MT 9

903 Words
“Ram,” Rama memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat mendengar sapaan mertuanya. Dan orang yang berlabel mertuanya itu sedang berada di kantornya. “Papa udah lama?” Tanya Rama mendekati Fandi, sang penguasa Fandi Corp. Perusahaan dengan ketenaran yang merajalela di kancah industri Indonesia. “Cukup lama untuk mengetahui hubungan spesialmu dengan sekretarismu. Padahal dulu selagi papa menjadi pamanmu sudah mewanti-wanti pada akal busuknya sekretaris,” Fandi tak peduli pada reaksi si sekretaris. Tak ada yang perlu ia jaga karena satu-satunya yang harus dijaga telah hilang. Anaknya, putri satu-satunya yang ia miliki pergi karena sikapnya yang buruk. “Pa, aku-” “Papa tidak minta penjelasan. Tapi tolong ingat yang satu ini. Papa ga akan membiarkan kamu bersenang-senang sementara anak Papa entah dimana keberadaannya. Kamu yang telah menghancurkan anak Papa,” atau justru aku sendiri, ucap Fandi membatin. “Dan Papa bersumpah jika bukan dia yang membalas kamu, Papa yang akan melakukan dengan senang hati,” Fandi terkekeh melihat perubahan raut ponakan sekaligus menantunya, tampak jelas bahkan anak muda itu tidak menyembunyikan kepalan tangannya. “Ah ya... silahkan jika ingin menghancurkan apa yang kamu mau tapi tentang saham, mari kita lihat sejauh apa kamu bisa bertingkah.” “Tenang saja, Pa, aku tidak berencana menghancurkan apapun, aku hanya ingin bahagia.” “Ya ,dengan menginjak kebahagian anakku lebih dulu.” Tak mau berdebat lagi karena sudah pasti dia yang akan memenangkannya, Fandi Padmaja melangkahkan kaki menjauhi menantu bodohnya. Ia geram bukan karena Rama yang kecolongan sampai Naya kabur. Tapi karena bisa-bisanya dia jatuh cinta pada sekretarisnya, padahal anak itu tau apa yang menyebabkan istrinya meninggal saat melahirkan Naya. Apalagi kalau bukan akibat sekretaris sok cantik sok seksi yang mengira semua pria akan terpikat padanya. Tapi Fandi tak mau menampik bahwa sekretaris masa kini sudah sangat canggih, menggunakan potret seorang gadis lugu untuk memikat bos mereka yang memiliki segunung uang. Murahan. “Bunga... aku mohon jangan ambil hati omongan pamanku.” “Pak Fandi adalah mertua Anda, Pak Rama, kalau Anda lupa,” ucap Bunga tanpa menoleh pada suami orang yang mampu membuatnya rela menampung semua hinaan. Yap asalkan Rama selalu berada disisinya maka ia akan menulikan telinga pada setiap omongan orang. Lagian tau apa mereka tentang perasaan Bunga dan Rama? “Kamu harus bersabar. Setelah kita temukan Naya maka secepat itu pula kita akan meninggalkan semua ini. Aku janji.” “Pak Rama.. Anda hanya punya empat menit menjelang meeting dengan Pak Burhan dan ini sangat penting,” Bunga benar-benar mengabaikan kekasihnya saat ini. Karena ia harus membuktikan bahwa ia bisa bekerja karena profesionalitasnya, bukan sekedar kekasih Rama semata. >>>  Naya shock saat tugasnya hari ini adalah mendesain cover biografi mantan suaminya. ‘Rama Dirga Padmaja, sukses diusia muda,’ begitu judulnya. “Nit... gimana kalo mulai sekarang aku pake nama pena aja, biar kesannya misterius,” ucap Naya menyembunyikan niatnya yang sebenarnya. Ia telah berusaha menjauh dari keluarganya selama  ini dan tidak akan membuat usahanya menjadi sia-sia. Bahkan ia tak pernah menjelaskan arti P pada akhir namanya yang tentu saja sama dengan milik Rama. “Hush... ada-ada aja. Justru nama kamu itu bantu kita dongkrak popularitas Nay... udah ah, kerja lagi sana katanya ga mau lama-lama jauh dari anak.” “Ini semua gara-gara Gio,” umpat Naya, ia kesal dan merasa keberadaannya terancam.  Setelah memberi aksen gedung-gedung pencakar langit di belakang wajah Rama yang tersenyum ramah, Naya memutuskan untuk pulang. “Apaan nih? Kamu cuma nambah gedung-gedung ini? Mana kreativitas kamu selama ini, Nay?” “Terus pake apa? Matahari? Bulan atau galaksi bima sakti?” Ucap Naya yang kembali memakai cardigan pastelnya. “Ga gitu juga si, setidaknya kasih awan-awan.” “Awan mendung maksud mu Nit? Ngedit aja sana...” “Kamu kayaknya emang pengen dipecat ya? Awan cerah lah,” jawab Nita kesal “Awan adalah kelemahanku Nit, aku dari dulu ga bisa gambar yang namanya awan, abis bentuknya ga jelas. Titip awannya ya, Nita,” ucap Naya tanpa menunggu respon karena ia sudah berlari menuju pintu keluar. Naya berjalan menuju honda jazz merahnya tanpa melihat kiri kanan. Tak jauh dari tempat mobilnya terparkir seseorang dengan jas yang selalu membuatnya tampak keren juga berjalan tergesa menuju pintu dimana Naya keluar tadi. “Ah, Pak Rama, maaf meminta waktunya disaat jam kerja seperti ini,” kata Feri pada orang yang sebenarnya tidak jauh-jauh beda umur dengannya apalagi dulu mereka sekolah di SMA yang sama. “Rama saja, kebetulan tadi saya ada pertemuan ga jauh dari sini.” “Ga usah pake saya kalo gitu.” Rama mencebikkan bibirnya kemudian mengangguk setuju. Semakin mereka bicara dengan cara kekeluargaan atau dalam mode teman lama, ia harap semua ini cepat selesai. “Oo... oke, mari kita liat hasil ilustrasi covernya,”  kadang Rama kesal sendiri pada pihak Animedia yang terkesan berlebihan. Jujur saja ia tidak terlalu memusingkan bagaimana bungkus bukunya nanti. Asal jadi juga tidak apa-apa tohi a tidak pernah berniat membuat buku seperti ini. Ini saja beruntung Bunga mau mendengarnya berbicara beberapa hari dan wanita kesayangannya itu membantu untuk bicara dengan editor Animedia. Rama memang tidak berharap banyak dengan cover bukunya tapi tetap saja keningnya berkerut melihat hanya ada gedung-gedung tak jelas dibelakang potret dirinya, memangnya rama pekerja kontruksi bangunan ya? Ilustrator terkenal dari penerbit besar di eropa? Apa selera orang eropa sekering ini? Tanya Rama membatin. Tapi ia tidak mengeluarkan protes karena sejak awal ia tidak peduli dengan buku itu. “Gimana, Ram?” “Oke pake ini aja.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD