"Kak Zen enggak ada di kelas. Gimana, dong?" Ran memperbaiki sunglasses sambil berjinjit di lorong tidak jauh dari kelas XI Bahasa-1 bersama Dea dan Alice untuk menunggu Zen keluar kelas. Namun, hingga saat ini sosok yang dicari belum menampakkan batang hidungnya sedikit pun.
Dea menoleh ke arah Ran kemudian menatap Alice sesaat. "Jam istrahat bakal keburu habis kalau kita di sini terus! Lo datang ke kelasnya aja, lah." Tanpa membiarkan Ran berkata sedikit pun, Dea menarik tangan Ran lalu dengan bantuan Alice langsung mendorong punggung Ran agar berjalan lebih dekat ke kelas Zen.
"A-aku harus bilang apa?" Ran panik. Namun, sudah terlambat karena Dea dan Alice sudah menjauh dari dirinya yang sekarang berdiri tepat di depan pintu kelas Zen. Mengintip untuk beberapa detik, Ran menurunkan sunglasses-nya lalu kembali mengenakannya dan mengangkat sedikit dagu dengan tangan terlipat di atas d**a. Ia mencoba berpose seperti seorang model majalah agar Zen memerhatikannya. Namun, bukan sapaan suara Zen yang Ran dapatkan melainkan sebuah ketukan pelan mendarat di kepalanya.
"Ran, lo ngapain berdiri di depan pintu begitu? Pake gaya-gaya songong lagi." Adit tertawa pelan, sambil melepas sunglasses Ran lalu mengenakannya kemudian menyandarkan tubuh di sisi kanan pintu, bergaya seperti seorang model majalah. "Sudah kayak oppa-oppa Korea belum, Ran?" Buru-buru Adit melepas sunglasses Ran. "Ah, lo cari Zen, ya?"
Ran hanya diam menggigit bibir, masih mengusap kepala yang habis di ketuk Adit lalu melirik ke kanan dan kiri seperti orang bingung. "I-iya, Kak, tapi ...."
Adit mendecak pelan, meletakkan kacamata di belakang kepala lalu merangkul bahu Ran dan menggiring gadis itu agar menjauh dari kelasnya. "Zen lagi enggak sama gue. Lo ke kantin bareng gue, ya karena gue lagi alone, dua teman gue pada pergi rapat sama anak basket dan Zen entahlah dia sudah main kabur aja waktu bel pertama istirahat." Mengembuskan napas kasar Adit terus menggiring Ran berjalan tanpa memedulikan ekspresi Ran yang sudah 'tak keruan karena terlalu dekat dengan Adit.
"A-aku mau makan bareng sama ...."
"Sttt." Adit berdesis dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya mengisyaratkan agar Ran tidak melanjutkan kalimatnya. "Lo jangan biarin gue makan sendiri di kantin, ya? Soalnya gue pengen banget kenal lo."
Melihat ekspresi Adit yang menatap Ran dengan tatapan penuh harap membuat Ran semakin memerah karena malu, hingga membuat Ran tanpa sadar bergerak mundur menjauh dari Adit sambil mengangkat kedua tangan di depan d**a. "Eng ... anu, Kak." Ran menggaruk tengkuk tidak tahu harus berkata apa. Dia terlanjur salah tingkah karena berpikiran bahwa Adit tertarik padanya.
"Ran!" Tiba-tiba Alice memanggil Ran dari belakang lalu segera memeluk manja gadis itu. "Lo darimana aja, sih? Kita cariin, loh." Alice melepas pelukannya dan menggenggam tangan Ran.
"Iya, nih, katanya mau makan bareng." Dea berjalan santai ke arah Ran.
Ran semakin kikuk karena semuanya di luar rencana awal. "A-anu, itu ... Kak Zen enggak, eh, maksudku Kak Adit ... makan ...." Ran begitu gagap dan hanya menatap Dea, berharap mendapat pertolongan untuk mencairkan suasana.
"Oh ... makan bareng kita, yuk, Kak." Alice merangkul lengan Adit dan refleks pemuda itu tersenyum, menatap Ran yang sedang mengusap tengkuk--salah tingkah.
"Kalau Ran ikut, gue juga bakalan ikut."
Diam-diam Alice mengerucutkan bibir, menatap kesal ke arah Ran. Namun, segera mengubah tatapan tersebut menjadi lebih bersahabat. "Ran?" Alice masih bergelayut manja di lengan Adit, sambil memberikan mimik memohon untuk Ran.
