Genap sekitar sepuluh hari dia mengamati semua kegiatan Frada. Bahkan kini tanpa sepengetahuan gadis itu, Tristan menjaga jarak jauh semenjak Frada membuka mata hingga berada di sebuah butik baru miliknya. Dari semua ini, jujur saja Tristan merasa kurang nyaman karena segala sesuatunya serba terbatas. Dia tidak bisa mencuri pandang wajah Frada. Namun, Tristan mempunyai ide dan dia melihat gerak-gerik Frada dari sebuah kaca mata yang didesain khusus untuk melihat jarak jauh.
Kegiatan Frada seharian ini hanya menemui beberapa tamu, dan setiap orang yang datang dan mengobrol dengan Frada telah tertangkap oleh lensa dari kaca mata Tristan. Satu persatu orang dilacak, dari mulai asal usul dan alamat pribadi. Hal ini sudah pasti membuat Tristan lebih aman hingga dia benar-benar kembali bertugas.
Selama dua hari Tristan merelakan masa cuti hanya untuk membuntuti semua yang ingin diketahui. Dan hal yang sama akan dilakukan nya saat cuti bulan depan datang. "Ok, buat hari ini beres. Tidak ada hal yang mencurigakan, dan laki-laki Amerika tidak datang."
Tristan berdiri di bangunan paling atas gedung di sisi kanan bangunan megah SKA. Dia pun bersantai dan menikmati udara dari atas, Tristan teringat kembali saat-saat di mana seorang laki-laki sedang mengejarnya untuk mendapatkan bola yang dia miliki. Tetapi, semua telah siap-sia dan Tristan takkan lagi merasakan kasih sayang seorang Ayah.
Lima belas menit, Tristan bergegas mengganti pakaian. Karena waktu bekerja yang sebenarnya telah dimulai, dia menyimpan kaca mata dan ponsel sebagai pelacak orang-orang yang menemui Frada selama dua hari ini.
[...]
Warna pada cahaya matahari berhasil membakar semua tatapan di luar sana, Frada benar-benar kurang enak badan sejak pendingin di ruangannya eror. Saat siang, hawa nya benar-benar membuat Frada kepanasan. "Anna, kau sudah menghubungi petugas untuk memperbaiki pendingin ruangan?"
Anna sibuk mengibas-ngibaskan kertas di wajah supaya mendapat kesejukan, sambil sibuk bermain ponsel. "Sudah, mungkin sebentar lagi datang."
"Kenapa lama sekali?" tanya Frada gelisah, dia tidak bisa fokus dengan pekerjaan di meja.
Tangannya terus berbuat untuk mendinginkan tubuh, sesekali juga Frada bangun dan berdiri di jendela. Namun, suara pintu diketuk memberitahu bahwa ini akan kembali menyibukkan dirinya. Frada pun menunggu saat Anna membuka pintu, dan bukan merasa lebih baik karena Frada harus melihat Tristan di ambang pintu.
Frada melihat jam pintar di tangannya. "Udah selesai rupanya. Kenapa enggak cuti selamanya aja?"
Mendengar itu, Tristan seolah tuli. Dia berdiri di area tengah kantor utama milik direktur butik tersebut. Cara berdirinya sangat stabil, kedua tangan saling menggenggam di bagian perut bawah, semua itu diperhatikan oleh Frada. Dia pun malas melihatnya, Frada memutuskan keluar dari kantor dan tentu Tristan membuntuti dari belakang.
Bangunan tiga lantai itu memiliki usaha pakaian jadi, dan Frada berencana ingin mengunjungi garmen yang jaraknya hanya beberapa meter dari butik. Dia terus meneliti ke belakang, sikap itu memang tidak menandakan sesuatu. Tetapi, Frada kurang nyaman saat harus diawasi.
"Hei," Frada menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Aku ada tugas buatmu."
Sepi. Tidak ada jawaban dari Tristan. Lalu Frada mengambil ponsel yang ada di saku, mencari gambar makanan yang diinginkan. "Aku ingin kamu beliin ini!"
Tristan melirik sekilas. "Itu bukan tugas saya!"
Mulut Frada sempat terbuka karena terkejut Tristan berkata demikian dan jelas itu bukan yang diinginkan. "Emangnya kenapa? Bukankah segala urusan tentangku itu jadi tanggung jawabmu juga 'kan?"
Mulut itu hanya diam, Frada melihat Tristan seperti patung. "Aku ingin kamu beli ini! Cepetan!"
Lalu Tristan merogoh kantong kemeja dan mengambil ponsel, dia mencari nomor seseorang kemudian melakukan panggilan. Hanya beberapa detik saja, terdengar suara angin dari sambungan tersebut. "Aku ada tugas, kemari!"
Jarak satu menit saja, seorang laki-laki berpakaian rapi datang menemui Tristan. "Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Kamu beli …," Tristan merebut ponsel Frada seketika. "Makanan ini, apa namanya? Tongseng. Ya, sepertinya bebar."
"Baik Pak," pria itu segera pergi. Tetapi, kembali lagi. "Berapa porsi?"
Tristan mengembalikan ponsel Frada. "Nona, ingin berapa porsi?"
Usaha dalam membebaskan diri gagal, Frada tentu merasa kesal dan tidak menyangka jika Tristan berani menolak tugas darinya. "Aku sudah kenyang!"
Kemudian Frada pergi begitu saja, Tristan pun langsung menarik napas dalam-dalam atas kelakuan tersebut. "Kamu beli satu porsi, buatmu aja!" Tristan memberikan selembar uang kepada anak buahnya. Sikap Tristan pun membuat suruhannya itu merasa bingung. Tetapi, dia hanya mengangkat kedua bahu sambil melihat kepergian Tristan dan Frada.
Sebuah pabrik baru telah berdiri sejak tiga tahun lalu, dan dikelola oleh Frada. Namun, baru kali ini dia melihat sendiri keadaan pabrik yang begitu bersih dan mengutamakan kualitas brand. Frada pun senang, dia menyambut baik saat mandor menyapanya.
"Wah, suatu kehormatan Ibu bisa ke sini." ucap pria berkulit langsat mengulurkan tangan.
Melihat pria itu, Tristan terkejut. Laki-laki itu yang ditemuinya di bar dan tengah memaksa Frada menari. Tristan bergegas menarik tangan Frada, membuat satu perlindungan utama. "Tunjukkan tanganmu!"
Aksi itu membuat Frada terbelalak. Dia mencegah Tristan untuk melakukan sesuatu yang gila, Frada segera membawa Tristan menjauh dari mandor pabriknya. "Jangan lakuin apa pun di sini, termasuk di depan temenku!"
"Dia yang hampir mencelakai Anda." jawab Tristan lugas.
"Apa? Mencelakai aku? Kapan? Enggak usah ngarang kamu!" Frada tidak mengerti dengan ucapan Tristan, dia sama sekali tidak mengingat kejadian malam itu. Ya, karena Frada berada di bawah pengaruh alkohol.
"Ya, tentu aja." Tristan paham bagaimana semua terjadi, dia langsung kembali kepada pria di belakangnya.
Tristan membawa mandor pabrik itu ke area yang tidak banyak orang, di sana dia seketika menyudutkan tubuh kurus itu ke dinding. "Apa yang kamu lakukan malam itu, jelas tidak akan pernah terulang lagi!"
Pria itu menyatukan kedua alis. "Maaf, memangnya aku berbuat apa ya?"
Hal ini benar-benar mengusik pikiran Tristan, dia melihat Frada berkacak pinggang karena ulahnya saat ini. "Kamu sama sekali enggak inget?"
"Enggak, aku … Juga enggak paham Bapak ngomong apa." pria itu mengangkat kedua bahu.
Sialan. Tristan harus menahan diri untuk berbuat sesuatu, padahal dia telah memiliki kesempatan untuk membuat satu pelajaran lagi agar pria itu jera. Namun, kini gagal dan kemauannya pupus. "Ok, enggak usah dibahas!"
Tristan cepat-cepat kembali ke Frada, dia langsung menarik lengan kecil itu agar menjauhi dari pabrik. Perlakuan Tristan jelas ditolak, Frada berontak dan melepaskan diri secara kasar.
"Apa lagi ini, huh?" tanya Frada menahan sesuatu di dadanya. Berat.
Wajah Tristan setengah tertunduk. "Hanya sebuah perlindungan, Nona."
"Perlindungan?' Frada tertawa meremehkan. "Sejak kapan? Sejak … Kamu dibayar, iya?"
Mereka saling menatap. Tetapi, Frada menaruh sapaan penuh kebencian. "Aku tidak butuh perlindungan dari siapa-siapa, karena aku bisa menjaga diri! Kenapa kamu harus repot-repot kerja seperti ini? Tugas di Amerika enggak cukup bikin hidup istri dan anakmu jaya ya?"
Ungkapan itu sengaja dibuat karena Frada masih sangat terluka dengan kenyataan bahwa Tristan telah menikah dan memiliki seorang anak hasil perselingkuhan. Ya, itu yang diketahui Frada sejak mereka berakhir. "Aku minta kamu pergi! Aku bakal bayar selama setahun dari jumlah gaji per bulan yang Papi kasih ke kamu!"
Tidak ada jawaban meski Tristan tahu ini adalah penghinaan. Tetapi, dia tidak merasakan perkataan Frada melukai karena kata-kata itu berasal dari luka yang dia ciptakan. Lalu Tristan tetap berjalan pelan mengikuti ke mana Frada pergi. Sesekali gadis itu menatap tidak suka atas semua tindakan yang Tristan lakukan.
Frada menyentakkan pintu ruang kerja. Tetapi, Tristan menahan lagi agar tidak terjadi kedua kali, Frada pun kesal dan kembali ke tempat duduk. Dengan posisi Tristan sama seperti semula, bahkan wajah itu smaa sekali tidak ramah. Ingin rasanya Frada bertanya mengapa Tristan harus menerima pekerjaan ini. Benarkah semua karena kebutuhan finansial semata?
Lamunan Frada dihentikan oleh getaran di ponselnya, dia mendapat panggilan dari Nathan. "Ya, Pi. Ada apa?"
"Kamu di mana Sweety?" tanya Nathan cepat.
"Aku di butik, abis dari pabrik. Kenapa?" Frada merasa ada sesuatu yang penting, karena Nathan hanya akan menghubungi jika ada keadaan genting.
"Enggak, Papi mau bicara sama Tristan. Bisa kasih hape kamu ke dia?" ucap Nathan lagi, membuat Frada semakin kesal.
Lalu Frada menyodorkan ponsel ke arah Tristan, tanpa dia ingin menatap ke wajah itu. "Nih, Papi mau ngomong!"
Tristan menerima, kemudian melepas alat pendengar di telinga kiri. Dari jarak tiga meter, Frada mengamati. Apa yang mereka bicarakan? Mendadak raut Tristan menjadi tegang, meski memang tidak menandakan sesuatu jika sedang membahas dirinya.
Selang menit berlalu, Tristan mengembalikan ponsel Frada. Dia kembali pada posisi semula, meski Tristan tahu jika Frada tidak suka dengan keberadaannya ini tetap akan diabaikan, demi dia bisa menjaga dan memiliki waktu lama untuk menghapus semua rasa rindu tiga tahun ini.
"Papi ngomong apa?" tiba saja Frada bertanya, dia curiga.
"Hanya memperingatkan saya, untuk lebih menjaga Anda dengan ketat." jawab Tristan semestinya.
Frada sempat mendengus kesal. "Apa? Menjaga dengan ketat? Ketat yahh gimana lagi maksud Papi?"
"Kurang tahu Nona, " Tristan menahan diri untuk tidak memberikan tatapan secara sembarangan kepada Frada. "Hanya itu yang kami bicarakan!"
Sungguh, Frada tidak tahan jika semua harus memiliki kendali. Ayahnya, tidak harus menganggap hal ini penting dilakukan. "Aku udah dewasa dan mampu jaga diri!"
"Tapi tidak saat mabuk!" jawab Tristan tanpa disadari.
Frada mendengar ucapan itu. "Apa maksudmu?"
Sial. Tristan telah melakukan kesalahan. "Tidak, hanya asal bicara. Maaf."
"Bohong! Kau bukan orang semacam itu, katakan sekali lagi!" Frada memaksa.
Tristan hanya diam, tentu tidak ada perkataan lain yang akan terulang. Sebuah peringatan datang karena Tristan masih kurang ketat dalam memberi penjagaan, sedangkan Nathan selalu tahu dengan apa yang dilakukan Frada selama di Indonesia. Kini ada perasaan bingung, antara siap jika Frada semakin membenci atau Tristan akan kehilangan kesempatan jika melanggar semua aturan yang dibuat oleh Nathan.
