“Ada serangga, Mas!”
Arletha terus menggeliat meski pinggangnya sudah dalam kuasa River. Namun tidak mengurangi tenaga gadis itu. Hingga membuat pria itu ikut menjadi panik.
“Nggak ada, Arletha. Serangganya sudah pergi,” ucap River meyakinkan.
Perlahan Arletha menjadi tenang. Wajahnya yang panik, berganti dengan ekspresi terkejut dan juga bingung. Posisi saat ini begitu intim. Ia sadar, kalau saat ini tubuhnya dalam gendongan River. Bahkan wajah mereka begitu dekat, hingga Arletha bisa menatap mata indah milik pria itu.
“Sekarang tenang, ya. Nggak ada serangga, mereka sudah pergi.”
“Mas …”
Arletha segera sadar jika apa yang terjadidi antara mereka saat ini, tidaklah baik. Ia bergerak turun dari gendongan River. Wajahnya masih nampak terkejut dan menyisakan kepanikan.
“Sudah merasa baik?” tanya River lagi.
“Sudah …sudah kok, Mas.”
Kaki Arletha kembali menginjak lantas pinggiran kolam renang. Ia mencoba bergerak mundur agar berjarak dengan River. Saat ini ia merasa malu dan juga tidak enak.
“Awas Arletha!”
Tidak sempat River menahan tangan Arletha, tubuh gadis itu sudah jatuh ke dalam kolam. River panik, lalu ikut menjatuhkan diri agar bisa segera menolong Arletha. Takut jika gadis itu tidak bisa berenang.
“Aku nggak bisa renang, Mas!”
“Tenang, Letha,” ucap River.
River membawa tubuh Arletha naik ke pinggir kolam. Sudah bisa ditebak bagaimana keadaan gadis itu. Tubuhnya yang basah, menggigil karena kedinginan.”
“Kenapa aku ceroboh sekali?” gerutu Arletha sebal pada dirinya. Lalu memanatp River yang duduk di sampingnya. “Mas River jadi basah juga.”
“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya River khawatir. Tangannya merapikan anak rambut yang menutupi sebagian wajah gadis itu. “Kamu kedinginan, ya?”
“Ya Tuhan, kalian kenapa?” teriak Arimbi.
Keributan yang terjadi tentu saja memancing rasa penasaran Andra serta orang tua dari River. Mereka nampak panik melihat keadaan keduanya yang cukup kacau.
“Letha, kamu kenapa basah begini?” tanya Andra khawatir.
“Arletha jatuh ke kolam, Mas. Kakinya salah langkah, jadi jatuh.”
“Untung ada Mas River yang nolongin aku, Pi. Jadi aku nggak tenggelam,” ucap Arletha.
“Astaga, ada-ada saja,” gumam Andra heran.
“Sebaiknya kalian ganti baju dulu. Arletha pakai baju Tante saja, daripada pulang dalam keadaan basah. Nanti kamu bisa sakit.”
Arletha mengangguk pasrah. “Iya Tante, terima kasih.”
Sambil menahan malu, Arletha mengikuti langkah kaki Arimbi. Ia dibawa ke kamar khusus tamu untuk mengeringkan badan dan mengganti pakaian. Kamar tersebut ternyata bersebelahan dengan kamar River, sehingga pria itu juga berjalan beriringan.
“Semoga kamu nggak sakit, ya,” bisik River.
Arletha mengangguk tidak semangat. “Mas River juga, ya. Aku pasti merasa bersalah kalau Mas sampai sakit.”
“Tidak akan,” jawabnya sambil mengusap pucuk kepala Arletha.
Setelah selesai berganti pakaian, Arletha menatap dirinya di cermin. Memalukan sekali harus mengenakan pakaian milik Arimbi. Di tubuhnya cukup pas, tapi tentu saja selera mereka berbeda.
“Arletha …Arletha, kenapa kamu melakukan hal yang memalukan sekali? Apa yang dipikirkan tante Arimbi dan om Harja saat tahu aku seceroboh ini,” gumamnya penuh sesal.
Lalu gadis itu menghela napas. Tiba-tiba Arletha disadarkan akan sebuah fakta. Wajahnya memerah karena menahan malu pada dirinya sendiri.
“Kenapa aku harus mikirin penilaian orang tuanya Mas River? Toh, aku datang sebagai tamu, anak dari papi. Bukan anak gadis yang mau ketemu calon mertua. Jadi buat apa aku merasa nggak enak. Namanya juga insiden, nggak bisa dihindari,” ujarnya.
Setelah mencoba menenangkan diri dari rasa malu, Arletha memutuskan untuk keluar dari kamar tersebut dan kembali bergabung dengan ayah serta orang tua River. Tangannya mendorong gagang pintu dan ia justru dikejutkan dengan keberadaan River di luar kamar.
“Mas River?”
Pria itu memperhatikan Arletha dari ujung kaki hingga kepala. “Pasti nggak nyaman pakai pakaian mama.”
“Enggak kok, Mas. Ini lebih baik daripada pakai pakaian basah.”
“Kamu pakai ini, biar lebih hangat.” River menyodongkan sebuah hoodie berwarna putih kepada Arletha. “Pasti kebesaran, tapi cukup nyaman dalam situasi seperti ini.”
Arletha menerima dengan gugup. “Makasih Mas. Padahal jas beberapa hari yang lalu belum aku balikin.”
“Nggak masalah. Kita jadi punya alasan untuk ketemu lagi,” ujarnya santai.
Arletha berusaha untuk tidak salah paham dengan apa yang dilontarkan oleh River. Ia mengulas senyum tipis sebagai tanggapan.
“Ayo turun, papi kamu pasti sudah menunggu.”
Andra dan Arletha akhirnya memutuskan untuk pamit pulang karena sudah cukup malam. Ditambahn insiden tadi, membuat Arletha tidak nyaman dan Andra tahu akan hal ini. Meski River mencoba menahan lebih lama, namun hasilnya nihil. Kondisi Arletha yang bersin terus menerus, menandakan kondisinya tidak baik.
“Kamu ada-ada saja, Arletha. Papi masih nggak habis pikir, kamu nyemplung ke kolam.”
Arletha berdesis. “Aku tahu Papi mau ketawa. Iya kan?”
Tebakan gadis itu benar. Andra terkekeh pelan membayangkan apa yang terjadi pada putrinya.
“Kamu pasti panik sekali karena nggak bisa renang. Tapi syukur River bisa cepat tanggap.”
“Iya sih, Pi. Tapi semoga Mas River nggak sakit gara-gara nolongin aku.”
“Tunggu Letha, Papi hampir lupa. Sejak kapan kamu manggil River dengan sebutan mas, bukan om?”
Arletha berdeham pelan, berharap sang ayah terima dengan penjelasannya. “Teman Papi yang minta duluan. Awalnya disuruh manggil nama saja, tapi aku nggak mau karena menurutku kurang sopan. Terus pas di tempat umum, aku manggil om, eh orang-orang malah lihat kami dengan tatapan curiga. Mungkin aku dikira simpanan om om. Jadi daripada nggak sopan karena Cuma manggil nama dan biar nggak disangka sugar baby, aku insiatif panggil mas. Dan dia juga nggak keberatan kok,” jelasnya.
“Oh jadi begitu. Lucu sekali alasan kamu, tapi juga cukup masuk akal.” Andra menghela napas pelan. “Tadi Papi lumayan kaget. Papi kira kalian ada hubungan spesial makanya panggilannya berubah. Tapi syukur kalau dugaan Papi salah.”
“Ya enggaklah, Pi. Aku sama Mas River dekat karena nyambung kalau ngobrol. Dan selalu ketemu di situasi yang nggak terduga. Papi mikirnya terlalu jauh.”
Andra menoleh sambil tersenyum dan tetap fokus mengemudi. “Namanya juga punya anak perempuan yang lagi cantik-cantiknya, jadi harus dijaga dengan baik. Nggak ada yang boleh melakukan sesuatu yang bisa melukai kamu.”
“Aman, Papi tenang saja,” ucap Arletha.
Mau tidak mau, pikiran Arletha terus mengingat ucapan Andra barusan. Ia memang harus sedikit menjaga jarak, agar tidak memiliki perasaan yang berlebih terhadap River. Untuk saat ini semuanya masih aman, tapi ia tidak tahu apa yang terjadi nanti.
***
Sesampainya di rumah, Arletha langsung mandi dan membersihkan diri. Tidak lupa minum obat cair agar tidak sakit. Selesai semuanya, ia berbaring dan siap pergi tidur. Ponsel di atas meja diambil untuk menemaninya berbaring sampai nanti terlelap.
“Dingin banget,” gumamnya di balik selimut.
Baru saja merebahkan tubuh, tiba-tiba benda pipih di tangan mengeluarkan suara. Arletha terkesiap karena melihat nama River muncul pada layar ponsel. Sebelum menjawab panggilan telepon dari pria itu, Arletha mencoba mengatur napas agar lebih tenang dan tidak gugup.
“Halo Mas River.”
“Halo Arletha, kamu sudah tidur? Apa saya mengganggu kamu?”
Arletha refleks menggeleng. “Belum kok, baru siap-siap.”
“Oh, gimana kondisi kamu? Saya cemas, takut kamu demam.”
“Aku baik-baik saja, sudah minum obat biar nggak masuk angin. Mas River sendiri gimana?”
“Aman, kamu tenang saja. Ya sudah, saya Cuma mau memastikan kondisi kamu. Sebaiknya kamu istirahat karena ini sudah malam. Kalau ada apa-apa, jangan lupa berkabar.”
“Iya Mas. Makasih atas perhatiannya.”
“Apa kamu risih?”
Arletha terdiam sambil menggigit bibirnya. Dadanya bergemuruh, mendadak dilanda rasa gugup atas pertanyaan tidak biasa dari River.
“Arletha?”
“Eh? Iya Mas. Enggak kok, sama sekali nggak risih. Mas temannya papi, jadi perhatian Mas River, aku anggap seperti perhatian papi.”
“Syukurlah. Kalau begitu selamat istirahat, Letha.”
“Mas River juga.”
Setelah percakapannya dengan River selesai, Arletha tertegun. Pandangan matanya tertuju pada langit-langit kamar. Membayangkan jawaban yang barusan ia berikan atas pertanyaan pria itu.
“Risih? Iya juga ya, kenapa aku nggak risih?” gumamnya. Tangannya meraba dadanya, merasakan ada detak yang tidak biasa setiap membayangkan wajah River. “Apa iya karena Mas River seperti papi. Atau mungkin, aku melihatnya selayaknya laki-laki, yang bukan sekadar teman baik papi?”