Eps 10. Semangat Cinta

799 Words
Semenjak insiden di ruangan manager, Ashel kerap menunduk ketika berpapasan dengan Fariz. Di saat Fariz melintas di ruangan kerja, Ashel pura-pura sibuk mengetik atau menulis. Menatap Fariz tidak baik untuk kesehatan jantung, jadi lebih baik mengalihkan perhatian ke mana saja asalkan jangan ke muka si bos. Pagi itu Ashel merasa sedikit bersemangat. Apakah mungkin semangatnya itu muncul karena sosok Fariz? Jika biasanya Ashel mengerjakan perintah staf dengan mengeluh, mulai saat itu dia melaksanakan semua perintah dengan senang hati. Bagaimana Ashel tidak menggerutu, terkadang para staf kelewatan. Hampir semua pekerjaan dilempar kepadanya. Bukan hanya Pak Danu saja yang terus-terusan memerintahnya, ambilkan ini ambilkan itu, antar laporan ini ke sana, bahkan sampai disuruh melakukan pekerjaan yang tidak seharusnya, seperti disuruh membuat kopi setelah jatah kopi yang dibikin oleh OB sudah habis. Keterlaluan! Dan inilah yang sering Ashel katakan, anak magang rasa kacung. Tapi hari ini Ashel tidak ngedumel, dia tetap tersenyum meski disuruh melakukan pekerjaan diluar jadwal kerjanya sekalipun. “Antar ini ke bagian personalia ya, Dek!” titah Alin dengan senyum lebar. Dia meletakkan selembar kertas ke tangan Ashel yang jelas di kedua tangan itu tertumpuk dua rim laporan bulanan yang baru saja diikat oleh Rolan untuk segera Ashel simpan ke gudang penyimpanan laporan. “Yee... Kak Alin mah nggak tau banget Ashel lagi repot begini.” Ashel tersenyum. “Sekalian, Dek.” “Itu mah bukan sekalian. Ruangan personalia sama gudang arahnya berlawanan kali, Kak.” “Hehe... Anggap aja olah raga, biar sehat.” Alin sok membujuk. “Beliin bakwan di kantin. Sepuluh ribu aja! Pakai duitmu dulu, entar kuganti,” titah Rilan yang tengah duduk nyantai di kursinya tanpa perduli Ashel yang terlihat kerepotan membawa setumpuk kertas. “Semangat ya, Dek!” Ashel yang sudah berada di ambang pintu, menghentikan langkahnya dan menoleh. “Ada lagi?” “Jemput blanko nota permintaan ke bagian gudang pengadaan, ya! Orang gudang udah kutelepon, kok. Kamu tinggal jemput kesana.” celetuk Rolan sambil menggoyang-goyangkan kursinya dengan seulas senyum. Ashel mengangguk. “Semangat ya, Shel. Kalau rajin nilaimu bagus nanti. Hehe..” Rolan berteriak membuat Ashel geleng-geleng kepala. Naifa tidak ada karena disuruh Pak Danu entah kemana. Semenjak ada Ashel dan Naifa, para staf kerap memperalat kedua wanita itu untuk meringankan pekerjaan mereka. Ashel memaklumi, nasib anak magang memang begitu. Dan ia harus tahan banting. Untung Alin, Rolan dan Rilan baik terhadapnya. Meski suka menyuruh-nyuruh, tapi mereka tidak galak seperti Pak Danu. Ashel berjalan menuju gudang penyimpanan dan memasukkan kertas-kertas itu ke lemari yang disebutkan. Lalu menuju ke ruangan personalia untuk menyerahkan laporan yang dititipkan Alin. Berikutnya ke kantin membeli bakwan. Next, dia menuju gudang pengadaan untuk mengambil nota yang dipesankan Rolan. Disana dia tak luput dari siulan dan godaan para lelaki yang langsung ditanggapi dengan ekspresi horor oleh Ashel. Bukan Ashel namanya jika tidak galak. “Halo, Non!” “Namanya siapa?” “Udah punya pacar belum?” Ashel ingin menutup telinga untuk menghindari dengungan para cowok yang terlihat sedang sibuk bekerja itu menggodanya. Belum tau mereka kalau Ashel sudah pernah menikah. Ashel tidak menanggapi. Dia diam saja di depan meja menunggu barangnya dikeluarkan. Ia tidak begitu menghiraukan perkataan para lelaki yang terdengar berdengungan seperti tawon. Sepertinya mereka jarang melihat perempuan. Jadinya rame banget begitu ketika melihat sosok perempuan. Mungkin kambing dibedakin pun akan kelihatan cantik saking jarang ketemu cewek. Sebab keseharian mereka dihabiskan untuk bekerja dengan sesama kaum adam, tanpa seorang pun perempuan di sana. “Janda Perawan.” Leher Ashel spontan berputar dan menoleh ke sumber suara. Bagaimana bisa julukan itu menyebar sampai di tempat kerja begitu? Ada banyak pria di sana dan Ashel tidak bisa menuduh salah satunya. “Apa liat-liat?” ketus Ashel pada mereka. Sontak keketusan Ashel tersebut disambut dengan gemuruh tawa oleh para pria karena gemas. Ashel segera balik badan dan berlalu pergi setelah mendapatkan apa yang dia butuhkan. “Iiiiih.... gemes banget deh. Nggak di kampus, di tempat magang pun stempel janda perawan bisa kesebar. Iseng banget, sih.” Ashel menggerutu sendiri di sepanjang jalan. Tapi kemudian dia bersenandung untuk menghilangkan rasa gerah. “Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya. Hijau kuning kelabu, merah muda dan biru. Mele...” Ashel berhenti bersenandung saat berpapasan dengan Fariz. Pria itu muncul dari arah samping dan sekarang sudah ada di hadapan Ashel. Jika Ashel tidak langsung ngerem, tadi pasti mereka sudah bertabrakan. Ashel menunduk setelah beberapa detik pandangan mereka bertemu. “Kamu dari mana saja?” tanya Fariz dan Ashel langsung mengangkat wajah. “Saya dari gudang, Pak.” “Wow, jauh sekali. Ngapain kamu ke gudang?” “Ini. Saya ambil ini.” Ashel menunjukkan barang di tangannya sebagai bukti. Jangan dikira dia kerjanya Cuma jalan-jalan. “Ooh.. Saya cariin kamu tadi.” “Nyariin saya?” Ashel girang, Ge Er-nya kumat lagi. Siapa yang tidak bangga dicariin bos muda ganteng yang semi-semi crazy itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD