Kembali Ke Jogja

2151 Words
“Rumi sudah selesai antar makanannya?” “Sudah, Bu. Ini tinggal membersihkan peralatan masak.” “Kalau begitu kamu pulang saja dulu biar yang lainnya yang membersihkan peralatan masak.” “Tapi, Bu ...” “Sudah, sana berkemas. Setelah itu langsung pulang!” “Iya, Bu. Kalau begitu, Rumi sekalian ijin pamit.” “Iya, sampai rumah langsung istirahat ya.” Arumi mengangguk, dia langkah menuju ke ruang istirahat para juru masak. Rombongannya langsung bekerja setelah sampai di rumah sakit. Mereka tidak memiliki waktu untuk beristirahat dikarenakan jumlah pasien yang sedang dirawat melonjak drastis. Ada sebuah kecelakaan di proyek pembangunan gedung pusat perbelanjaan. Bangunan berlantai 3 itu tiba-tiba roboh saat para pekerja sedang berada di basement. Mengakibatkan puluhan orang mengalami luka ringan hingga berat. “Arumi ...” “Pak Dokter, selamat sore.” “Sore, Rum. Mau pulang?” “Iya, Pak.” “Maaf ya gara-gara perintah saya liburan mu jadi terganggu.” “Kenapa harus minta maaf, Pak? Ini ‘kan sudah tugas Rumi sebagai juru masak rumah sakit.” Ace tersenyum pada karyawan sekaligus sahabat sang istri. “Sebenarnya, aku meminta maaf bukan sebagai atasan mu melainkan sebagai calon sepupu mu.” “Pak Dokter.” “Bagaimana rasanya setelah bertemu dengan keluarga Elang?” tanya Ace. “Mereka semua baik. Tapi ya begitu ...” “Maksudnya?” “Tipikal Kak Elang. Suka memaksa.” Ace terkekeh, dia sudah diberi tahu oleh Nala apa yang terjadi selama di jakarta. Namun, dia ingin memastikan sendiri jika Arumi baik-baik saja selama berada di sekitar keluarga Elang. Setelah mengenal Arumi lebih dekat dan mengetahui kisah hidupnya. Ace sudah menganggap sahabat istrinya itu sebagai adik perempuannya. Meskipun, sudah mengenal Elang. Tetap saja dia harus memastikan jika keluarga besar Elang menerima dengan baik kehadiran Arumi. “Sudah bertemu dengan Papi Elang?” Arumi menggeleng. Dia memang baru bertemu dengan Mami Elang karena Papinya dalam perjalanan bisnis ke jepang. “Belum, semoga saja saja tidak pernah bertemu.” “Kenapa?” “Takut, Pak Dokter. Bertemu dengan Mami Kak Elang saja Rumi sangat gugup. Apalagi kalau bertemu Papinya bisa-bisa langsung pingsan.” Ace tertawa dengan jawaban polos Arumi. Memang tidak jauh berbeda dengan istri cantiknya. “Nanti kalau sudah jadi mertua bakal terbiasa, Rum. Percaya sama saya!” “Gak mau ah! Rumi tetap gak akan terima tawaran menikah dari Kak Elang.” “Karena status sosial atau karena hutang?” tebak Ace langsung pada intinya. Arumi yang sejak tadi melihat ke arah samping seketika mengarahkan pandangannya pada atasannya. Ace selalu saja berbicara blak-blakan padanya. Tidak akan ada rahasia diantara mereka. Apalagi, jika Nala sendiri yang turun tangan. Arumi tidak akan bisa mengelak. “Dua-duanya. Pak Dokter tahu sendiri ‘kan? Arumi ingin membantu melunasi hutang-hutang yang dimiliki oleh Ibu dan Bapak. Rumi ingin melihat di masa tua beliau berdua hanya ada kebahagiaan bukan ketakutan karena setiap bulan di kejar debt collector.” Arumi menarik nafas dalam agar rasa sesak di dadanya berkurang. “Rumi ingin berjuang sendiri untuk membantu kedua orang tua. Kak Elang memang pernah menawarkan bantuan tapi ditolak oleh Bapak. Kami sudah tidak percaya lagi dengan orang yang ingin membantu tanpa pamrih. Semuanya bohong! Mereka pasti akan meminta imbalan.” Air mata Arumi akhirnya tumpah juga. Dia sudah tidak bisa membendung rasa sesak di dalam dadanya. Hanya dengan Ace dan Nala dia bisa meluapkan segala emosi yang tengah di pendamnya. Keluarga Arumi pernah percaya dengan kerabat dekatnya. Mereka menawarkan bantuan tanpa meminta imbalan sepeserpun. Namun, kenyataannya mereka berkhianat. Rumah dan segala aset yang dimiliki keluarga Arumi semuanya berpindah tangan kepemilikannya. Membuat keluarga Arumi harus bersusah payah mencari tempat tinggal yang baru. Di saat mereka tidak memiliki uang sepeserpun untuk mengontrak. Dengan sangat terpaksa Ayah Arumi meminta izin untuk tinggal sementara di kamar marbot masjid. “Apa Elang dan keluarganya seperti saudaramu yang penipu itu, Rumi?” Arumi menggeleng, tangisnya belum reda. Dia kini bahkan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Lalu apa yang menjadi alasanmu menolak tawaran bantuan darinya? Kamu bahkan menolak tawaran bantuan dari sahabatmu sendiri. Nala sangat sedih setiap mendengar rumahmu di datangi para preman itu, Rum. Dia selalu menangis karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk padamu. Apa saya dan Nala juga terlihat seperti penipu yang akan meminta pamrih ketika membantumu?” Arumi kembali menggeleng, dia kini terduduk di kursi yang berjejer rapi di dekat resepsionis. Bahunya semakin bergetar menandakan tangisnya semakin kencang. “Tidak semua orang sama seperti keluargamu yang jahat itu, Rumi. Saya tahu jika ada trauma yang dirasakan oleh keluargamu. Jika kamu sendiri tidak mau berusaha melawan ketakutan yang ada di dalam dirimu. Sampai kapanpun kamu tidak akan bisa melihat ketulusan orang-orang yang ada di dekatmu.” “Pak Dokter ...” ucapnya dengan sesenggukan. “Arumi mau pulang.” Ace tidak menjawab, dia meminta sekretarisnya membantu gadis yang sedang menangis itu menuju ke parkiran mobil. Hari ini dia akan membawa Arumi pulang ke rumahnya. Sesuai permintaan dari istrinya yang merindukan sahabat sholehah nya. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah orang tua Ace, Arumi terus saja diam. Ace yang berada di kursi depan samping sopir sibuk dengan ipad yang ada di tangannya. Hingga, tidak terasa mobil yang ditumpangi sampai di rumah mewah milik Yang Mulia Reiga. “Arumi imutssss ...” teriak Ibu hamil yang sudah ada di depan teras rumah. “Sayang, jangan berlari!” seru Ace. Nala melambatkan langkahnya karena mendapatkan teguran dari suaminya. Dia berjalan ke arah Arumi yang baru saja turun dari mobil. “Arumi, kangen banget sama kamu.” “Rumi juga kangen sama Nala.” Keduanya berpelukan, Arumi masih dalam suasana hati yang tidak baik kembali menangis dalam pelukan Nala. Tangan Nala yang berada di punggung Arumi bergerak memberikan ketenangan. Suaminya tadi sudah memberitahunya soal kondisi sahabatnya. “Kalau Rumi masih ingin menangis gak papa, kok. Keluarkan saja ya? Jangan ditahan. Biar rasa sesak di d**a Rumi menghilang.” “Maaf ‘kan Rumi ya, La. Selama kita berteman sering sekali Rumi tolak niat baik kamu.” “Gak papa. Pasti rasanya sulit percaya dengan orang yang menawarkan bantuan. Apalagi, kita belum lama kenal. Iya ‘kan?” Arumi mengangguk, dia melepaskan pelukan Nala. Sahabatnya sedang hamil tidak mau membuatnya kesusahan bernafas akibat pelukan erat. “Matanya bengkak, Rumi udah gak imut lagi.” Nala terkekeh saat mengatakan itu. “Ayok masuk, nanti kita kompres pakai es batu. Jangan sampai Kak Elang ketakutan saat lihat keadaan Rumi yang seperti ini,” godanya. “Nala ...” rengek Arumi. Ace tersenyum melihat hubungan persahabatan antara Nala dan Arumi. Kedua gadis polos dan baik hati itu memang terlihat sangat menggemaskan. Mereka saling manja dengan satu sama lain, seperti saudara kembar. Nala mengajak Arumi masuk ke kamar tamu. Dia meminta Bibik menyiapkan makan malam di dalam kamar. “Sudah terlihat cantik lagi,” ucap Nala. “Memangnya tadi jelek banget ya?” “Sangat. Kayak zombie, bikin Nala dan dedek bayi takut.” Arumi mendengkus, dia menaruh hair dryer selesai mengeringkan rambut. Setelah mandi badannya menjadi sangat segar. Hari ini memang menjadi hari yang sangat berat untuknya. Selain pekerjaan yang tiada hentinya dia juga lelah menangis. “Memangnya ponakan Rumi sedang apa sekarang?” “Bobok, dia gak ada gerak sejak kamu mandi.” “Biasanya gimana?” “Gak, bisa diam. Tendang sana sini.” “Kayak siapa?” Nala mengerucutkan bibir, semua keluarganya sering mengatakan jika calon anaknya sangat aktif sama persis dengannya. “Nanti kalau sudah lahir dedek bayi seperti siapa ya wajahnya?” Arumi naik ke atas ranjang, dia masuk ke dalam selimut yang sudah dibuka lebar oleh Nala. “Biasanya, anak perempuan akan lebih mirip ke ayahnya.” “Nala juga mikirnya begitu.” “Jadi, tidak ada masalah ‘kan?” Nala mengangguk kemudian menggeleng. Membuat Arumi bingung dengan sikap sahabatnya. “Tidak ada masalah karena suamiku ganteng. Tapi, ada sedikit masalah juga.” “Apa?” “Rumi bayangkan deh, kalau anak aku wajahnya datar kayak kanebo kering terus sikapnya pecicilan. Nah, bagaimana bentuknya nanti?” Arumi terbahak mendengar ucapan Nala. Memang bisa sekali dia kalau disuruh melawak. Bertemu dan mengobrol dengan Nala adalah mood booster untuk Arumi. “Rum ...” “Iya.” “Keadaan Bapak dan Ibuk, bagaimana?” “Alhamdulillah, sehat. Meskipun beliau berdua semakin kurus.” “Maaf ya, Nala belum bisa jenguk.” “Gak papa, kamu ‘kan sedang hamil. Kalau tiba-tiba datang ke rumah bakal kena omel sama Ibuk.” “Memangnya Ibuk bisa mengomel?” “Ya, bisalah. Kamu ini!” Nala terkekeh, dia mengambil satu tangan Arumi. “Kenapa sih gak mau terima bantuan dari Nala?” “Biar aku berusaha dulu, La. Rumi masih bisa kok bekerja membantu melunasi hutang Bapak.” “Tapi kamu ini perempuan, Rum. Aku sering kepikiran setiap awal bulan takut kamu kenapa-napa. Rentenir itu sudah sangat keterlaluan, dia memberikan bunga yang tidak ada habisnya pada hutang Bapak. Sampai kapanpun tidak akan lunas, Rum.” “Maaf ya, La. Kamu memang sahabat terbaikku!” Arumi tersenyum getir. “Kemarin aku sudah bicara sama rentenir itu, dia setuju tidak menambah bunga pada hutang Bapak. Semoga saja dia bisa menepati janjinya.” “Arumi mau ya terima bantuan dari Nala?” “La ...” “Ini bukan uang pemberian Mas Ace tapi hasil dari bisnis yang sedang aku jalankan. Mau ya, Rum?” “Aku tahu kok, La. Setiap bulan kamu sudah memberikan uang lewat gaji sebagai juru masak di rumah sakit. Itu sudah sangat cukup buatku. Selain bisa untuk mencicil hutang masih ada sisa buat isi celengan ayam.” “Rumi tahu dari mana?” “Gak sengaja tahu lebih tepatnya. Waktu itu Rahma bilang jika dia juga mendapatkan bonus dari manajemen rumah sakit tapi hanya 2 kali. Saat rumah sakit berulang tahun dan hari raya idul fitri. Anehnya, gaji ku setiap bulan bertambah terus. Kalau bukan kerjaan nyonya Al-Fathan siapa lagi yang bisa melakukan itu?” “Jangan di tolak ya, Rum. Kamu harus pura-pura nggak tahu!” Kedua mata Nala berkedip-kedip sedang mengeluarkan jurus rayuan mautnya. Semenjak dia menikah dengan Ace, Nala memanfaatkan kekuasaan suaminya untuk memberikan gaji tambahan untuk sahabatnya. Uang yang diberikan adalah hasil dari usaha toko roti bukan uang pemberian dari sang suami. Nala kira, apa yang dia lakukan tidak akan ketahuan oleh Arumi. Ternyata dugaannya salah, sahabatnya memang sangat pandai. “Kamu ini, suka sekali memaksa. Mirip Kak Elang ...” “Kita ‘kan saudara, Rum.” “Iya, satu keluarga suka sekali memaksa.” Nala tersenyum jahil pada Arumi. Dia lupa jika sahabatnya baru saja bertemu dengan keluarga sepupunya. “Bagaimana rasanya setelah bertemu dengan calon Ibu mertua?” “Husssttt, ngawur kalau bicara!” “Yeyyy, kalau Rumi terima ajakan menikah Kak Elang. Tante Ariska sudah jadi Ibu mertua kamu.” “Mami Kak Elang baik sama seperti Kak Claudia.” “Kalau Om Cakra bagaimana?” “Belum bertemu, beliau sedang berada di luar negeri.” “Tante Ariska tidak bisa masak sama sekali, Rum. Makanya, beliau cari menantu yang pintar masak. Waktu Kak Elang cerita soal kamu, Tante Ariska langsung setuju. Semangat sekali mau ke jogja buat lamar Rumi.” “Lah, kok gitu? ‘kan sudah aku tolak, La.” “Mana mau menyerah begitu saja Kak Elang. Cinta itu harus diperjuangkan, Rumi. Sama seperti cinta Nala sama Pak Dokter kesayangan. Lihat ini hasilnya,” Nala menunjuk pada perut buncitnya. “Kak Elang sangat susah untuk digapai, La.” “Kenapa kamu harus menggapai? Dia akan datang dengan sendirinya pada mu, Rumi. Percaya sama dia! Nala yang akan menjadi orang pertama yang membelamu jika Kak Elang berani berkhianat.” Arumi menghela nafas, Nala tidak akan pernah setuju jika dia menolak sepupunya. Semua orang yang ada di sekitarnya mendukung Elang, tidak ada yang mendukungnya sama sekali. “Bapak dan Ibuk kasih restu ‘kan?” tanya Nala. “Awalnya Bapak tidak merestui. Beliau takut jika Kak Elang hanya memanfaatkan kebaikannya demi tujuannya mendapatkan ku. Kalau, Ibuk selalu ikut apa kata Bapak.” “Terus?” “Sepertinya Bapak sudah terkontaminasi dengan rayuan Kak Elang. Mereka berdua sekarang sudah menjadi teman ngopi di pangkalan.” Nala terkekeh mendengar gerutuan sahabatnya. “Kak Elang mau ngopi di pangkalan ojek? Di sana ramai sekali pasti.” “Hmm ... bukan hanya ramai, La.” “Perjuangan Kak Elang memang totalitas tanpa batas, Rumi. Kamu tahu sendiri ‘kan dia sangat tidak suka makan ataupun nongkrong di keramaian?” “Iya.” “Lalu, masih ragu dengan kesungguhan hati sepupuku?” Arumi terdiam, dia tidak bisa menjawab. Meskipun, kebaikan Elang selama ini pada keluarganya tidak dapat dihitung. Tetap saja, tidak ada sedikitpun rasa cinta untuk Elang dari dalam lubuk hatinya. "Aku tidak merasakan debaran apapun setiap kali berdekatan dengan Kak Elang! Aku anggap itu sebagai tanda aku tidak mencintainya." "Kamu bisa belajar mencintai Kak Elang Rumi! Cinta akan datang dengan sendirinya saat kalian sudah terbiasa satu sama lain." "Bagaimana, jika setelah belajar. Aku tetap tidak bisa mencintai Kak Elang?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD