Si Penumpang Sarapan

1690 Words
Arumi bangun lebih pagi karena harus membantu Ibunya menyiapkan pesanan kue yang akan di buat arisan para sosialita di komplek depan perkampungannya. Meskipun, tubuhnya sedang terasa lelah. Arumi tetap semangat membantu Ibunya tanpa mengeluh sedikitpun. "Ibu mau sarapan apa pagi ini?" "Masak yang mudah saja, Nak. Ibu tidak mau kamu telat berangkat kerja." "Nasi goreng, Buk?" "Boleh, seperti biasa. Bapak pakai telur dadar banyak irisan cabai dan bawang merah." "Siap, Ibuk. Kalau Ibuk pakai telur orak-arik 'kan?" "Iya, Sayang." Arumi bergegas mengambil bahan-bahan yang digunakan untuk memasak nasi goreng. Pesanan kue sudah siap tinggal menunggu si pemesan datang mengambil. Dia meminta Ibunya beristirahat sebentar sambil menunggu sarapan yang dibuatnya jadi. Bapaknya masih tidur setelah pulang kerja sebagai driver ojek online. Kehidupan Arumi awalnya berkecukupan sebelum Kakaknya terjerat kasus korupsi di tempat kerjanya. Keluarganya harus mengganti rugi uang dalam jumlah sangat banyak dari hasil putusan pengadilan. Kedua orang tuanya harus menjual rumah dan menguras semua tabungan yang mereka miliki. Itupun masih kurang, mereka masih harus berhutang pada rentenir. "Ibu, Bapak. Sarapan sudah siap." Panggil Arumi. Karena tidak ada jawaban dari kedua orang tuanya. Arumi memutuskan mandi terlebih dahulu. Setelah itu, akan membangunkan Ayah dan Ibunya untuk sarapan. Burung Elang "Arumi, aku lapar sekali. Bolehkah aku menumpang makan di rumahmu?" Saat Arumi memasukkan ponselnya ke dalam tasnya. Ada satu pesan masuk dari pria yang membuatnya pusing sejak Minggu kemarin. "Ngapain sih Kak Elang minta makan sama Rumi? Dia 'kan tinggal di rumah Nala pasti banyak sekali makanan enak disana." Hari-harinya di rumah sakit kini terganggu dengan keberadaan Elang. Pria itu selalu tiba-tiba muncul saat dia sedang beristirahat. "Ada tamu," Ucap Hasyim. "Biar Rumi saja yang buka pintu, Pak." Arumi bergegas menuju ke depan untuk melihat siapa yang pagi-pagi sudah datang bertamu. "Assalamualaikum," ucap pria tampan yang datang membawa banyak bingkisan. "Ngapain Kakak ke sini?" "Jawab dulu salamnya Arumi." "Waalaikumsalam. Kakak kenapa bisa sampai di sini?" Elang tidak menjawab, dia malah tersenyum manis pada gadis yang kini sedang menatapnya dengan kesal. Sengaja tidak membalas pesan agar bisa terhindar dari makhluk tampan yang bernama Elang. Eh ... Orangnya malah sudah berada di depan rumahnya. "Mau minta sarapan, Arumi. Perutku sudah lapar sekali." "Sudah tau lapar kenapa malah ke sini bukan sarapan di rumah Nala." "Maunya sarapan buatanmu, Rum. Kamu tidak ada niatan buat ajak aku masuk ke dalam. Pegel tanganku bawa ini semua," tunjuknya pada bingkisan yang berisi sembako. Dengan terpaksa Arumi mengajak Elang masuk ke dalam rumahnya. Dia tidak langsung mengajak pria itu sarapan tapi meminta izin dulu pada kedua orang tuanya. Setelah mendapatkan izin, barulah Arumi mengajak Elang sarapan. Orang tuanya menyambut dengan hangat kedatangan tamunya meskipun mereka belum mengenal pria itu. "Kenapa repot-repot membawa banyak bingkisan, Nak?" "Tidak, apa-apa Ibuk. hanya sedikit oleh-oleh saja." "Sekali lagi terima kasih, Nak." Elang tersenyum, Calon Ibu Mertuanya terharu sampai berkaca-kaca matanya ketika mendapat bingkisan sembako. "Jadi, Nak Elang ini teman kerjanya Arumi?" "Sebenarnya, tidak Pak. Saya kenal Rumi dari Nala. Saya sepupu dari Nala yang tinggal di Jakarta." "Lalu, sekarang di Jogja sedang apa?" "Kebetulan ada pekerjaan di Jogja, Pak. Kebetulan nya lagi saya sedang mengerjakan proyek gedung rumah sakit yang baru." "Nak Elang yang sedang membangun gedung rumah sakit yang baru di bangun itu?" "Iya, Pak." Hasyim menganggukkan kepala, dia sudah mengira jika pria yang duduk di depannya memiliki tujuan lain. "Bapak sebenarnya tidak pernah melarang Arumi memiliki teman lawan jenis. Namun, ada beberapa aturan yang Bapak terapkan pada diri Arumi. Apa Nak Elang sudah tahu itu?" "Iya, Pak. Saya sudah tahu, Arumi sudah mengatakannya. Maka dari itu, saya ingin mengutarakan niat meminta Arumi untuk menjadi istri Elang." "Meminta dalam artian apa?" "Menikah, Pak. Saya berniat ingin menikah dengan Arumi." Hasyim tersenyum. "Nak Elang, menikah itu bukan masalah yang sepele. Bisa diutarakan dengan mudahnya begitu saja. Bapak minta kamu memikirkan kembali apa yang barusan kamu ucapkan tadi." "Saya sudah memikirkan niatan saya puluhan kali, Pak. Bahkan saya juga sudah melakukan shalat malam untuk meminta petunjuk dari Allah. Jawabannya, wajah Arumi yang sedang tersenyum selalu muncul di mimpi saya." Hasyim menghela nafas, dia merasa jika pria yang sedang meminta putrinya secara langsung ini tidak akan menyerah dengan mudahnya begitu saja. "Nak Elang, apa kamu tahu kondisi keluarga Arumi?" Elang mengangguk, dia sudah diberi tahu oleh Nala mengenai musibah yang telah menimpa keluarga Arumi. "Iya, Pak. Insyaallah saya bisa menerima keadaan Arumi dan keluarganya. Saya juga berniat membantu jika sudah menjadi suami dari Arumi. Bukankah, jika saya menikahi Arumi otomatis akan menjadi anak Bapak juga? Tugas seorang anak adalah memastikan kedua orang tuanya hidup dengan bahagia. Dan saya, Elang akan membuat Bapak dan Ibu bahagia." "Keluarga Bapak memiliki banyak sekali hutang, Nak. Kami sekarang sedang berjuang untuk mendapatkan kembali kehidupan yang dulu pernah kami jalani. Nak Elang bisa mempertimbangkan kembali niatan untuk menikah dengan Arumi." "Mohon maaf sebelumnya, Pak. Saya sudah tahu mengenai hutang yang keluarga Bapak miliki. Bukan berniat tidak sopan tapi saya bersedia membantu melunasi hutang-hutang yang Bapak miliki." Hasyim kembali menghela nafas, dia kini tidak memiliki alasan lagi untuk menolak Elang. Meskipun, belum mengenal Elang dengan dekat. Namun, feeling seorang Ayah merasa Elang tipe Pria baik dan bertanggung jawab. "Bapak tidak bisa memutuskan secara sepihak karena Arumi yang akan menjalani kehidupan berumah tangga. Jadi, Bapak harus bertanya padanya terlebih dulu, Nak." "Iya, Pak. Saya akan menunggu jawaban dari Bapak." Hasyim mengangguk dia memanggil Arumi yang sedang berada di kamarnya. Putrinya sejak tadi menunggu kapan dia dipanggil untuk keluar. "Bapak ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan pada Rumi. Apa masih ada waktu?" Arumi melihat jam yang ada di tangannya. "Maaf, Bapak. Sudah waktunya Arumi berangkat bekerja. Apa bisa di tunda dulu?" "Bisa, Nak. Nanti saja ketika Rumi sudah pulang kerja." Elang menawarkan diri untuk mengantar Arumi pergi ke rumah sakit namun ditolak langsung oleh Hasyim. "Saya tidak sendirian di dalam mobil, Pak. Ada Sekretaris sebagai supir jadi tidak akan berduaan dengan Arumi." "Maaf, Nak. Tetap saja Bapak tidak bisa memberikan izin." Mendapatkan penolakan dari Hasyim, Elang hanya bisa menerima dengan hati lapang. Dia tau sekali Hasyim sangat ketat menjaga putri kesayangannya. Elang justru bahagia karena gadis incarannya sangat terjaga dengan baik. Sementara, Arumi bisa bernafas lega. Dia tidak perlu membuat alasan untuk menolak Elang. Bapaknya memang yang terbaik! Tahu saja dia malas sekali berurusan dengan Elang. *** "Arumi, bisa bantu aku?" "Iya, Rahma mau minta bantuan apa?" "Aku di suruh membuat makan siang untuk Dokter Ace dan Sepupunya. Tapi, aku tidak bisa membuatkan menu makanan yang mereka pesan. Sebenarnya, bukan tidak bisa masalah masaknya. Tapi, aku tidak percaya diri takut hasil masakannya tidak sesuai selera mereka." "Bukannya, itu tugas dari senior ya? Kenapa bisa kamu yang diminta?" Rahma menjelaskan pada Arumi jika Ace dan Sepupunya meminta makanan yang dimasak beberapa hari yang lalu. "Tapi 'kan kemarin mereka tahunya senior yang memasak, Ma. Biarkan senior saja yang memasaknya. Mereka tidak sedang kerepotan membuat makan siang untuk para tamu penting 'kan?" "Iya, Rumi. Senior sedang tidak ada pekerjaan yang penting. Sepertinya, mereka ingin mendapatkan pujian dari masakan yang kita buat," bisik Rahma. Arumi menghembuskan nafas. Selalu saja begitu, senior memang sering memanfaatkan juniornya dalam hal pekerjaan. "Ya, sudah. Kita mulai masak saja sekarang keburu jam istirahat nanti," jawab Arumi. Dia mengajak Rahma bergegas membuat menu makan siang yang di pesan oleh Ace dan Sepupunya. Sepertinya, Arumi tidak menyadari jika Sepupu Ace adalah pria yang tadi pagi minta sarapan di rumahnya. Selesai, membuat masakan untuk para petinggi perusahaan. Arumi dan Rahma langsung menuju ke masjid rumah sakit untuk menjalankan kewajibannya. Masakan yang mereka buat sudah di klaim oleh senior sebagai hasil masakan mereka. Sering terjadi, hal semacam itu. Namun, mereka hanya bisa diam saja menerima ketidakadilan. Burung Elang "Terima kasih makan siangnya, Rumi. Rasanya selalu enak, tidak pernah gagal menyapa lidah dan perutku." Selesai makan siang, Arumi mendapatkan pesan dari Elang. Dia mengucapkan terima kasih untuk makan siangnya. "Rumi, kenapa melamun?" "Aku sedang bingung, Ma." "Rumi sakit?" Arumi menggelengkan kepala. "Bukan karena sakit tapi aku bingung kenapa Kak Elang bisa tahu jika yang masak makan siang bukan senior. Padahal tadi 'kan yang mengantarkan mereka." Arumi menunjukkan layar ponselnya pada Rahma. Sahabatnya itu ikut mengerutkan kening. Bingung kenapa bisa pemilik rumah sakit dan sepupunya tahu jika mereka yang memasak. "Apa mungkin ada yang mengadu?" "Aku juga tidak tahu, Ma. Yang paling penting sekarang jangan sampai senior tahu. Bisa-bisa kita akan mendapatkan hukuman jika sampai itu terjadi." Rahma mengangguk, wajahnya terlihat panik. Dia ini hampir sama dengan Arumi, polos dan penakut. Meskipun, umurnya lebih tua dari Arumi. Selesai bekerja, Arumi tidak langsung pulang. Dia mampir sebentar untuk menjenguk tetangganya yang melahirkan semalam. Ini atas perintah dari Ibunya jadi Rumi harus melaksanakannya. "Arumi belum pulang?" tanya Ace, dia baru saja selesai mengecek pembangunan gedung rumah sakit yang baru. "Belum, Dok. Baru saja menjenguk tetangga yang melahirkan di sini." Ace mengangguk lalu pamit pada sahabat istri kesayangannya. Saat Arumi akan melanjutkan langkahnya menuju ke lobi rumah sakit, Pria yang tadi pagi mengganggunya kini sedang berlari menuju ke arahnya. "Rumi kenapa belum pulang? Ini sudah mau magrib." "Tadi jenguk tetangga dulu, Kak. Ini baru mau pulang." "Naik apa?" "Jalan kaki seperti biasanya. Lagian deket juga rumahnya." "Mau diantar apa tidak?" Dengan cepat Arumi menggeleng, dia tidak mau jika pulang diantar oleh Elang. "Kak Elang tidak perlu mengantar. Rumi akan pulang sendiri." "Kalau begitu, aku antar sampai gang masuk rumah mu ya?" "Tapi, Kak ..." "Sudah ayok buruan jalan, Rumi. Keburu makin gelap," saut Elang. Arumi melanjutkan langkahnya dengan Elang mengikutinya dari belakang. Karena, Arumi tidak akan mau berjalan berjejer dengan lawan jenis. Hanya dengan cara itulah Elang bisa mengantar pulang pujaan hatinya. Saat sudah sampai di depan gang masuk perkampungan. Arumi berbalik ke arah Elang, pandangannya tetap menatap ke bawah. "Sampai sini saja, Kak." "Iya, Arumi. Pulanglah segera, aku akan menunggu sampai kamu berbelok ke halaman rumah." Sebelum Rumi benar-benar melanjutkan langkahnya, dia menyampaikan sesuatu hal penting pada Elang. "Kak, boleh bicara sebentar?" "Tentu saja. Rumi mau bicara soal apa?" "Bisakah, Kak Elang menghentikan niatan untuk menikahiku?" Kedua tangan Arumi saling meremas karena gugup. "Tidak bisa, Rum. Aku sudah terlanjur mengatakan niat baik itu pada Bapak. Bagaimana bisa aku menarik janjiku? Sedangkan, seorang pria sejati selalu menepati janjinya." "Kalaupun, Kak Elang dapat menepati janji. Sementara Rumi tetap menolak, Kakak bisa apa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD