“Maaf, Mbak, mogok!” ucap supir angkot.
Ashel mendengus sebal. Sepertinya kesialannya hari ini tidak kira-kira, beruntun dan tidak pakai jeda. Kebetulan hanya dia sendiri penumpang di angkot itu.
“Jadi saya mesti hujan-hujanan nih, Bang?” ketus Ashel sembari menghela napas melihat hujan deras di depan mata.
“Mau gimana lagi, Neng?” supir angkot pasrah.
Ashel membuka pintu mobil dan turun. Membiarkan jilbab dan baju panjangnya tersiram hujan hingga basah kuyup. Baru seminggu terakhir dia mengenakan hijab, gara-gara berteman dengan Naifa dan diceramahin terus kalau memakai jilbab itu wajib bagi kaum perempuan.
Ashel semakin kesal. Haduuh... setelah ini entah kesialan apa lagi yang akan menimpanya. Padahal dia baru saja merasa penasaran ingin bertemu sang manager, tapi malah begini kejadiannya. Entah apa penilaian manager jika tahu prestasinya yang buruk.
Ashel masih menggerutu saat suara klakson menjerit berkali-kali dan detik berikutnya ia merasakan tarikan kuat dari arah samping. Sebuah tangan meraih baju sampingnya, membuatnya menjerit keras seiring dengan badannya yang berputar dan menubruk sesuatu yang keras.
Ashel melirik ke mobil yang melaju di jalan raya, pengemudinya membuka kaca dan mengumpat-ngumpat ke arahnya. Tidak jelas apa yang pengemudi itu katakan karena yang terdengar lebih jelas malah suara hujan.
Hidung Ashel kembang kempis mencium aroma menyengat, aroma parfum langka. Matanya terbelalak menyadari tubuhnya yang kini berada dalam dekapan erat seseorang. Bahkan ia merasakan degupan jantung lelaki itu.
Belum pernah suaminya dulu memeluknya begini, tapi ini yang kedua kalinya setelah office boy nyeleneh itu.
Dengan sekuat tenaga Ashel berusaha memberontak dan melepaskan diri dari dekapan lelaki itu.
“Maaf, maaf,” ucap lelaki itu, seperti sedang berusaha menjelaskan bahwa ia tidak bermaksud memeluk.
“Jangan pegang-pegang! Modus!” Ashel mengangkat kepalan tangannya yang kecil sebagai bentuk ancaman, sayangnya tidak berarti apa-apa buat lelaki itu. kalau kena tonjok kepalan kecil tangan Ashel, lelaki itu tidak akan mengaduh. Paling meringis saja. Ashel paling benci dimodusin laki-laki, dia tidak mau dikatain janda murahan. Dia tidak mau dipandang rendahan.
Mata Ashel semakin melotot menatap lelaki yang tak lain adalah Fariz, seniornya waktu SMA yang pernah kena tonjok kepalan tangannya. Andai saja kepalan itu mendarat lagi, maka itu adalah tonjokan yang kedua kalinya.
“Risoles?” ucap Ashel tanpa sadar.
“Apa?”
“Ah, mm... enggak.” Ashel menggeleng.
“Lain kali kalau mau bunuh diri di rel kereta api aja, dijamin ko’it. Jangan di jalan raya begini. Aku yang melihat pun nggak tega jadinya.”
Ashel malah terbengong menyadari kalau dia baru saja melintas di badan jalan hingga membuatnya hampir terserempet. Gara-gara ngedumel terus, jalannya pun melipir sampai ke tengah. Ya ampun. Dan Fariz? Tentu sang penyelamatnya, tapi malah diomelin.
Fariz yang sudah basah kuyup itu berjalan menuju mobil yang terparkir di depan minimarket.
Ashel melirik mobil silver yang melintasinya. Fariz mengemudikan mobil dengan kaca mobil terbuka, sepertinya dia sengaja memelankan mobil saat melintas tepat di sisi Ashel.
Mata Ashel mengawasi Fariz. Lelaki itu tampak jauh berbeda dari yang dia kenal saat SMA dulu. Ketampanannya tidak berubah. Postur tubuhnya yang tampak jauh berbeda, semakin gagah. Bola mata Ashel dengan mengikuti gerakan lelaki itu.
“Mau kuanterin?”
Loh, Fariz menawarkan jasa untuk mengantar pulang? Ashel cepat menggeleng merasakan pacuan jantung yang tidak normal.
“Yakin?” Fariz menatap sekujur tubuh Ashel yang menggigil kedinginan.
“Rumahku nggak jauh lagi kok, Mas, Bang.” Ashel bingung mau panggil apa.
“Aku Fariz.” Lelaki itu kemudian melajukan mobil.
Ashel menepuk-nepuk pelipisnya sendiri. Ya ampun, bodohnya dia yang tidak mengucapkan terima kasih pada Fariz, atau minta maaf karena sudah ngomel-ngomel tadi. Tapi kenapa respon Fariz tidak sekaget dirinya saat saling pandang? Apakah Fariz tidak mengingat siapa dirinya?
Ashel memutus pertanyaan-pertanyaan di benaknya dan berlari menuju rumahnya.
Sial! Kunci pintu tidak lekas terbuka akibat jari-jarinya menggigil sehingga ujung kunci tidak tepat masuk ke lubang. Ashel menerobos masuk setelah pintu terbuka dan menutup pintu rapat. Ia segera menukar pakaian dan mengeringkan rambut dengan hair dryer. Kalau telat mengeringkan badan, dia bisa terserang flu seperti kejadian yang sudah-sudah. Astaga, fisik Ashel memang lemah. Dia paling anti dengan air hujan.
Ashel merebahkn tubuh ke ranjang.
Ingatannya terpaku pada Fariz. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan senior masa SMA-nya dulu. Seingatnya, Fariz adalah ketua OSIS dan jadi idola di sekolah. Meskipun pernah menonjok Fariz, tapi Ashel adalah salah satu pengagum rahasia Fariz. Dia hanya bisa mengagumi dari jauh waktu itu, karena yakin kalau Fariz tidak akan mungkin menyukai gadis sederhana sepertinya.
Ashel ingat bentuk tubuh Fariz, dadanya bidang, perut rata berotot, gagah, dan postur tubuh tinggi. Degupan jantung Fariz begitu keras mengetuk dadanya. Pasti Fariz merasakan hal yang sama.
“Ow my God, dia udah ngerasain dadakuuuuuu....!” Ashel bicara sendiri sambil menyilangkan tangan di d**a. Yah, dia mulai sinting.
Ashel bertanya-tanya, kenapa bentuk tubuh Fariz mirip seperti si office boy culun? Ah, mungkin memang begitu bentuk tubuh lelaki berotot. Hampir sama.
Gara-gara mengira Fariz sengaja memeluk, Ashel tadi jadi nyolot hingga mengakibatkannya merasa sangat bersalah.
Ashel menaboki bibirnya begitu tersadar sudut bibirnya tengah tertarik lebar.
“Ya ampuuun, ini gila apa gimana, sih? Gila gila gila!” Ashel menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kenapa isi kepalaku hanya Fariz doang? Duh.. Kalau ketauan Naifa pasti udah dapet ceramah panjang ini. Dosa, Ashel. Mikirin cowok yang bukan muhrim. Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini wanita yang soleha.”
Ashel membenamkan wajahnya ke bantal.
Tidak seharusnya ia menikmati keadaan itu. Tapi apa boleh buat, muka tuh cowok nempel terus di otaknya.