Dara heran kenapa Varel datang ke rumahnya, ini hal yang amat sangat langka. Pada saat itu Dara pernah menyukai Varel, tapi sayangnya laki-laki ini terlalu sulit untuk dijangkau, akhirnya Dara memilih mundur dan berpaling ke Leon.
"Tumben, ada apa, Rel? Ayo masuk dulu."
Varel memberikan sebuah kertas yang dia ambil dari mading tadi kepada Dara. "Baca! Itu lo kan yang buat? Lo mengkambinghitamkan gue atas masalah yang menimpa lo."
"Nggak, Rel, gue aja nggak sekolah lagi."
"Jadi menurut lo, ini berita bisa muncul sendiri?"
Dara terpikir sesuatu, daripada bayinya lahir tanpa ayah, lebih baik dia memanfaatkan kesempatan ini, siapa pun terima kasih sudah membuat berita hoax ini.
"Iya, ini kan anak kamu, kamu lupa malam itu kita buat dengan suka cita."
Niat Varel ke sini ingin meminta klarifikasi dari Dara, tapi justru terjebak.
"Lo stres, Dar?"
"Kamu lupa, Rel. Kita malam itu di hotel Mulia saling memadu kasih, bahkan main 10 ronde, lho. Dari jam 10 malam sampai jam 3 pagi." Dara sengaja menaikkan volume suaranya, agar orang tuanya bisa mendengar hal tersebut.
"Sinting." Malas berhubungan lagi dengan Dara, akhirnya Varel memilih berbalik badan, belum dua langkah berjalan dia mendengar suara seseorang.
"Jadi kamu yang menghamili anak saya!" ujar Alan dengan wajah tak bersahabat. "Kamu harus bertanggung jawab, kalian harus menikah."
Varel menoleh ke sumber suara, dan menatap wajah pria itu dengan tajam, lalu memperhatikan Dara yang berpura-pura memasang wajah paling sedih.
Gue harus nikah sama dia? Yang benar aja! Terus pacar gue si Gilang harus dikemanain?
"Sorry, anak Bapak terlalu jelek buat saya, permisi." Tidak peduli lagi dengan teriakan Alan, dia tetap naik ke motornya dan menghilang dari pandangan pemilik rumah.
***