Dea menyenggol lengan Ran kemudian berkata dengan nada bersemangat, "Ran ikut! Kak Adit, kita makan di kantin bakso Bu Ram, yuk." Buru-buru Dea menarik tangan Adit dan Ran yang tampak terkejut langsung melangkah setengah berlari berjalan di belakang mereka.
Siulan menggoda dari para murid-murid cowok terdengar samar di telinga Ran dan hal itu membuatnya tersenyum seakan kupu-kupu sedang berterbangan di dalam perutnya, sedangkan para murid perempuan hanya bisa berbisik iri karena Ran, Alice, dan Dea memiliki kesempatan untuk makan semeja dengan Adit.
Tiba-tiba Adit memutar tubuh, berjalan mundur lalu berkata di hadapan Ran, "Habis ini kita tukeran id line. Biar bisa chat dan bakal gue kasih tahu semua tentang Zen, hmm ... tentang gue juga, deh sebagai bonus karena lo lucu dan gue suka."
Wajah Ran memerah lagi setelah menerima sebuah kedipan mata dari Adit. Namun, ketika Ran ingin mengangguk, Alice langsung menghalangi Adit dan Ran dengan mengibaskan tangan di antara mereka berdua. "Ran enggak punya Hp, Kak. Rusak katanya dan belum sempat ganti, ya, 'kan?" Alice menaikan sebelah alis memberi isyarat agar Ran menuruti kemauannya. "Tukeran sama kita aja, ya, Kak?" Tanpa basa-basi Alice merebut ponsel Adit lalu berbagi id line.
Adit yang memang populer di sekolah dan terkenal ramah hanya tersenyum ketika Alice dan Dea memasukan id line mereka, setidaknya hal ini bukan masalah besar selagi bisa membahagiakan para perempuan karena pada dasarnya Adit adalah penyayang perempuan. Namun, bukan seorang playboy.
***
Terik matahari siang mulai meredup, tergantikan oleh awan kelabu samar yang menandakan mungkin akan terjadi hujan tidak lama lagi dan di rooftop, tampak Zen masih betah bertahan di sana bahkan hingga pertengahan jam istirahat. Jari-jari panjang dan kurus milik Zen bergerak anggun di atas senar gitar seiring dengan lantunan lirik lagu Holocene dari Bon Iver yang ia nyanyikan penuh kesyahduan.
Suara ranting pohon dan daun-daun saling bergesekan akibat tiupan angin membuat nyanyian Zen terdengar bagai perpaduan simponi indah. Zen begitu menikmati suasana saat ini, yaitu ketika ia sedang sendirian di antara keramaian murid-murid di jam istirahat serta terhindar dari gangguan para murid perempuan yang mengejarnya.
Now to know it in my memory
And at once i knew i was not magnificent
High above the highway
Lagged vacance thick with ice
I could see for miles miles miles
Zen menghentikan permainan gitar serta nyayiannya kemudian segera menoleh dan melepas sebelah earphone ketika mendapati Ran sudah duduk di hadapannya sambil bertepuk tangan. Seketika ekspresi Zen berubah, menatap Ran dingin.
"A-aku suka la-gu yang Kak Zen nyanyikan. Kedengaran lembut."
Ran meremas kantong plastik berisi makanan yang ia sembunyikan di balik punggung. Gadis itu berusaha tersenyum manis, menatap Zen berlagak seakan dia baik-baik saja tanpa merasa gugup.
Ini pertama kalinya aku duduk berdua sama cowok populer seperti Kak Zen, terlebih lagi Kak Zen sudah jatuh cinta sama aku.
"Hai," ucap Ran saat Zen menatap ke arahnya kemudian memindahkan kantong plastik tersebut kehadapannya. Masih meremas dengan sangat kuat, Ran menggigit bibir. Rasa canggung begitu terasa di antara mereka, terlebih karena Zen belum memperlihatkan respon sedikit pun.
Zen hanya diam lalu memalingkan wajah menganggap bahwa Ran sedang tidak bersamanya. Ia mengambil ponsel, men-scroll mp3 dan memilih salah satu lagu yang akan didengarkan kemudian meneguk kopi dalam kaleng kemasan yang ia bawa sebelumnya.
Datang lagi, pikir Zen mengarah pada Ran, tetapi tanpa melihat ke arah gadis itu.
"Kak Zen, su-suka tem-pat yang sepi, ya?" tanya Ran, berusaha membunuh kecanggungan di antara mereka berdua.
Zen tidak menjawab, berpura-pura seakan tidak mendengar suara Ran dan sibuk dengan aktivitasnya. Ran masih memasang senyum, sambil sesekali mengibaskan rambut dan tetap berpikir positif bahwa mungkin saja Zen sedang menguji kesabaran dengan mendiamkannya.
Mengusap tengkuk, Ran semakin salah tingkah karena diabaikan, tetapi ia tidak ingin melewatkan kesempatan berdua dengan Zen.
Untung saja kak Adit mau kasih tahu di mana kak Zen. Walaupun tadi Alice dan Dea harus memberikan kak Adit pertanyaan jebakan agar mereka tahu di mana kak Zen berada.
"Mau roti? A-aku belikan di kan-tin," ucap Ran. Ia mengembuskan napas panjang agar dirinya menjadi lebih santai.
Zen tidak menghiraukan Ran dan masih tetap terpaku menatap layar ponsel dan earphone yang masih terpasang sempurna di telinganya. Kita lihat sampai kapan lo bakal bertahan.
"Dengerin la-gu apa, sih?" Ran memberanikan diri untuk mengambil salah satu earphone yang terpasang di telinga Zen dan memasang di telinganya.
"Keterlaluan!" Zen sedikit meninggikan suaranya, kemudian menarik earphone yang terpasang di telinga Ran.
Seketika wajah Ran terlihat terkejut. Ia menatap Zen dan kemudian melirik roti yang tidak sengaja terjatuh ke lantai akibat gerakan Zen yang tiba-tiba.
"Kak ... A-aku suka sa-sama Kakak. Ka-kak juga, kan?" Ran turut bangkit berdiri di hadapan Zen.
Dia hanya malu dan bersikap seperti ini untuk menutupinya, karena mungkin terpana dengan hasil make up Dea yang aduhai.
Zen memalingkan wajahnya ke arah lain sambil melepas earphone-nya dan memasukan kedua tangan di saku celananya. "Pergi," ucap Zen datar.
Senyuman masih terlihat di wajah Ran, walaupun tidak seperti sebelumnya. Ia menggenggam tangan Zen dan menyerahkan kantong plastik berisi makanan yang ia beli.
"Ki-kita akan ja-jadi pasangan yang ... serasi," ucap Ran.
Zen menatap Ran dengan tajam setelah mendengar apa yang diucapkan Ran barusan. Kali ini dia menganggap bahwa Ran sudah keterlaluan karena sudah berani menyentuh dan datang ke tempat dimana ia butuh suatu privasi.
"Thanks." Zen menerima pemberian Ran. Namun, tanpa disangka-sangka Zen mengangkat kantong plastik tersebut dan menjatuhkannya tepat di hadapan Ran.
Gue sudah tahu alasan lo deketin gue.
"Gue enggak butuh." Zen mengambil gitarnya dan pergi meninggalkan Ran.
Tatapan Ran tidak berpindah dari sosok Zen yang terus melangkah menjauh. Ran menghela napas panjang, mengambil kantong plastik tersebut dan berlari ke arah Zen.
Jrep.
Langkah Zen terhenti saat Ran menahan tangan kiri Zen. Pemuda itu pun segera menepis tangan Ran, menatap sejenak ke arah gadis berpenampilan tidak biasa tersebut.
Benar-benar terlihat murahan dengan penampilan dan sikapnya.
Napas Ran terlihat tidak beraturan. Ia kembali memberikan kantong plastik tersebut di tangan Zen dengan sedikit kasar.
"Jangan pernah mencoba untuk membuang makanan, kakak gak tau bagaimana berharganya makanan ini buat mereka yang membutuhkannya." Ran menatap Zen tajam, wajahnya terlihat sedikit tegang.
"Gue enggak butuh." Zen kembali membuang kantong plastik itu, sedikit lebih jauh dari mereka berdua dan segera pergi meninggalkan Ran. "Lebih baik berikan pada mereka yang membutuhkan." Zen menutup pintu rooftop tanpa menoleh atau melirik ke arah Ran.
Ketika melintasi pintu dan hendak menuruni tangga, Zen sempat melihat dua orang gadis yang sedang mengamati mereka berdua. Namun, ia tidak menghiraukan keberadaan mereka karena tahu apa yang akan para gadis lakukan setelah ini, yaitu menyebar gosip murahan mengenai Ran atau semacamnya.
"Wow! He's really dangerous."
"Dia keren dan misterius."
Bisikan mereka dapat terdengar dengan jelas di telinga Zen saat ia melintasi mereka berdua dan hal itu bukanlah suatu masalah bagi Zen. Ia tidak peduli dengan apa yang para gadis katakan tentang dirinya karena ia meyakini bahwa mereka hanya akan memanfaatkan dirinya.
Kalian semua memang tidak berguna.
Hari ini, entah mengapa Zen merasa sedikit kesal karena ketenangannya terganggu dengan kehadiran Ran. Ia tahu bahwa Adit-lah yang memberitahu Ran mengenai hal ini. "Merepotkan," bisik Zen, sambil terus berjalan.
Tidak jauh dari pintu yang menghubungkan tangga untuk menuju rooftop, Zen melihat Adit sedang berbincang seru dengan beberapa anak perempuan dan laki-laki. Dia hanya menghela napas meredam kekesalan kemudian berpikir bahwa tidak mungkin Adit melalukan hal demikian karena sejauh ini hanya dia orang yang ia anggap sebagai sahabatnya sendiri.
"Zen! Gue tadi ...." ucapan Adit terpotong saat Zen mengisyaratkan dirinya untuk tidak mengganggunya dulu.
"Kenapa, Dit?" tanya salah satu temannya.
"Enggak apa, gue cabut dulu." Adit mengisyaratkan kepada teman-temannya seakan memberitahu bahwa ia ingin segera pergi menghampiri Zen.
"Zen! Lo tadi ketemu Ran, 'kan?" tanya Adit berlari kecil untuk berjalan di sisi Zen. "Gimana menurut lo? Dia anaknya baik, 'kan? Lagi-lagi hari ini dia pake make up tebal. Hahaha ... padahal tadi pas awal istirahat ketemu gue dia masih ...."
"Berisik, gue enggak suka cewek murahan." Zen menghentikan langkahnya dan ada sedikit penekanan pada setiap perkataannya.
Jangan-jangan, Ran!
Adit segera tersadar dengan apa yang mungkin dilakukan Zen terhadap Ran saat ia memutuskan menyusul Zen di rooftop. Dalam hati dia merasa menyesal karena membiarkan Ran kembali disakiti oleh Zen.
"Lo ... gila, ya?!" Adit segera berbalik dan pergi menyusul Ran yang mungkin masih berada di atap.
***
Diam-diam Dea dan Alice mengamati Ran yang sedang memungut kembali roti dalam kemasan di lantai rooftop, memasukannya ke dalam kantung plastik kemudian memakan satu potong roti sambil bersandar di pagar. Matanya menerawang mengamati roti tersebut, dari jauh ia tampak seperti seseorang yang bersedih, padahal senyatanya Ran sedang berpikir tentang sikap Zen barusan.
"Ran memang pantas digituin biar tahu kalau dia enggak selevel sama kita." Dea melipat tangan di atas d**a mengamati Ran dari celah pintu setelah Zen sudah tidak ada bersama mereka.
Alice terkikik pelan lalu memilin rambut dengan jari telunjuk. "Lagian b**o dipelihara. Zaman sekarang populer kudu pinter kayak kita biar enggak dikibulin. Muka pas-pasan juga sok mau deketin Adit."
Mereka berdua tertawa mengejek saat melihat Ran yang sekarang sedang memakan roti yang masih terbungkus rapi dalam kemasan.
"Kalau gue mah, amit-amit makan makanan yang udah dibuang gitu, walaupun itu makanan masih terbungkus rapi."
"Yelah, apalagi gue, D, tapi gue sempat kesal sama Ran, masa iya Adit cuekin kita dan dia lebih fokus sama Ran! Padahal darimana pun tetap kita yang lebih baik dari dia." Alice mengibaskan rambutnya dengan kesal lalu menyimpan kembali ponsel yang sebelumnya ia gunakan untuk mengirim pesan singkat untuk Ran.
"Hahaha, dia enggak bakal bisa deketin Adit. Lo tahu, 'kan, Ran itu begonya kayak gimana?" Dea melihat ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangan, memastikan apakah sudah jam masuk atau belum.
"Tinggal 10 menit lagi, nih. Samperin Ran, deh. Kita kan musti berakting baik di depan dia. Gue juga enggak rela kalau Ran sama Adit karena itu artinya dia telah melukai kepopuleran kita." Dea menarik tangan Alice.
Prok prok prok.
Sebelum mereka keluar untuk menyusul Ran tiba-tiba saja mereka mendengar suara tepuk tangan yang dibuat berjeda tapi pasti. Mereka berdua menoleh dan melihat Adit berada di belakang mereka. Memasang senyuman ramah, Adit menepuk pundak mereka masing-masing sambil berkata, "Teman yang baik, ya. Gue juga bakal beruntung banget punya teman kayak kalian, perhatian banget, bikin baper."
Mengetahui siapa yang bersama mereka, seketika wajah Alice dan Dea menegang.
Mampus gue!