3. Salah Paham

1398 Words
"Lepasin tangan najis lo dari tangan gue!” Queen merasakan tubuhnya ikut membeku ketika mendengar seruan dingin laki-laki yang ada di depannya. Bola mata itu menatapnya sangat tajam, rahang itu mengeras sangat kokoh. Lelaki di depannya ini masih nampak muda namun aura intimidasi yang dikuarkannya membuat Queen merasakan bulu kuduknya berdiri. Sambil meneguk ludah pelan, Queen tersenyum kecil walau agak gugup. “Gu-gue minta maaf tapi tangan gue halal kok,” tutur polosnya. Pria yang ada di depannya itu berdecih, wajahnya jadi nampak lebih jelas. Satu kata yang bisa mendeskripsikannya, tampan. Queen tebak, usianya tidak jauh berbeda dengannya. “Enggak usah sok polos, mana ada cewek baik-baik yang ada disini?!” Queen mengerutkan dahinya, apa dirinya dianggap salah satu penghibur disini? Iya, Queen memang menggunakan kaos lengan pendek bewarna biru karena jaketnya diberikan pada Sofia yang masuk, tapi apa pria itu tidak lihat jika dia menggunakan training untuk celana seperti ini? Tidak ada unsur menggodanya sama sekali. “Kalo ini bukan tempat perempuan baik itu artinya bukan tempat laki-laki baik juga?” tanya Queen balik sambil menatap ke arah laki-laki itu. “Lo bukan pria baik.” Perkataan terakhir Queen nampaknya berhasil membuat pria itu emosi, rahangnya kembali mengeras seolah bersiap ingin menggigitnya menjadi santapan malam yang lezat dan nikmat. Tatapan tajam pria itu perlahan berubah khawatir ketika menoleh ke arah pintu club dan menemukan seseorang pria dewaasa keluar dari club itu bersama dua perempuan muda. “Papa!” seru remaja laki-laki itu mendekat ke arah sosok Ayahnya. “Auriga, anak kesayangan Papa, kemari, nak!” “Papa mabuk!” seru remaja laki-laki bernama Auriga itu menutup hidupnya, ia lalu menatap tajam ke arah dua gadis yang ada di samping Papanya dengan tajam membuat mereka kabur. Queen yang sedari tadi melihat itu semua tersentak ketika bahunya disentuh seseorang. “Sofia!” serunya sedikit lega. “Ayo kita pergi dari sini, Queen. Abang gue enggak ada,” ujar Sofia menarik tangan temannya yang sudah menemaninya itu menjauh dari club. Ketika tangannya ditarik oleh Sofia, Queen sesekali menoleh ke arah dimana Auriga bertemu Papanya yang mabuk tapi ternyata mereka sudah tidak ada lagi disini.  Queen dan Sofia akhirnya segera meninggalkan area club lalu memilih berhenti sebentar di depan sebuah mini market karena melihat kondisi Sofia yang nampak masih kebingungan. “Minum dulu, Sof.” Queen memberikan sebotol air mineral pada Sofia yang duduk di salah satu bangku yang disediakan minimarket. “Thanks, Queen,” angguk gadis manis itu yang dibaas senyum kecil. “Gimana? Lo enggak tahu lagi dimana Abang lo?” “Abang gue udah di Ruma Sakit sekarang, mertua Kakak ipar gue yang ternyata jemput abang gue disini,” jelas Sofia yang baru saja menerima pesan dari kakak iparnya ketika Queen masuk ke dalam minimarket tadi. Queen yang mendengarnya ikut lega, membuka botol air mineralnya lalu menegaknya beberapa tegukan. Gadis itu menghela nafasnya lega, ketika tenggorakannya tak lagi serat. Jika Mamaknya tahu kalo Queen minum air es malam hari seperti ini, maka habislah dia diomeli. “Queen, pulang yuk? Gue anterin sampai rumah, sekalian mau jelasin sama Om Tano kalo lo habis nemenin gue dari club.” Queen sontak menggeleng cepat, bisa dihapus dari Kartu Keluarga jika Ayahnya tahu ia baru saja habis dari tempat haram itu. “Gue pulang sendiri aja, Sof. Lo juga mau ke Rumah sakit kan?” tanya Queen sambil memasang helm, gadis itu akhirnya duduk di atas motor lalu melirik ke arah kiri dan kanan. Tidak ada tanda-tanda Tukang Parkir. “Iya, sih. Makasih banget ya, Sof,” ujar Sofia. Queen mengangguk, baru saja ia hendak melajukan motornya, tiba-tiba seorang pria muncul di depan kendarannya entah dari mana munculnya. “Dua ribu, neng.” ——— “Baiklah, pelajaran hari ini sudah selesai. Kalian boleh istirahat.” “Gas kantin ngeng!” seru salah satu murid langsung berlari ke arah luar kelas. Queen menatap sedih ke arah bangku yang ada di sampingnya, bangku itu kosong karena pemiliknya telah memberikan surat izin yang sekarang berada di atas meja guru.  Hari ini menjadi tak menyenangkan karena Sofia tidak hadir. Gadis itu tidak bisa mengikuti kelas karena sekarang berada di Rumah Sakit untum menemani keponakannya. Queen rasanya ingin sekali ke kantin untuk membeli bakso atau mie ayam—tidak ada hujan, tidak ada badai Ayahnya tadi tiba-tiba menambah uang sakunya sehingga gadis itu ingin sekali rasanya mencicipi makanan yang ada di kantin selain jus buah. Tapi, nampaknya ia harus mengurungkan niat tersebut karena Sofia tidak masuk sebab rasanya sangat berat untuk melangkah kaki menuju kantin seorang diri. Queen akhirnya memutuskan untuk mengisi perutnya dengan jajanan koperasi yang berada di area kelas dua. Setidaknya tempat itu tidak terlalu ramai dari kantin. Sudah dua hari sejak insiden dimana Manggala menolongnya dari rombongan Claire, Queen memutuskan untuk tetap tinggal di kelas saat istirahat. Namun, ternyata masih saja ada omongan sinis yang mengarah padanya. “Gue pikir cantik taunya kayak anak udik!” “Fiks, ini si Gala kasian aja nolonginnya.” “Enggak ada cantik-cantiknya.” “Putih lagi ketiak gue dari wajahnya.” Queen berusaha berjalan cepat, sebisa mungkin menahan ejekan itu agar tidak masuk ke dalam hatinya yang mana akan membuatnya menangis saja. Ia memang tidak bisa menghentikan mulut mereka untuk membicarkannya yang hanya bisa dilakukannya hanya menutup telinga rapat-rapat. “Ratu!” Queen menghentikan langkahnya ketika mendengar panggilan seorang guru yang mengajar di kelasnya. Bu Ayu, guru matematika yang ternyata juga mengajar kelas dua. Jangan tanyakan kenapa perempuan paruh baya itu menganggilnya Ratu alih-alih Queen. Kata Bu Ayu namanya terlalu sulit untuk diucap  jadi of wanita itu memilih terjemahannya saja. “Iya, Bu?” tanya Queen menghampiri Bu Ayu di depan kelas. “Kamu bisa tolong bantuin bawa buku-buku enggak?” “Bisa, Bu,” jawab Queen mengangguk. “Tolong bantuin nak Auriga di dalam bawain buku ya, ibu tunggu di ruang guru.” Bu Ayu lalu melenggang pergi meninggalkan Queen yang masih berdiri tepat di depan pintu kelas itu dalam keadaan membeku. Seketika ingatannya tertuju ke malam tadi. Tidak mungkinkan ini Auriga yang itu kan? Baru saja hendak masuk ke dalam kelas, Queen mengaduh kesakitan ketika jidatnya bertemu dengan tumpukan buku yang tinggi. “Aduh!” “Lo?!” seru Auriga menoleh ketika merasakan bukunya menabrak sesuatu yang ia pikir pintu. Ternyata dunia ini memang tak selebar daun kelor.  “Lo ngapain disini?!” tanya Auriga yang agak sulit menyeimbangkan buku yang ia bawa semuanya. “Sekolah,” jawab Queen sambil mengusap jidatnya perih. Auriga mengerutkan dahinya, sedetik kemudian laki-laki merubah wajahnya menjadi marah. “Perempuan kayak lo enggak pantas sekolah disini?!” Lagi, Queen rasanya ingin menangis. Ia sudah berusaha untuk tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Auriga namun tetap saja hatinya merasa sakit. Kenapa semua orang di sekolah ini terlihat tidak suka padanya? “Lo terlalu hina!” seru Auriga, baginya perempuan yang sudah merelakan tubuhnya untuk menjadi penghibur para p****************g, tidak pantas untuk bersekolah disini. Terlalu malas dan lelah meladeni Auriga, Queen mengambil setengah dari buku yang laki-laki itu bawa ke dalam dekapannya yang tentu saja semakin memancing amarah Auriga. “Apa yang lo lakuin?!” seru Auriga emosi membuat beberapa orang di koridor sekolah melihat ke arahnya. “Enggak cukup jadi perempuan hina, sekarang lo mau jadi maling?!” Queen mengabaikan teriakan laki-laki itu dan memilih membawa buku itu menuju ruang guru. Telinganya berusaha ia sumpal untuk tidak mendengar perkataan Auriga yang sungguh lebih pedih dari apapun. Laki-laki itu berusaha mengajar Queen yang memang sudah berjalan lebih dulu di depannya.  “Lo benar-benar kurang ajar!” teriak Auriga lagi.  Hingga akhirnya mereka sampai di ruang guru, langkah laki-laki itu melambat ketika menyadari sesuatu saat ia masuk ke dalam ruangan itu. “Terima kasih ya, Ratu,” kata Bu Ayu ketika Auriga sampai di meja guru yang barusan mengajar di kelasnya. “Sama-sama, Bu. Saya permisi.” Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Auriga, Queen memilih meninggalkan ruangan guru dengan pandangan menunduk menuju kamar mandi. Tes. Tes. Buru-buru gadis itu masuk ke dalam salah satu bilik, menguncinya dengan dapat lalu duduk di atas closet. Gadis itu menangkup wajahnya dan menangis sambil menahan isakannya. Hatinya sedang tidak baik-baik saja sekarang—sesak dan Queen butuh mengeluarka air matanya agar merasa lebih baik. Sedangkan di ruangan guru, Auriga merasa begitu bersalah ketika mendengar apa yang baru saja Bu Ayu jelaskan. “Itu tadi namanya nak Ratu, Ibu yang minta tolong sama dia untuk bantu Auriga bawain buku yang banyak ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD