Begitu Dika kembali lagi keruangan setelah mengantar Fika, Regarta sudah ada di box tempat tidurnya tapi Desti tidak ada. Laki-laki itu keluar kembali dan mendapati Janis di mejanya.
"Janis, Desti kemana?" Wanita yang sedang serius dengan sesuatu di layar komputernya itu, mendongak dan tersenyum pada bossnya.
"Tadi keluar dan menitipkan Regarta pada saya pak, kayaknya dia sakit deh pucet banget mukanya." Dika mengerutkan dahinya. Sejak tadi memang dia sudah melihat wanita itu sesikit pucat.
"Kamu punya nomor handphone-nya?" Janis mengulum senyum. Hal itu tidak luput dari pandangan Dika. Membuat laki-laki itu sedikit salah tingkah. "Semua tidak seperti yang kamu pikirkan, saya hanya ada urusan pekerjaan dengan dia." Ucap laki-laki itu lagi. Membuat Janis tersenyum semakin geli.
"Tenang aja pak, ada apa-apa juga gak papa kok. Lagian Desti itu baik loh pak orangnya. Di divisi keuangan banyak yang suka pak sama dia. Kalau bapak gak cepet nanti keburu diambil orang loh." Ucap Janis memanasi. Dalam hati wanita yang sedang hamil muda itu tertawa keras melihat wajah bossnya yang mengisyaratkan kewaspadaan.
"Saya gak peduli dia banyak yang suka atau tidak. Kirimkan nomor telponnya ke saya kalau kamu punya!" Ucap Dika pura-pura tidak peduli. Walaupun sebenarnya ada yang berdesir di hati mengetahui bahwa karyawan genitnya itu memiliki banyak penggemar. Laki-laki itu masih saja membohongi dirinya sendiri.
Janis ingin sekali tertawa melihat reaksi bossnya. Tapi demi profesionalismenya, wanita itu hanya tersenyum dan mengangguk. "Baik pak, segera saya kirim nomor Desti ke bapak." Dika masuk kembali ke ruanganya dan duduk dengan gelisah di kursi kebesaranya. Entah kenapa, tumpukan pekerjaan yang biasa menjadi minatnya kini tidak menarik lagi. Pikiranya melayang kemana-mana. Menebak kira-kira siapa saja laki-laki yang berpotensi menyukai karyawan genitnya. Ini semua gara-gara Janis, jadi kepikiran kan?
Getaran di ponsel membuat Dika keluar dari pikiran beratnya. Rupanya Janis sudah mengirim nomor Desti. Dipandangi barisan angka itu kemudian menyimpanya di ke dalam kontak. Sedikit tertarik dengan foto profil yang dipasang wanita itu di akun whatsappnya.
"Cantik juga," gumamnya. Setelah beberapa menit laki-laki itu diam hanya untuk memandangi foto karyawanya itu, hingga kemudian tersadar dan mengusap wajahnya kasar. "Ngapain gue liatin foto dia coba? Gak penting banget kan?" Ucapnya pada diri sendiri. "Cewe model kaya dia pasti pacarnya bertebaran dimana-mana." Ucapnya lagi Sambil membanting ponselnya sedikit keras ke dalam laci dan menutupnya tidak kalah keras. Namun ketika dia hendak meraih salah satu berkas pekerjaannya, terdengar suara tangisan dari box Regarta.
"Bodoh! Regarta kan lagi tidur ngapain gue banting-banting Hp" Gerutunya.
***
"Aduh Niken untung kamu datang, aku udah mau pingsan." Ucap Desti masih dengan deru napas yang memburu disertai keringat dingin yang mengucur.
"Makanya mbak, jangan suka lupa sama obatnya." Wanita itu tersenyum. Mereka sedang berada di kantin kantor sekarang. Kebetulan memang waktu sudah menunjukan jam makan siang.
"Masih pucet gak?" Niken mengangguk. Sambil berdecak, Desti merogoh tasnya dan mengeluarkan lipstik dari dalam sana. Wanita itu dulunya tidak pernah ber make up jika tidak di atas panggung, tapi sekarang semua itu menjadi andalanya agar senantiasa terlihat normal di hadapan semua orang.
Tiba-tiba Seorang anak kecil merangkak dan langsung memeluk kaki Desti. Membuat wanita itu terlonjak kaget tapi langsung terkekeh melihat senyum dua gigi yang ditampilkanya. "Regarta sudah bangun." Desti langsung mengangkat bayi gembul itu kedalam pangkuanya dan menciuminya. Anak itu mulai mengoceh kegirangan. Membuat Niken jadi ikutan gemas.
"Anak siapa mbak?" Niken menjawil pipi gembil Rega yang menggemaskan.
"Pak bos, tapi kemana yah orangnya? Kenapa Rega bisa ada disini?" Desti celingukan mencari keberadaan Dika tapi tidak menemukanya.
"Pak bos ganteng?" Tanya Niken penasaran. Desti tersenyum sambil mengangguk.
"Jadi Dia udah punya anak dan mbak Desti masih suka?"
"Sssstttt... Jangan keras keras nanti ada yang denger." Ucap Desti memperingatkan. Desti merapikan alat makeup-nya dengan tersenyum karena melihat bocah menggemaskan itu memakan rambutnya.
"Aku gak masalah dia punya anak, lagian lucu gini siapa yang bisa nolak." Ujar Desti gemas sambil menciumi leher regarta bertubi-tubi. Niken tersenyum. Bosnya itu memang sangat baik hati dan penyayang. Dalam hati wanita itu berdoa semoga Desti panjang umur dan selalu diberi kesehatan.
"Daddy kemana sayang?" Tanya Desti. Regarta mulai mengeluarkan bahasa bayinya sambil berusaha meraih rambut desti yang teruarai.
"No Rega! gak boleh makan rambut tante." Desti merogoh tasnya dan mengeluarkan biskuit s**u dari sana kemudian memberiknnya pada Rega. Bayi itu langsung mengemut biskuit dengan riang. Sesekali mengeluarkan bahasa bayinya. Membuat Desti dan Niken tertawa gemas.
"Mbak Desti udah pantes loh punya anak." Ujar Niken memuji. Wanita itu tersenyum penuh binar. Tidak bisa dipungkiri bahwa Desti begitu menyayangi anak-anak. Tapi cahaya matanya Langsung redup begitu mengingat mungkin saja dia tidak akan bisa punya anak, atau tidak sempat punya anak. Melihat itu Niken mengusap lengan Desti lembut.
"Mbak pasti sembuh, gak usah terlalu dipikirin. Harus tetap semangat oke!" Desti tersenyum mengangguk.
"Emangnya kamu sakit Des? Kenapa gak kerumah sakit?" Sura itu. Desti dan Niken langsung membalikan badan menuju sumber suara. Disana ada Dika yang langsung mengambil posisi duduk di samping Desti.
"Cuma masuk angin doang pak." Jawab Desti bohong. Sementara Niken masih belum berkedip melihat pahatan sempurna ciptaan tuhan yang sekarang sedang duduk dihadapanya.
"Kalau bentuknya kaya gini punya anak sepuluh juga Niken ikhlas dijadikan istri." Ucapnya dalam hati. "Pantesan aja mbak Desti rela susah payah kerja di kantor ini demi bisa ketemu bos gantengnya ini. Wong kaya malaikat gitu gantengnya." Tambahnya lagi.
"Dicariin anak daddy malah Disini." Ucap Dika sambil menoel pipi gembul Rega.
"Iya tadi merangkak ke sini Kangen sama tante Desti yah?" Lagi-lagi bayi itu mengeluarkan bahasa planetnya. Membuat kedua orang itu tertawa.
Sementara Niken, sejak tadi sudah senyum-senyum sendiri melihat pemandangan romantis dihadapanya. Benar-benar seperti keluarga kecil yang bahagia. Semoga saja suatu hari nanti hal itu benar-benar menjadi nyata. Karena orang sebaik bosnya pantas untuk bahagia.
"Yaudah mbak Desti Niken pulang yah. Bunda sendirian di kafe." Dika baru sadar ada orang lain di tempatnya. Sebenarnya ada apa dengan matanya? Kenapa yang dilihat cuma Desti.
"Oh iya , makasih yah Ken mau direpotin." Wanita itu tersenyum.
"Mari pak saya duluan." Pamitnya ramah. Dika membalas dengan tersenyum sama ramahnya.
"Dia teman kamu?" Ucapnya penasaran. Desti menggeleng.
"Keluarga." Jawab Desti sambil tersenyum manis sekali. Membuat Dika sedikit kawatir lama-lama dia bisa terkena Diabetes.
***