Bab 5. Siapa wanita itu?
Larasati berjalan dengan riang saat memasuki sebuah rumah sakit yang letaknya masih satu area dengan café tempatnya bekerja. Jadi dia tak perlu berkendara saat mengunjungi sang suami di tempat dia praktek. Saat memasuki area lobi rumah sakit beberapa mobil ambulance tiba di halaman rumah sakit. Beberapa pegawai rumah sakit dengan sigap membawa brangkar dan mengangkut beberapa korban yang tidak bisa berjalan.
Larasati melihat semuanya dengan takjub. Andai saja dia dulu punya sedikit uang buat kuliah keperawatan, pasti saat ini dia sudah menjadi bagian dari wanita yang dengan cekatan mengurus para pasien. Ya, selain bercita-cita sebagai Barista. Dia juga pernah bermimpi menjadi seorang perawat yang bisa menolong banyak orang. Sayangnya, karena kurangnya biaya dia harus merelakan mimpinya. Untung saja, dia masih bisa memwujudkan mimpinya yang lain.
Semua orang yang tidak berkepentingan segera menyingkir karena tak mau mengganggu, termasuk Larasati sendiri. Semua perawat sudah menangani satu pasien akan tetapi karena pasien yang datang banyak maka ada beberapa pasien yang harus menunggu tindakan.
Larasati yakin, semua pasien adalah korban perkelahian. Mungkin saja mereka tawuran dan banya korbannya. Anak remaja memang pada usia yang hanya memikirkan ego dan kekerasan saja. Laras menaksir usia mereka kisaran tujuh belas sampai sembilan belas.
Apalagi ada beberapa remaja yang masih mengenakan seragam sekolah. Ada juga yang berpakaian bebas layaknya anak kuliahan. Entahlah kenapa mereka semua berkelahi. Anak seusia mereka memang gampang tersulut emosi, bahkan karena hal sepele.
Tanpa sadar Larasati malah diam terpaku melupakan tujuan awal mendatangi rumah sakit ini.
“Apa kamu bisa membantuku?” Larasati berjengit kaget karena ada yang menepuk punggungnya. Segera dia melihat siapa pelaku yang hampir membuatnya kena serangan jantung. Seorang remaja yang sangat tampan menurut Larasati.
“Kau ini membuatku kaget saja,” gerutunya sembari mengelus d**a. Kekagetan Larasati tak sampai di situ saja, remaja tampan itu dengan meringis menahan sakit membuka kemejanya yang sudah koyak dan berlumur darah. Entah apa yang sudah terjadi padanya hingga tubuhnya sampai penuh luka begitu.
“Hei … hei … apa yang kau lakukan?” bentak Larasati menahan gerakan remaja itu.
“Aku hanya berniat membantu kamu mengobati lukaku.” Wajah datarnya tertutupi ekspresi polos remaja itu membuat Larasati mendengus geli.
“Tapi kamu nggak usah buka kemeja juga. Nanti lukamu makin terbuka lebar,” ujar Larasati mengingatkan. Dia memang bukan perawat, tetapi dasar penyelamatan pertama pada pasien yang terluka dia sudah hapal luar dalam. Bukan karena dia bersuamikan dokter. Akan tetapi semenjak bangku SMA dia ikut ektra PMR jadi sedikit banyak dia mengerti.
“Ssshhh,” desis kesakitan lelaki muda itu karena tak mendengar perkataan Larasati masih bandel membuka kemejanya hingga terlepas. Menampilkan d**a bidang berotot dengan hiasan beberapa luka di beberapa tempat. Pantas saja, kemejanya sampai penuh dengan darah.
“Sudah kubilang jangan dibuka. Dasar bandel,” gerutu Larasati. Lelaki muda itu hanya terkekeh mendengar gerutuan wanita di depannya itu.
“Kalau nggak aku buka nanti kamu susah buat ngobatinnya,” sahut lelaki muda itu sedikit mendesis begitu dia bergerak.
“Kan bisa digunting,” ujar Larasati mengambil beberapa peralatan yang ada di sana.
“Kelamaan, begini lebih cepet,” jawab lelaki muda itu seenaknya.
Tanpa menjawab perkataan lelaki muda itu Larasati dengan telaten merawat luka yang menghiasi d**a bidang dan perut rata lelaki muda itu bahkan punggungnya juga terluka. Larasati sempat merasa takjub dengan tubuh tegap dan mempesona remaja itu. Sungguh, bahkan suaminya tak memiliki tubuh semempesona itu. Ingin rasanya dia melarikan jemarinya menelusuri tubuh tegap itu. Dia segera mengusir pikiran nakal yang tidak seharusnya itu.
Kini tubuh penuh luka itu sudah diobati dan terbalut dengan rapi. Hasil karya Larasati tak kalah dengan para perawat di sana. Dia menatap bangga dengan hasil karyanya.
“Lumayan,” puji remaja tampan itu membuat pandangan Laras teralihkan dari mahakaryanya.
Tampan, batin Laras memuji.
“Bayarannya mahal ini,” goda Larasati dengan kedua tangan bersedekap di depan d**a.
“Wah … bagaimana ini? Aku bahkan tak membawa uang. Tapi aku bisa membayar dengan hal lain,” sahut remaja itu dengan kerlingan nakal. Larasati tak menyangka godaannya akan berbalas. Entah kenapa hatinya berdebar.
“Kau di sini?” Suara yang sangat dikenal Larasati merusak momen mendebarkan yang sesaat dirasa Larasati. Larasati langsung membalik badannya dan merutuki dirinya sendiri yang sudah melupakan tujuannya datang ke rumah sakit ini. Di depannya kini sudah berdiri suaminya dengan pakaian kebesarannya. Lelaki tampan dengan stelan dokter dan stetoskop mengalung di lehernya.
“Mas … aku baru mau nyamperin kamu, mau ajak makan siang bareng. Eh, malah pas aku datang di sini crowdit banget.” Larasari tersenyum menampilkan wajah cantiknya. Bayu menatap sang istri dengan wajah datar.
“Aku nggak bisa, kau lihat sendiri kan di sini kita kebanjiran pasien,” sahut dokter Bayu datar. Larasati menatap suaminya dengan tatapan kecewa.
“Ya, kurasa juga begitu. Kalau begitu aku permisi dulu,” ujar Larasati segera meraih tas bertalinya yang tadi dia sampirkan di dekat brangkar remaja itu. Sesaat tatapannya bertemu dengan pandangan remaja itu. Entah kenapa dia bisa melihat rasa simpati di sana. Mengangguk sekilas sebelum pergi berlalu tanpa mengatakan apapun lagi. Hatinya kembali patah. Dia datang ingin memperbaiki rumah tangganya yang sedang bermasalah. Meski dia tak tahu akar masalah yang menimpa maghligai rumah tangganya.
Namun, dengan tanpa berperasaan suaminya seakan tak mau menghargai segala usahanya. Apa lelaki itu memang sudah bertekad untuk berpisah? Tak adakah jalan keluar dari masalah mereka?
Larasati kian tak mengerti penyebab suaminya begitu ingin berpisah darinya. Apa benar kata Celline kalau suaminya punya wanita idaman lain? Jika bukan karena ada orang ketiga alasan apa lagi yang membuat suaminya begitu ingin berpisah? Akan tetapi wanita mana yang sudah membuat suaminya berpaling darinya?
Karena keasyikan dengan begitu banyak pikiran di kepalanya membuat Larasati tak sadar sudah sampai di tempatnya bekerja.
“Loh kok sudah balik? Nggak jadi makan siangnya?” tanya Sekar di sela kesibukannya meramu kopi pesanan pelanggan. Memang saat jam makan siang begini Café Kita memang ramai pengunjung.
“Nggak, lagi ada banyak pasien datang pas aku sampai,” jawab Larasati lesu.
“Eh itu, kenapa kemeja kamu ada noda darah? Kamu terluka?” tanya Sekar beruntun. Wajahnya sudah khawatir.
“Nggak kok, tadi kebetulan ada pasien minta aku bantu ngobatin,” jawab Larasati sembari melihat kemejanya yang memang ada beberapa bercak darah. Ini pasti darah anak muda itu, batin Larasati sembari meraba beberapa bercak darah di kemejanya.
“Ya udah. Nanti pas pulang kamu samperin aja suami kamu lagi, ajak pulang bareng,” usul Sekar semangat. Larasati menatap sahabatnya itu dengan pandangan menyelidik.
“Kok kamu semangat sekali sih?”
“Ya wajarlah. Aku hanya ingin rumah tangga sahabatku baik-baik saja,” ucap Sekar sungguh-sungguh. Larasati memeluk sahabatnya itu dengan rasa haru.
“Kamu harus ingat kalau kamu itu nggak sendiri. Ada aku,” sambung Sekar balas memeluk Larasati. Keduanya berpelukan saling menguatkan.
“Makasih ya, kamu selalu ada buat aku,” gumam Larasati terharu.
***
Setalah waktu kerjanya sudah selesai, Larasati kembali mendatangi suaminya di rumah sakit. Tak butuh lama dia sudah berada di depan ruang praktik suaminya. Di depan ruang suaminya ada beberapa perawat yang sudah sangat dia kenal.
“Selamat sore, suster Maya. Suami saya ada?” tanya Larasati ramah.
“Ada. Tapi masih di ruang observasi. Ke sana aja. Sudah lama juga kok. Lagian, itu pasien terakhir. Takutnya dokter Bayu langsung pulang,” sahut suster Maya tak kalah ramah.
“Baiklah, aku ke sana dulu. Makasih ya,” ujar Larasati sembari melambai. Beberapa suster itu balas melambai.
Sepuluh tahun menikah dengan seorang dokter, membuat rumah sakit ini tempat yang paling sering dikunjunginya selain café tempatnya bekerja. Larasati terpaku sesaat melihat punggung yang sangat dia kenal tengah memasuki lift khusus pegawai.
Bukan karena itu punggung yang sangat dia kenal hingga membuat Larasati terpaku. Akan tetapi, karena lelaki itu menggandeng tangan seorang perempuan dengan sangat mesra sebelum pintu lift tertutup. Sayangnya dia tak bisa melihat wajah wanita itu karena sudah terlanjur tertutup.
Dia sangat yakin itu suaminya. Meski semua terjadi begitu cepat, tetapi dia sangat meyakini apa yang sudah dia lihat. Dadanya bergetar dengan hebat. Kakinya bahkan melemas.
“Siapa wanita itu?” gumamnya lirih sembari mencengkeram d**a kirinya yang terasa sakit. Seakan ada panah yang menancap di sana.
Dia masih berdiri dengan linglung. Sekujur tubuhnya bergetar karena tak percaya dengan fakta yang baru terbuka di depan mata.
“Jadi itu alasanmu ingin bercerai,” gumamnya lirih. Sesak di dadanya kian terasa. Bening dari kelopak matanya tak kuasa dia bendung. Ternyata benar prediksi Celline. Suaminya ternyata berselingkuh. Dan suaminya lebih memilih selingkuhannya dibanding dirinya, istri yang sudah menemaninya selama sepuluh tahun ini. Dari dia yang masih magang di rumah sakit ini hingga menjadi dokter ahli kandungan seperti saat ini. Lupakah dia siapa yang selalu mensupportnya saat dia berulangkali gagal dalam masa ujian sertifikasi dan beberapa kegagalannya yang lain. Di saat kesuksesan sudah diraih kenapa suaminya malah memilih membersamai pelakor itu dibanding istrinya sendiri yang selalu setia.
>>Bersambung>>
Gimana? Sudah panas nggak?
Bantu subscribe dan share ya kalau suka.