First meeting of them

1931 Words
Matahari mulai terasa semakin meninggi, rasa hangatnya mulai sedikit membelai kulit Keylani yang masih setia terduduk di saung selepas acara sarapan bersama Ayah dan Ibunya. Ia tolehkan kepala kecilnya menghadap hamparan hijau di depan matanya. “Ibu, bolehkah aku mampir sebentar ke rumah Nenek Arini, aku merindukan ubi hangatnya”, bibirnya melantunkan pinta dengan mata kecilnya memancarkan binar permohonan pada sang Ibu. Berharap kali ini Ibunya langsung berkata ya tanpa harus Ia meronta keras. Ya, meski sang Ibu gemar menjitak dan memarahinya, Keylani kecil tetaplah anak manja yang akan menangis apabila keinginannya tidak terpenuhi. “Boleh, tapi selepas ayahmu membersihkan diri”, sahut Ibunya. Mata hitam jelaga Keylani nampak berbinar, senyum tak luntur dari wajah manisnya. Membayangkan hangatnya ubi rebus buatan sang nenek yang akan memanjakan lidahnya. Makanan hangat adalah yang terbaik di saat cuaca dingin yang menusuk tulang seperti ini. Ia ayunkan kaki-kaki kecilnya, bersenandung lagu dalam bahasa Inggris yang baru minggu lalu Ia pelajari. Sang Ibu yang memerhatikan tingkah anak perempuannya hanya dapat tersenyum lembut, panjatan doa Ia gumamkan dalam hati agar Keylani, si gadis kecil yang Ia cintai terus menjadi mentari cerah dalam hidupnya. “Ayah kembali! Ibu, aku akan pergi mengunjungi Nenek sekarang!”, teriaknya ceria. Sang Ibu menahan pergerakan Keylani yang terlalu bersemangat dan hampir membuat tubuhnya oleng ke depan. “Kau boleh berlari kerumah nenek, tapi tunggulah dulu Ayahmu tiba disini dan berpamitan dengannya”, tegur sang Ibu kembali memarahinya, tidak lupa dengan tambahan pelototan ganas yang Ia terima. Keylani tak berani membantah, Ia tunggu ayahnya yang terlihat semakin berjalan mendekat kearahnya juga Ibunya. Ayahku selalu terlihat tampan, meski hanya mengenakan sarung dan pakaian rumah. Gumaman yang Keylani suarakan dalam pikirannya, tersenyum lebar sendiri dan membuat sang Ibu mengerut heran. Begitu sang Ayah mendekat, Keylani langsung menarik telapak tangannya yang terasa kasar. “Ayah, aku ingin memakan ubi rebus buatan Nenek Arini. Aku berjanji akan pulang sebelum tengah hari”, mohonnya kembali pada sang Ayah. Sekali lagi Ia tampakkan binar penuh harap miliknya kini ditambah dengan tangkupan tangan di depan d**a membuat sang Ayah luluh akan sikap imut yang ditunjukkan puteri tunggalnya. “Tentu, sayang. Pergilah, sampaikan salam Ayah dan Ibu pada Nenek Arini”, dielusnya rambut hitam sang buah hati dengan lembut. Mengangguk kencang, Keylani segera turun dari saung. Menjejakkan kaki pendeknya pada alas tanah merah, dan kalau saja tak Ia dengar ibunya yang masih memperingatkan untuk jangan berlari. Ia pasti sudah tergelincir pada kubangan air depan saung. Sang Ibu menghela nafas pelan melihat tingkah polah anak perempuannya yang masih belia, terheran mengapa di usianya yang sudah tiga belas tahun Keylani masih saja sering terjatuh karena sikap ketidakhati-hatiannya. “Sayang, apakah baik bila kita terus membiarkan Keylani untuk bermain dirumah Ibu. Ibu sudah berusia lanjut, aku takut tingkah pola Keylani yang terlalu aktif akan membuatnya mudah lelah”, Lili Ibu dari Keylani menatap dengan pandangan sendu pada suaminya. “Tak apa, Li. Semangat Keylani yang besar dan ceritanya akan mimpi-mimpi yang Ia agungkan akan membuat Ibu merasa hangat, Ibu membutuhkan itu.” Sedikit menjeda ucapannya, dan menatap balik mata sang Istri