Karena tidak mendapat keterangan yang sesuai Frada pun mengemas beberapa barang ke dalam tas kecil, dia mencari kunci mobil sebelum akhirnya Tristan menunjukkan kunci tersebut. "Aku berangkat ke sini sendiri, kunci ada padaku kenapa kamu …,"
"Kita hanya akan memakai mobil khusus, Nona." terang Tristan sambil menunjukkan kunci mobil.
"Kenapa begitu? Bedanya apa? Aku mau pakai mobilku," Frada kembali mencari karena dia lupa di mana menaruh kuncinya. "Jangan bantah kalau memang mau …,"
Tristan terus sibuk mengawasi sekitar dan sesekali menatap rambut gelombang Frada.
[...]
Sebuah peringatan. Ya, Tristan tahu jika itu juga merupakan perintah untuknya segera menemui Nathan di kantor. Setelah mengantar dan memastikan Frada di rumah, Tristan bergegas menemui bos besar SKA. Tristan sempat diminta untuk memberikan semua senjata yang ada di baju dan kaos kaki.
"Ya, silakan Anda bisa masuk!" ucap pria yang memiliki berewok.
"Terima kasih."
Lalu Tristan menuju ke tempat Nathan. "Selamat … Malam Tuan."
Malam telah membawa suasana dingin, sepi bahkan keadaan seolah mendukung dan lebih mencekam ketika berhadapan langsung dengan Nathan. Ini bukan rasa takut, Tristan hanya tidak siap jika memang ada hal baru dan akan membuatnya kecewa.
"Duduk!" tangan Nathan mempersilakan.
"Tidak, terima kasih. Saya di sini, Tuan!" jawab Tristan pelan.
Kedua tangan Nathan berada di atas meja, menatap sepasang bola mata yang melihat arah di depan. "Aku minta kamu datang ke sini, karena … Aku ingin bertanya tentang Adhisti."
Adhisti? Walau terkejut, Tristan mahir dalam mengatur perasaan dalam bentuk ekspresinya. "Silakan Anda bertanya, Tuan!"
"Apa kamu tau di mana dia?"
Tristan seperti merasakan sesak di d**a. "Maaf, saya tidak melihat Adhisti selama di Indonesia."
"Aku cuma ingin buat satu pelajaran untuknya, aku mau kamu juga mencari di mana Adhisti! Tapi, jangan sampai Xander duluan yang nemuin wanita itu. Paham?" Nathan terus mengamati gerak-gerik Tristan.
"Baik, saya akan lakukan!" jawab Tristan bingung dengan keadaan.
Rasa sakit di hati masih menghantui Nathan hingga saat ini meski Xander dan Gisha telah menikah. Dia juga perlu mencari tahu apakah Tristan benar-benar bisa mencari Adhisti yang merupakan teman lamanya, atau justru akan mengecewakan perasaan Nathan. "Kamu, berapa hari ambil cuti dalam sebulan?"
"Dua hari, Tuan." jawab Tristan lantang.
"Mulai bulan ini, dan langsung berlaku. Kamu cuma ada kesempatan libur sehari, dan bisa menghubungi istri dan anakmu di jam makan siang, tidak lebih dari tiga puluh menit!"
Aturan baru pun muncul, Nathan menerapkan semua demi meningkatkan keamanan bagi Frada dan satu tugas baru agar Tristan mendapatkan Adhisti. "Oh ya, aku akan memberimu pasukan ketika mencari Adhisti! Dan jika kamu berhasil menemukannya, maka kau adalah direktur di SKA Save.
SKA Save? Mendengar itu, tidak lantas membuat Tristan senang. Dia tahu ini adalah bayaran, dan yang lebih diketahui sejak bekerja dengan Nathan, orang utama di perusahaan yang menyediakan jasa perlindungan secara personal dan masyarakat merupakan organisasi yang kejam. Bahkan aturan perusahaan dari induknya sendiri telah memperbolehkan pemimpin SKA Save membunuh.
"Tristan, kenapa diem?" tanya Nathan memastikan.
"Ya, saya mendengarnya Tuan. Saya akan mencari Adhisti, dan … Membawanya kepada Anda." ucap Tristan siap masuk ke dalam lubang lebih dalam di keluarga SKA.