Bagaimana kalau Mas Sakha marah dan memaksa? Ah, tidak! Mas Sakha pasti akan mengerti. Ia bukan tipe lelaki pemaksa. Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di kepala Divya. Namun, sisi batinnya mengingatkan jika sudah kewajibannya sebagai istri melayani Sakha dengan baik. Kamu perempuan yang paham agama, Divya. Ingat pesan Ummi Fatimah. Jangan sampai kamu melalaikan kewajiban kamu sebagai seorang istri, surga dan neraka kamu ada di tangan Sakha sekarang. Bukan, bukan aku gak mau melaksanakan kewajibanku sebagai istri. Hanya saja aku masih butuh waktu. Ya, aku masih butuh waktu untuk mengenal suamiku. Butuh waktu? Sampai kapan? Batin Divya masih asik berperang hingga ia tak menyadari jika suaminya sudah kembali ke kamar. Sakha memandang punggung rapuh istrinya dari pintu balkon kamarnya. Apa yang sedang dilamunkan Divya hingga tak menyadari kedatangannya, batin Sakha. Sakha melangkahkan kakinya dengan mantap menuju sang istri. Ia memegang pagar pembatas balkon lalu menatap Divya. “Div.” Divya masih tak bergeming. “Divya,” panggil Sakha sambil menyentuh bahu sang istri. Divya langsung terkesiap menyadari Sakha sudah berada di sampingnya. “Astaghfirullah, Ya Allah, Mas. Kamu bikin aku kaget aja.” Kapan Mas Sakha masuk? Kenapa aku gak dengar suara pintu terbuka? Ah, ini pasti karena aku asik melamun, batin Divya. “Eh, iya, Mas.” “Kamu ngelamunin apa?” tanya Sakha penasaran. “Kerjaan Mas Sakha udah selesai?” Divya malah menjawab pertanyaan Sakha dengan pertanyaan lagi. Tak mungkin ia menceritakan apa yang menjadi pergolakan batinnya saat ini. Mau ditaruh di mana mukanya nanti? Maka ia mengalihkan pertanyaan Sakha dengan pertanyaan lain. Sakha tersenyum tipis. “Alhamdulillah udah. Maaf ya, tadi itu urgent banget.” “Gak apa-apa, Mas. Aku paham kok. Mas kan pimpinan perusahaan, jadi pasti tanggung jawab Mas itu besar.” Kini keduanya terdiam dan suasana malam yang canggung kembali menyelimuti mereka berdua. Sebagai seorang suami, Sakha berinisiatif lebih dulu mengajak Divya untuk salat sunnah pengantin dua rakaat. Ya Allah, apakah Mas Sakha akan meminta haknya langsung malam ini? === Pasangan penngantin baru itu telah selesai melaksanakan salat. Divya tertegun mendengar bacaan Al Qur’an Sakha saat mengimaminya salat. Begitu fasih, tartil dan juga menyejukkan jiwa. Ah, bukankah kata Uwak Ammar suaminya itu adalah seorang hafidz Qur’an? Usai mengucap salam tadi, Sakha langsung memanjatkan doa untuk keberkahan rumah tangganya dunia akhirat. Semoga pernikahan yang dibinanya di rumah ini bisa menjadi anak tangga baginya dan Divya menuju keridhaan dan kecintaan Allah semata. Semoga Allah ridha dengan pernikahannya ini dan menghadirkan rasa cinta di hati Divya untuknya. Semoga Allah mengaruniakan mereka putra-putri yang shalih dan shalihah yang bisa menjadi penegak kalimat dan agama Allah di muka bumi ini.   Aamiin allahumma aamiin. Kini keduanya tengah duduk di atas ranjang pengantin mereka. Divya merasa gugup bukan main. Ia meremas jilbab yang masih bertahta menutupi mahkota indahnya. Jantungnya berdebar tak karuan karena menanti apa yang akan dilakukan oleh Sakha setelah ini. Jujur, ini adalah pengalaman Sakha pertama kalinya berdua dengan seorang perempuan di kamarnya. Meski begitu, ia bisa membaca gelagat sang istri dengan mudah. Sakha tersenyum berusaha memaklumi kegugupan yang melanda Divya. “Gimana kalau malam ini kita ngobrol santai aja?” usul Sakha. “Ya?” “Hmm, biar kita saling akrab, Sayang.” Blush! Pipi Divya yang putih mulus langsung merona mendengar panggilan mesra dari Sakha. Meski rasa cinta belum hadir di hatinya, tetap saja ia perempuan normal yang akan tersipu malu jika diperlakukan seperti itu. “Gak apa-apa,kan, kalau aku manggil kamu sayang?” tanya Sakha hati-hati. “I- iya gak apa-apa, Mas.” “Alhamdulillah.” Apa Mas Sakha gak menuntut haknya malam ini? batin Divya masih penasaran. “Kamu tenang aja, Sayang. Aku gak akan meminta hakku malam ini. Kamu gak perlu takut. Aku ngerti dan paham, kamu pasti butuh waktu untuk menerima ini semua. Mungkin kita masih merasa asing. Aku paham dan gak akan memaksa. Makanya, aku mau kita malam ini ngobrol santai. Meski kita udah saling kenal via CV kemarin, tapi kayaknya bakal lebih enak kalau kita ngobrol lagi lebih dalam plus rencana kita setelah ini.” Sakha tak mau memaksa Divya hingga perempuan itu kesal padanya dan nantinya akan lebih sulit bagi Sakha untuk memasuki ruang di hati Divya. Sakha harus pintar membaca suasana dan menyenangkan hati istrinya. Perlahan senyum manis terkembang di bibir Divya. Ia menganggukkan kepala menyetujui usul Sakha. Ia bersyukur dalam hati Allah mengabulkan harapannya. Suaminya itu begitu pengertian sekali. Tapi, di sisi lain ada rasa bersalah di hati Divya meski hanya sedikit. “Ah, ya aku lupa. Aku udah cuti beberapa hari ke depan supaya kita bisa bulan madu.” Mereka akhirnya menghabiskan malam dengan saling berbincang tentang rencana bulan madu dan mengenal satu sama lain. Hingga keduanya merasa kantuk dan akhirnya memutuskan berbicara sambil berbaring di atas bantal. “Oh ya, kamu gak keberatan kan kalau nanti aku bangunin untuk qiyamul lail? Tanya Sakha. “Iya, Mas. Aku gak keberatan kok, malah aku senang.” “Alhamdulillah kalau begitu. Soalnya cita-cita saya sesudah nikah itu pengen bisa tahajud bareng istri. Maklum ya, kelamaan jomblo.” Sakha berusaha mencairkan suasana. Keduanya tertawa bersamaan. Mereka berbaring telentang menatap plafon kamar. Divya menolehkan kepalanya menatap sang suami dengan ragu. “Boleh aku tanya sesuatu, Mas?” “Apa?” Sakha menyampingkan tubuhnya agar bisa menatap Divya dengan leluasa. “Hmm, emang sebelumnya gak ada perempuan yang menarik hati Mas Sakha?” tanya Divya hati-hati. Ia sangat penasaran. Masa tidak ada perempuan yang bisa menarik hati Sakha? Sakha tersenyum tipis. Ya, karena aku sulit untuk move on dari kamu, Div. Hati aku gak tergerak oleh perempuan mana pun. Tapi itu hanya jawaban dalam hati Sakha. Tak mungkin ia berkata jujur bahwa ia menyukai Divya dari zaman dirinya masih berada di pesantren. Sakha malu. Sebagai gantinya, Sakha hanya menggelengkan kepalanya. “Nggak ada, Sayang. Meski ada beberapa perempuan yang berusaha menarik hati aku, tapi entah kenapa hati aku gak tergerak sama sekali. Mungkin Allah udah mengaturnya demikian.” Divya menganggukkan kepalanya. “Jilbab kamu gak dilepas?” “Eh?” “Ini,” tunjuk Sakha pada jilbab Divya. “Boleh kan aku lihat rambut kamu?” Divya kembali menganggukkan kepalanya. Ia merubah posisinya menjadi duduk dan perlahan melepaskan jilbab yang menutupi kepalanya. Terlihat rambutnya yang hitam diikat cepol satu di belakang. Sakha juga jadi ikut merubah posisinya menjadi duduk. Ia tertegun memandang sang istri yang begitu cantik tanpa menggunakan jilbab. “Boleh aku buka ini?” tanya Sakha sambil menunjuk rambut Divya yang dicepol. “I-iya, Mas. Boleh.” Sakha melepaskan ikatan rambut Divya hingga rambutnya yang panjang menjuntai sebatas pinggang. “Cantik,” gumam Sakha. Pipi Divya kembali dibuat merona oleh ucapan Sakha. Setelah itu, keduanya memutuskan untuk tidur. === Tak perlu alarm untuk membangunkan Sakha salat tahajud. Karena sudah menjadi kebiasaan rutin. Alam bawah sadarnya telah tersetting untuk bangun setiap jam tiga dini hari. Sakha mengusap wajahnya lalu menggeliatkan tubuhnya. Ia menoleh ke samping tempat istrinya masih terlelap. Sakha tersenyum menatapnya. Ia merapikan anak rambut yang berantakan di dahi Divya. Wajah istrinya begitu polos dan cantik bak bidadari. Masih sama seperti bertahun-tahun yang lalu. Sakha mendekatkan wajahnya di telinga sang istri untuk membangunkannya tahajud. Ia berbisik sambil menepuk pelan pipi Divya. “Sayang, bangun yuk! Udah jam tiga kita tahajud.” Divya tak langsung merespon. Ia hanya menggumam dan menggeliat pelan lalu tertidur lagi. Sakha jadi merasa geli melihat tingkah Divya. Tapi, ia tak menyerah dan kembali membangunkan Divya dengan lembut hingga respon Divya kali ini mengejutkannya. “Errgggh, aku masih ngantuk Mas Agra.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD