BAB 6

1408 Words
Rafiz mengetuk pintu rumah, Bi Jenab bergegas membuka pintu rumah untuk sang majikan, Rafiz mencari-cari keberadaan sang istri yang biasanya berdiri menyambutnya, tapi kali ini berbeda, Hazanah tidak menyambut kepulangannya. Rafiz hendak menanyakan sang istri kepada Jenab tapi ia urungkan niatnya dan terus berjalan melintasi Jenab sang asisten rumah tangga. "Pak, Suparji ada di belakang." kata Jenab. "Suparji?" "Iya, Pak, Suparji supir baru yang datang sore ini, katanya Bapak memanggilnya." "Oh, iya. Katakan saja untuk mulai bekerja besok dan Bibi tunjukkan kamarnya." "Iya, Pak!" Rafiz berjalan menaiki tangga menuju kamarnya, tumben Hazanah tak menyambutnya pulang dan kemana Hazanah. Rafiz membuka knop pintu kamar dan melihat Hazanah sedang bersimpuh memohon doa, Rafiz melihat jam tangan yang melilit di pergelangan tangannya, ternyata waktunya shalat Magrib. Rafiz menaruh tas kerjanya di atas nakas. Melihat sang suami pulang, Hazanah dengan cepat beranjak dari duduknya, menggulung sajadahnya, tanpa membuka mukenah, ia mengambil tangan sang suami dan menciumnya. "Aku sudah menyiapkan air hangat untuk kamu mandi, Mas, aku juga sudah siapkan handuk bersih, sudah aku gantung di kamar mandi." kata Hazanah dengan senyum mengambang, kenapa Hazanah masih begitu baik? Setelah apa yang selama ini di lakukan Rafiz padanya? Walaupun ia ada, tapi Rafiz tak pernah menganggapnya ada dan itu tak membuat Hazanah nenyerah untuk terus bersikap baik dan taat kepada sang suami. "Baiklah." tutur Rafiz. Membuat Hazanah mendongak menatap Rafiz, untuk kali pertamanya, ia mendengar sang suami menjawabnya dengan nada yang begitu lembut. "Mas, shalat magrib belum lewat, masih ada beberapa menit lagi." kata Hazanah mengingatkan, tanpa di jawab sang suami. Rafiz berjalan memasuki kamar mandi, membuat Hazanah tersenyum simpul. Lalu, mengambil dasi dan tas kerja Rafiz yang sudah di taruh di atas nakas. Hazanah membuka setelan mukenahnya, berjalan memasuki kamar ganti untuk mengumpulkan pakaian kotor. Hazanah berjalan menghampiri mesin cuci dan memasukkan pakaian kotor sang suami ke dalam mesin cuci, khusus pakaian Rafiz, tanpa ia campur dengan pakaiannya. "Bu, biar saya yang cuci." ujar Jenab kepada sang majikan. "Ga usah, Bi, biarkan saya yang cuci." "Tapi, itu bukan tugas Ibu untuk mencuci pakaian." "Siapa bilang? Ini tugas saya sebagai istri untuk mencuci pakaian kotor suami saya, Bi, jadi ga apa-apa, biar saya." kata Hazanah dengan senyum khasnya. "Baiklah, Bu!" "Bantu ambilkan deterjen ya, Bi, setelah itu Bibi siapkan makan malam untuk Bapak." "Baik, Bu!" "Mang Suparji mana, Bi?" "Lagi di belakang, Bu, lagi istirahat." "Siapkan makanan untuk Mang Suparji juga, ya, karena Mang Suparji pasti lelah." ujar Hazanah. "Iya, Bu! Baiklah, Bu, saya permisi kedapur dulu." "SubhanAllah ... Allah memberikanku majikan yang sangat baik seperti Ibu Hazanah, terima kasih ya Allah ..." batin Jenab. Hazanah mencuci pakaian Rafiz, menurutnya adalah salah satu tugasnya sebagai seorang istri, biarkan saja Jenab mengerjakan urusan dapur sedangkan ia mengerjakan pekerjaan layaknya seorang istri untuk suaminya. "Bu, Bapak sudah menunggu di ruang makan." kata Jenab, membuat Hazanah berbalik menyeka keringatnya. "Baiklah. Makasih ya, Bi!" tutur Hazanah. Hazanah berjalan menuju ruang makan dan melihat Rafiz sedang duduk menatap makanan yang sudah di tata Jenab di atas meja. "Maafkan aku, Mas, aku baru saja dari dapur." kata Hazanah berdiri di samping Rafiz. Rafiz menganggukkan kepala. Hazanah mengambil nasi dan lauk untuk sang suami, Rafiz membayangkan perkataan Rande tentang istri salihah yang akan membuatnya masuk surga, Rafiz tak bisa memungkiri bahwa Hazanah adalah wanita yang sabar yang selama ini menghadapi sikap berubah-rubahnya. "Silahkan, Mas!" tutur Hazanah. "Kamu mau berdiri terus seperti itu?" tanya Rafiz, membuat Hazanah menatap sang suami. "Ayo duduk, kita makan sama-sama." Hazanah duduk dengan seulas senyum, karena Rafiz sudah mengajaknya makan malam bersama yang semenjak menikah tak pernah di lakukan Rafiz. "Terima kasih, Mas!" tutur Hazanah. "Untuk apa?" "Karena, Mas sudah mau mengajakku makan malam." "Aku melakukannya karena dengan berdiri di situ, kamu mengganggu pandanganku." ujar Rafiz, untuk kesekian kalinya melukai hati Hazanah. Hazanah menganggukkan kepala. "Meskipun begitu, aku senang, Mas. Karena, kamu sudah mau mengajakku berbicara." batin Hazanah. Sesekali Rafiz menoleh ke arah Hazanah yang sedang menikmati makanannya, Hazanah menyadari pandangan Rafiz dan dengan cepat, Rafiz menoleh ke arah lain. Hazanah heran, berusaha menutupi rasa penasarannya dengan kembali menikmati makan malamnya, seperti ini lah rumah tangganya, makan malam berdua tanpa pembicaraan. "Besok Mama menyuruh kita untuk berkunjung." Kata Rafiz, membuat Hazanah menoleh. "Iya, Mas,” Beberapa menit kemudian, Hazanah membuat kopi hangat untuk sang suami dan menyiapkan puding s**u buatannya. "Mas, ini kopimu, aku sudah buatkan puding s**u untuk Mas, semoga Mas suka, ya," tutur Hazanah, dan Rafiz mengangguk. Hazanah duduk di depan suami hendak mengatakan ajakan Ocha. "Mas!" tutur Hazanah dengan menundukkan kepala. "Hmm?" "Ocha mengajakku menjadi partner kerjanya, aku kebetulan sedikit tahu, tentang mendesign baju muslimah dan beberapa model hijab syarii, kebetulan Ocha akan menetap di Jakarta dan sedang mencari tempat untuk di jadikannya butik." tutur Hazanah, meskipun tidak penting bagi Rafiz, tapi sebagai istri, Hazanah tetap harus meminta izin suaminya. "Kenapa meminta izinku, jika kamu menganggap itu baik, ya sudah, lakukan." ujar Rafiz, tanpa melihat Hazanah dan masih menekuri layar tab nya. "Meskipun aku tahu, bagaimana jawaban, Mas, tapi aku tetap harus mengatakannya, karena setiap langkahku adalah harga diri suamiku." kata Hazanah, berhasil menghentikan tatapan Rafiz kelayar tab nya. "Mas, terlepas bagaimana sikapmu, aku akan terus menghargaimu, itulah yang di ajarkan agama kita, menghargai suami sebagai pemimpin di dalam rumah tangga." sambung Hazanah. "Ini sudah waktunya shalat Isya, Mas, apakah Mas mau shalat bersamaku?" tanya Hazanah. Seperti biasa di abaikan Rafiz. "Aku akan shalat di saat waktunya tiba, jangan mengajakku, tanpa kau suruh, akan ku lakukan, jika aku mau." ujar Rafiz, membuat Hazanah terdiam dan menundukkan kepala. Tak ada perubahan dalam rumah tangganya, terus saja seperti ini. Membuat Hazanah sesekali merasa jenuh atas sikap yang di tunjukkan sang suami padanya. Kejenuhannya terus saja ia sadari, bahwasanya ia harus selalu berusaha bertahan dalam keadaan apa pun, Rafiz belum saja terbiasa akan semua ini, Hazanah mencoba mengerti dengan alasan itu. "Baiklah, Mas, aku akan shalat Isya dulu, semoga suatu saat nanti, kamu bersedia menjadi imamku, agar kita berdua bisa mencari jalan ke surga sama-sama." tutur Hazanah, beranjak dari duduknya dan meninggalkan suami yang masih duduk di ruang keluarga. Hazanah berbalik dan menatap punggung sang suami. "Aku akan terus mengingatkanmu tanpa bosan, Mas, aku tahu semua ini gak mudah untuk kamu, tapi aku menikah dan menyerahkan hidupku untuk melayanimu, di situlah aku memiliki tujuan hidup yang baru, aku akan terus membuatmu menjadi imamku, bahkan aku akan terus berusaha membuatmu mencintaiku, Mas!" batin Hazanah. Hazanah berjalan menaiki tangga, Rafiz berbalik melihat punggung Hazanah yang kini membelakanginya, perasaan Rafiz kepada Hazanah tak bisa ia jelaskan dan menerima semua ini pun Rafiz membutuhkan waktu. Rafiz menghela nafas panjang, lalu menyesap kopi yang sudah di buatkan sang istri dan mencoba satu sendok puding s**u yang di buat Hazanah. "Enak juga." gumam Rafiz. "Ya Allah ... Ya Rabb, segala yang ku inginkan hanya Engkau yang bisa memberikannya, di setiap nafasku, aku ingin di cintai oleh suamiku, aku bersyukur bisa menikah sesuai jalan yang Agama ajarkan, tapi tanpa cinta, bagaimana aku bisa saling mengasihi, sampai maut memisahkan? Maafkan aku, karena aku belum berhasil mengajak suamiku untuk menghadapmu, tapi aku tidak akan pernah menyerah sampai di sini, semakin suamiku menolaknya, semakin keras usahaku untuk terus mengingatkannya, Ya Allah ...Ya Rabb, aku berserah diri kepadamu, sehatkan ibuku yang sedang jauh dari jangkauanku, berikanlah beliau kesehatan dan umur yang panjang, Aminn Allahumma Aminn." Hazanah mendengkus, setelah berdoa, ia kembali tenang dan baik-baik saja, pernikahan yang ia jalani adalah pernikahan syariat islam, semua yang terjadi adalah kehendak Allah, jika Allah memberikan kepercayaan, yakin lah bahwa Allah percaya atas ketabahanmu. Hazanah yakin ketabahannya akan membawa hikmah yang besar dalam rumah tangganya kelak. Di sini ia tak memikirkan bagaimana menyerah, tapi yamg ia pikirkan bagaimana di cintai suaminya. Hazanah esok hari akan berkunjung ke rumah mertuanya, itu pasti akan mengingatkannya pada sang Ibu yang ada di kampung halamannya, jika sang Ibu mau, ia bisa saja membawanya untuk tinggal bersamanya di Jakarta. Hazanah kembali memakai hijab nya dan berjalan keluar kamar. Hazanah melihat Rafiz dari lantai atas yang masih duduk di ruang keluarga. "Andaikan sekali saja kamu melihatku, Mas, aku yakin cinta itu akan datang di hatimu." batin Hazanah. Hazanah berjalan menuruni tangga, menghampiri Rafiz yang masih fokus dengan layar tab nya. "Mas, Mama suka kue apa?" tanya Hazanah. "Aku akan belikan nanti." jawab Rafiz "Aku akan membuatkan kue untuk Mama!" "Nanti beli di jalan saja." jawab Rafiz. "Ga apa-apa, Mas, aku akan buatkan." "Terserah kamu." Hazanah berjalan menuju dapur, mencari bahan kue yang di simpan di dalam kulkas, sesekali Rafiz menoleh ke arah sang istri yang sedang merogoh kulkas.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD