“Aduuh… gawat!” Darwin menepuk kening cukup kuat. “Celakalah aku, cepat kalian pergi dari sini! Itu polisi. Mereka mencari kalian. Aku tak mau dikerangkeng polisi gara-gara menyembunyikan kalian di rumahku.” Suara Darwin setengah berbisik. Matanya melebar. Panik.
“Jangan berlebihan, Darwin!” Alea tenang. Pandangannya beralih ke wajah Fariq lalu berkata, “Ayo, berdiri!” Alea menyentuh lengan tangan Fariq lembut. Membantunya berdiri.
“Berlebihan bagaimana maksud kau? Apa mata kau tak lihat polisi datang? Cepat pergi! Lewat pintu belakang sana!” Darwin mendorong tubuh Fariq dan Alea dengan kuat hingga tubuh keduanya terhuyung.
Fariq yang telah dihantui rasa takut menarik tangan Alea demi menuruti kata-kata Darwin. Namun Alea menolak. Ia masih bertahan untuk tak beranjak dari posisinya.
“Kenapa kau tak mau pergi? Pergi sana!” Darwin semakin panik.
“Bisa nggak menghadapi keadaan dengan tenang?” Alea ngotot.
Darwin semakin kesal. Wajahnya memerah. Marah. Kembali mendorong tubuh Alea dan Fariq sekuat tenaga.
Alea masih saja bertahan.
Fariq bingung, mana yang akan diikuti. Yang jelas, ia ingin segera pergi dari rumah itu. Kabur sejauh mungkin. Entah kemana.
Seketika keadaan menjadi sangat gaduh. Panik.
Darwin dan Alea bersitegang, sibuk bicara berbarengan. Sampai-sampai tak ada yang bisa didengar. Keduanya ngomong. Darwin tak mau kalah. Tak berhenti meminta Alea dan Fariq pergi dengan suara setengah berbisik.
“Stop!” Alea berteriak panik.
Darwin melotot. Spontan meletakkan telunjuk jari ke bibir dan mendesis, “Ssst!!!” Ia tak ingin suara Alea terdengar sampai keluar.
“Kami nggak akan pergi dari sini. Kami nggak akan ditangkap.” Alea berusaha menjelaskan.
“Ah, kau keterlaluan. Masih saja berdebat. Cepat pergi!” gertak Darwin kehilangan kendali. Matanya melotot.
“Itu mobil patroli, Darwin. Mereka hanya akan berpatroli, bukan untuk menangkap kami,” jelas Alea.
Darwin terdiam. Urat-urat wajahnya yang menegang langsung melemah.
Menundukkan kepala. Malu. Rona merah di wajah menunjukkan ia sedang salah tingkah.
Ketakutan di wajah Fariq memudar.
Hening. Semua membisu. Saling pandang.
“Yaa… Dari awal aku sudah tak setuju dengan demonstrasi yang kalian gembar-gemborkan. Aku tak ikut-ikutan dalam aksi kalian itu. Jangan sampai aku ikut menanggung dampaknya. Itu saja maksudku.” Darwin mengalihkan pembicaraan untuk menutupi kekeliruan.
“Apa yang kamu takutkan nggak akan terjadi, Darwin,” sela Alea. “Semua akan baik-baik aja.”
“Kenyataannya kalian sembunyi disini. Jika semua baik-baik saja, kalian pasti tak akan merasa ketakutan. Jelas kalian sedang dalam masalah.” Darwin menghempaskan tubuh di sofa. “Ya, sudahlah. Yang jelas aku tak mau terkena dampak akibat ulah kalian. Lagi pula aku sudah pinjamkan rumah ini untuk kalian bersembunyi. Kurang pengorbanan apa lagi aku?”
“Kamu nggak iklhas?” Fariq baru bersuara.
“Ini bukan masalah ikhlas tak ikhlas. Ini perkara keselamatan,” jawab Darwin tegas.
“Kamu terlalu parno,” Alea menyela.
“Bah, aku biasa saja. Apa tak kau lihat muka arjunamu itu pucat macam mayat hidup? Dia yang parno, bukan aku.” Bahkan dalam situasi panik yang dialami Fariq pun Darwin masih sempat meledek. Lalu Darwin bergegas ke belakang. “Alea, kemarilah sebentar! Kutunjukkan pakaian mana yang akan kau pakai!” serunya setengah berteriak meski telah berada di lain ruangan.
Alea tak menjawab. Dipandangnya wajah bersih di dekatnya. Ditatapnya lekat. Berusaha memberi ketenangan dengan tatapan teduh.
Seketika lelaki tampan berhidung mancung itu menundukkan pandangan. Malu. Bagaimana mungkin ia berubah menjadi seorang pecundang?
“Semua akan baik-baik aja,” bisik Alea dengan seulas senyum. Wajahnya tenang. Berseri-seri. Seolah tak terjadi apa-apa. Kemudian ia berlalu meninggalkan Fariq, menuju ke belakang, mengikuti Darwin.
Fariq tertegun sejenak. Bingung harus berbuat apa. Tubuhnya terhempas ke sofa. Duduk dengan urat-urat wajah menegang. Ia tak bisa menikmati keindahan suasana di ruang tamu, bahkan dibiarkannya kegalauan membalut sel-sel otak.
Selama ini ia dikenal sebagai pemberani, selalu di berdiri didepan pada segala bentuk urusan, selalu menjadi nomer satu di sekolah, juga di kampung. Namun semua itu lenyap seketika.
Gelarnya yang menyandang sebagai ketua OSIS sekaligus merangkap sebagai ketua kelas seperti tak pantas disandang. Mana mungkin ketua OSIS tak punya nyali menghadapi situasi. Konyol! Lucu! Tapi itulah yang terjadi.
Ia ingat ibunya di pengungsian yang tidur di barak panjang. Mungkin sekarang ibunya sedih sekali karena ia tak kembali ke barak panjang. Kekalutan di wajahnya seketika buyar berbaur dengan senyum Alea yang kini duduk di hadapannya.
Buk!!!
Alea melempar pakaian tepat di pangkuan Fariq.
“Mandilah!” Alea tersenyum penuh permintaan, nada suaranya bukan untuk memerintah.
“Bersihkan badanmu! Pakailah pakaianku itu.” Darwin muncul dari balik pintu, ia masih mengenakan celana abu-abu, seragam putih telah diganti dengan kaos biru ketat.
Dadanya yang bidang tergambar di kaos itu. Mulutnya mengunyah. Apel merah yang hanya tinggal separuh ada di tangannya. Lalu duduk disisi Fariq.
Fariq masih diam terpaku.
“Kenapa kau tak bergerak? Ayolah, macam tak pernah ke rumahku saja. Apa perlu kugendong sampai ke kamar mandi?” Darwin menepuk paha Fariq.
Fariq masih saja tak bergerak. Nyaris seperti orang kehilangan akal. Bengong. Pandangannya tak menentu mengikuti jalan pikiran yang kacau.
“Pergilah mandi, biar badanmu segar!” Alea menganggukkan kepala. Seragam abu-abu putih yang dikenakannya masih bersih.
Akhirnya Fariq bangkit berdiri.
“Bah, apa mesti gadis kau ini yang bicara baru kau mau bergerak?” Darwin meledek. Masih mengunyah apel yang hanya tinggal secuil di tangannya.
Fariq tak menanggapi. Kecemasan yang membalut pikiran membuatnya bungkam, tak ingin bicara.
“Jangan lupa gantung handuknya di gantungan belakang pintu kamar mandi,” seru Darwin.
Fariq bergegas ke kamar mandi. Semburan air yang keluar dari shower seakan meluruhkan kegoncangan jiwanya. Ia baru menyadari bahwa tubuhnya lusuh terbalut pakaian kotor. Semangatnya yang menggebu telah sirna, kini timbul kekaguman mendalam terhadap Alea yang tetap tegar dan tenang menghadapi situasi.
“Alea…” Tanpa sadar dari mulutnya keluar nama itu penuh dengan kebanggaan. Selama ini tak pernah terbesit kekaguman pada Alea, gadis yang sering mendampinginya.
Kebersamaan membuat keduanya bagaikan sahabat karib. Mereka tak pernah mempertanyakan apa arti dari kebersamaan yang terjalin. Entah itu teman dekat, sahabat, teman karib, atau apalah namanya. Yang jelas mereka sangat dekat.
Di sekolah, Alea menjabat sebagai wakil ketua OSIS, kegiatan organisasi itu tentu membuat hubungan mereka semakin akrab.
Usai mandi dan mengenakan pakaian sesuai perintah Darwin, cepat-cepat diraihnya kenop pintu dan didapatinya Alea berdiri di depan pintu.
Senyum manis menghias wajah cantik Alea. Membuat Fariq gugup. Salah tingkah.
Aneh, padahal sebelumnya tak pernah ada perasaan seperti itu dalam dirinya.
Alea masuk ke kamar mandi.
Fariq terus berjalan menuju ruang tamu. Dihempaskan tubuhnya ke sofa. Kesegaran badannya membuat pikirannya sedikit lebih tenang untuk mengingat kembali peristiwa demi peristiwa layaknya melihat rekaman film di benaknya.
Ia ingat kampung Damai yang menjadi kempung kelahirannya, kampung yang ditempatinya hingga ia tumbuh besar. Kampung tempatnya bermain tanah, air dan hujan sewaktu kecil.
Setiap hari, ibunya tak pernah membangunkannya, sebab ia memang rajin bangun pagi untuk melaksanakan shalat subuh.
Disamping sebagai ibu rumah tangga, ibu harus mengurus kebun sebagai mata pencaharian. Mencari nafkah layaknya seorang laki-laki.
Memang, ibu masih muda, tentu masih punya tenaga untuk bekerja keras. Baru memasuki usia 32 tahun, ia sudah memiliki anak seusia Fariq yang kini telah duduk di bangku SMA. Itu menunjukkan dulu ia menikah muda, tamat SMP langsung dilamar ayah.
Jadi deh, lahir anak guanteng bernama Fariq. Tapi tetap saja, Fariq tak tega bila ibunya bekerja keras demi memenuhi biaya hidup sehari-hari dan biaya sekolah yang tentunya tak murah.