"Ada apa, Hazanah?" tanya Ustadzah. Yang sejak tadi melihat Hazanah seperti sedang di rundung masalah.
"Begini, Ustadzah, saya menikah karena sebuah perjodohan dan saya mau tanya bagaimana saya harus mensikapi suami yang malas shalat, sementara istrinya wanita muslimah yang taat dan bagaimana kedudukan saya sebagai istri yang menunggu perubahan dari suami saya?" tanya Hazanah.
"Memohon lah kepada Allah agar menakdirkan kebaikan untukmu, memantapkan langkah-langkahmu, dan memberikan ilham kepadamu, kepada petunjuk dan melindungimu dari keburukan jiwamu dan dari kejelekan amal-amalmu. Tidak diragukan lagi, Hazanah, bahwa hidup bersama dengan seorang suami yang tidak shalat adalah sebuah petaka dan kemungkaran yang tidak diperbolehkan secara syari, apalagi kamu telah bersabar dan mencoba menghadapinya, shalat memang perkara berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. Shalat adalah hubungan langsung antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Shalat adalah amal yang pertama kali akan dihisab. Shalat adalah timbangan yang dengannya kita bisa mengetahui agama dan kebaikan seseorang. Barangsiapa yang menjaganya, maka dia memiliki cahaya, bukti dan keselamatan pada hari kiamat. Dan barangsiapa tidak menjaganya maka dia tidak memiliki cahaya, bukti dan keselamatan pada hari kiamat, dan akan dikumpulkan bersama Fir'aun, Haman, Qorun dan Ubay ibn Khalaf. Shalat adalah sebuah kewajiban yang tidak akan gugur dari seorang manusia selagi dia bernafas dan punya ingatan. Yang pada intinya teruslah mengingatkannya kepada suamimu tentang ajaran-ajaran islam yang harus di patuhi dan yang tidak boleh di langgar, karena sebagai seorang istri di sini lah cobaanmu di mulai, jika kamu bisa melewatinya itu berarti kamu telah lulus dari ujian."
Hazanah menganggukkan kepala tanda mengerti, walaupun berat, sebagai istri ia harus bersabar dengan terus mengingatkan kepada suami tentang ajaran islam.
"Apa ada lagi yang ingin kamu tanyakan, Hazanah?" tanya Ustadzah Khoirun.
"Suami saya akan pindah ke Jakarta dan sebagai istri saya harus mengikutinya, tapi saya mempunyai Ibu yang di amanahkan Ayah saya untuk saya jaga, bagaimana bisa saya meninggalkan Ibu saya, Bu Ustadzah?"
"Ketahuilah bahwa seorang suami adalah pemimpin di dalam rumah tangga, bagi isteri, juga bagi anak-anaknya kelak, karena Allah telah menjadikannya sebagai pemimpin. Allah memberi keutamaan bagi laki-laki yang lebih besar daripada wanita, karena dialah yang berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Dan, Allah Ta'ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Yang artinya * Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya." [An-Nisaa' : 34]
Oleh karena itu, suami mempunyai hak atas istrinya yang harus senantiasa dipelihara, ditaati dan ditunaikan oleh isteri dengan baik yang dengan itu ia akan masuk surga. Masing-masing dari suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban, namun suami mempunyai kelebihan atas istrinya, apa sekarang kamu faham, Hazanah?" tanya Ustadzah.
"Saya paham, Ustadzah, jadi pada intinya saya harus adil memikirkan di antara suami dan Ibu saya, terima kasih, Ustadzah, saya jadi lebih tenang." ujar Hazanah.
"Sekarang saya hanya bisa bilang, Hazanah, kamu wanita muslimah yang taat pada agama dan kamu sudah pasti tahu, apa yang bisa kamu lakukan."
Hazanah menganggukkan kepala, pada akhirnya semua akan kembali ke habitatnya masing-masing, Hazanah akan terus memperjuangkan pernikahannya dan tak akan menyerah mengingatkan kepada suaminya tentang ajaran islam, karena ia di tugaskan sebagai istri untuk selalu mengingatkan kepada suami walaupun sering kali di abaikan.
****
Dua hari berlalu, di sini lah mereka, di Jakarta, di rumah Rafiz, di rumah gedongan yang penuh dengan kemewahan, seisi rumah ini adalah barang-barang mahal yang sebelumnya tidak pernah Hazanah lihat, maklum Hazanah tinggal di rumah yang begitu sederhana dan hanya ada dia dan ibunya di dalam rumah sederhana itu, sedangkan di rumah ini, besar dan luas, berlantai 3 dan hanya ada Hazanah, Rafiz dan Bi Jenab asisten rumah tangga. Hazanah tak bangga dengan pencapaian ini, Hazanah akan sangat bangga dan bahagia jika ibunya di sini dan jika Rafiz tersenyum walau hanya sekali.
Allah menunjukkan jalan ini karena Allah tak menginginkan aku memiliki hubungan di luar kendali, walaupun dalam pernikahan ini, Hazanah dan Rafiz menemukan bahwa tidak ada cinta 'pada pandangan pertama', bahkan mereka benar-benar tidak menemukan cinta sama sekali.
Hazanah tidak memiliki perasaan bergejolak ketika ia bertemu dengan Rafiz, meskipun Hazanah akan menikah dengan Rafiz yang sangat berdedikasi. Hazanah usahakan perasaannya ada agar ia bisa melayani Rafiz dengan baik dan menjadi istri yang baik untuk suaminya dan pernikahan ini membuktikan, hanya dengan satu ayat saja Rafiz lantunkan di depan penghulu dan di depan semua tamu undangan, Hazanah lalu berjanji pada dirinya sendiri, bahwa cintanya hanya untuk suaminya, wajahnya hanya milik suaminya dan Hazanah akan melakukan apa pun untuk Rafiz, untuk taat kepadanya, Hazanah menyeka air matanya yang dulunya meramaikan wajahnya dan Hazanah meyakinkan diri, Allah memberikan jalan ini, karena Hazanah mampu menjalaninya. Disitulah status Hazanah berubah menjadi seorang istri yang artinya, setiap langkahnya adalah harga diri suaminya.
Hazanah berbalik melihat Bi Jenab sedang membuka pintu rumah, Hazanah pun melihat Rafiz dengan wajah kelelahan, Hazanah beranjak dan menghampiri suaminya, mengambil tas kerjanya dan mencium punggung tangannya, Rafiz berjalan melintasi Hazanah, ketika Hazanah berhasil mencium punggung tangannya dan mengambil tas kerjanya, Rafiz tak tersenyum sama sekali, yang Hazanah lihat hanyalah wajah manyunnya setiap hari, wajah yang di penuhi akan kemarahan, entah, Hazanah pun tak tahu, kemarahan di wajahnya di sebabkan oleh masalah apa.
"Mas, aku sudah siapkan makan malam dan ini kopimu." kata Hazanah, biarkan ia mendengar satu kata saja yang terucap dari mulut Rafiz.
"Taruh saja." sahut Rafiz,, yang sedang membuka dasinya.
"Iya, Mas!" jawab Hazanah, lalu menaruh secangkir kopi di atas nakas, "Mas, ini sudah magrib, kita shalat jamaah yuk."
"Aku lelah, kamu saja." sahut Rafiz.
"Mas, dengan shalat, kamu pasti akan lebih segar." kata Hazanah, meskipun ia sudah tahu bagaimana balasan Rafiz.
"Aku sudah bilang, untuk tidak menggangguku, kalau kamu mau shalat, silahkan shalat sendiri." Ujar Rafiz, seperti biasa ajakan Hazanah di tolak., Namun, Hazanah tidak menyerah sampai di sini saja. Ia akan terus mengingatkan suaminya meski hatinya akan terluka.
"Baiklah, Mas, aku akan shalat Magrib," kata Hazanah. Dan, diabaikan Rafiz.
Buat apa rumah sebesar ini, jika komunikasi saja tidak ada? batin Hazanah.
Hazanah harap, Rafiz bisa menatapnya, bisa menerima Hazanah sebagai istrinya, setelah 5 hari menikah, mereka belum pernah melakukan hubungan suami istri seperti yang wajib di lakukan oleh suami dan istri yang sudah sah menikah. Hazanah tak hanya memikirkan bagaimana bisa tidur sekamar tanpa melakukan apa pun, Hazanah juga memikirkan bagaimana membuat rumah tangganya harmonis seperti rumah tangga yang di dasari penuh cinta di luar sana. Karena, Hazanah yakin cinta akan tumbuh di dalam pernikahannya karena Allah
Hazanah mengikrarkan dirinya, untuk terus berada di dalam lingkup kesabaran yang tak ada batasnya, ini baru cobaan di awal pernikahan mereka, Hazanah harus tabah menghadapinya, meskipun sering kali hatinya hanya terluka atas sikap Rafiz.
Setelah mengambil wudhu, Hazanah berjalan melintasi Rafiz yang kini masih sibuk dengan tab kesayangannya, tab itu tak pernah jauh dari genggamannya, Hazanah mengerti, semua rahasia perusahaan dan asetnya berada di tab itu. Hazanah mengenakan mukenah, dan menggelar sajadah, seperangkat alat shalat yang telah menjadi maharnya.
****
Setelah shalat Magrib, Hazanah berbalik melihat Rafiz, yang kini masih duduk di sofabed dengan menekuri layar tab nya.
Suara ponsel Hazanah berdetar, membuatnya berjalan menuju nakas tanpa membuka mukenahnya, Hazanah tersenyum ketika melihat nama Ocha di layar ponselnya.
"Assalamualaikum, Ca!"
"Waalaikumssalam, Hazanah, ya Allah ... aku kangen banget tahu sama kamu." ujar Ocha.
"Aku juga kangen, Ca, bagaimana kabarmu?" tanya Hazanah, Rafiz sempat memandangi Hazanah dari ujung kaki sampai ujung rambut ketika memakai set mukenah yang kini masih ia kenakan.
"Aku baik, kamu bagaimana?"
"Aku juga baik, Ca, kamu di mana sekarang?"
"Tebak donk, aku lagi di mana."
"Haha.. Jangan main tebak-tebakkan, Ca, aku serius, kamu di mana?"
"Hem... kasitahu ga ya?"
"Hahaha... becanda aja kamu, Ca!"
"Kebetulan sekarang, aku baru sampai di Jakarta nih,"
"Yang bener?"
"Iya, aku langsung ke rumahmu,ya,"
"Hem ... baiklah, aku tunggu."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumssalam, Ca!"
Hazanah menggenggam ponselnya. Hazanah menoleh ke arah Rafiz yang kini tengah duduk, Hazanah menelan ludah, ingin rasanya Hazanah beritahu, tapi akan melukainya jika jawaban Rafiz akan sama seperti sebelumnya, tapi tak ada opsi lain selain memberitahukannya.
"Mas, sahabatku akan berkunjung, boleh, kan?" tanya Hazanah, dengan wajah penuh keraguan. Hazanah coba lebarkan senyumnya, agar Rafiz bisa tahu bagaimana kebahagiaannya saat ini.
"Untuk apa dia kemari?"
"Maksudnya?"
"Aku tanya, ngapain dia berkunjung?"
"Ya Allah, Mas … Ocha adalah sahabatku, dia hanya ingin berkunjung dan sekalian dia akan menginap semalam." jawab Hazanah. Apa yang ia katakan memang benar, suaminya ini selalu mengatakan hal yang begitu melukai hatinya..
"Ya sudah. Kalau dia akan berkunjung, kenapa kamu meminta izinku?"
"Aku hargain kamu, Mas, kamu kan suamiku." jawab Hazanah dengan nada yang begitu lembut. Hazanah tidak masalah dengan luka hatinya, ia tanamkan doa, agar sekali saja melihat Rafiz tersenyum.
Rafiz tak lagi mengatakan apa pun setelah itu dan kembali fokus ke layar tab nya, sungguh, Hazanah kadang tidak memahami sikap Rafiz, tapi Hazanah di sini selalu berusaha memahaminya meskipun ada banyak perbedaan di antara mereka.
"Aku berharap, kamu bisa bersikap baik di depan Ocha, Mas!" kata Hazanah.