tercinta. “Ibu membutuhkan seseorang untuk mengembalikan semangatnya untuk hidup.” Bima, sang suami menerawang jauh. Matanya terlihat berkaca-kaca memikirkan bahwa sang Ibu tersayang bisa saja meninggalkannya kapanpun juga. Lili yang menyadari hal tersebut segera menggenggam tangan hangat sang suami, memberikan dukungan untuk kekasih hatinya. Pria yang telah berjuang keras untuk menopang hidupnya juga anak tersayangnya, Keylani. Bersama, mereka saling mengeratkan genggaman. Memandang jauh hamparan sawah di depan, hidup tak akan terasa begitu sulit, selama mereka masih bersama, kan? Rumah sederhana bertembok kuning dengan jendela bercat hijau gelap di ujung jalan adalah yang Keylani tuju, bibirnya sudah melebarkan senyuman, tak sabar untuk bertemu sang nenek. Segera Ia langkahkan kakinya menuruni turunan bebatuan, Gerutuan Ia keluarkan. Ini yang tak aku suka setelah pulang dari penggilingan gabah, bebatuan ini benar-benar meminta untuk dihancurkan. Susah payah Ia berjalan perlahan, melewati batu-batu besar di tiap sisian. Hampir saja Ia tergelincir saat pundak kecilnya tak sengaja menubruk badan batu yang besar di sisi kanannya, namun Keylani masih selamat tanpa terjatuh hingga pada akhirnya Keylani berhasil melewati bebatuan tersebut. Helaan nafas super lega keluar dari bilah bibir kecilnya. Aku memang si anak hebat, batin Ia memuji perjuangannya melewati bebatuan. Yang sebenarnya bila diingat kembali kegiatannya saat ini hampir Ia lakukan setiap hari saat mengantarkan sarapan untuk sang Ayah. Kembali melanjutkan perjalanan, Keylani melihat suatu hal yang mengejutkan hingga Ia berpikir Ia tengah berhalusinasi. Saat ini tak jauh dari pandang matanya, Ia melihat seseorang yang menyerupai nenek tercintanya tengah berdiri bersama para ubi di sekelilingnya yang terhampar. Itu pakaian biru kesukaan nenek, Mengapa wanita berumur itu mengenakan pakaian milik nenek Arini? Menautkan alis menjadi satu, butuh waktu beberapa saat bagi Keylani untuk sadar bahwasanya Ia tak salah tebak. Nenek berbaju biru disana memang nyata adalah Nenek Arini kesayangannya, menepuk keningnya Ia segera melangkah menghampiri sang Nenek. “Nenek, apa yang terjadi?”, Apa nenek baik-baik saja?”, “Apa nenek terluka?” Kenapa semua ubi ini berhamburan?”, “Apa nenek mengangkat ubi ini sendiri hingga kerumah?” , rentetan tanya Ia keluarkan dari bibirnya tak memberi jeda sedikitpun pada lawan bicaranya untuk menjawab. Keylani memindai seluruh bagian tubuh milik Nenek Arini, takut-takut nenek kesayangnya terluka. Sang nenek menghela nafas, sempat terheran-heran karena mengapa cucunya yang nakal ini bisa berada disini. Memilih mengeyahkan rasa herannya, Ia menjawab rentetan pertanyaan sang cucu. “Nenek bersama Paman Leo tadi, sekarang Ia sedang berbalik untuk mengambil gerobak di perkebunan.”, Sahut sang Nenek pelan. Tangannya yang sudah gemetar bergerak mengambil satu demi satu ubi yang terjatuh di dekatnya. “Ini ubi terakhir yang terjatuh hingga ke depan pohon itu, Nek”, Suara seorang anak laki-laki yang bergumam pelan mengagetkan Keylani. Ia baru menyadari bahwa sedari tadi tak hanya ada Ia dan Nenek Arini disini. Keylani memperhatikannya, si anak laki-laki ini sepertinya bukan penduduk desa Negarayu. Kulitnya bersih, alisnya terlihat seperti digambar dan menyambung tipis di tengahnya. Pakaian yang Ia kenakan juga tak terlihat seperti penduduk desa, Ia mengenakan kemeja berwarna cream dan celana selutut berwarna hitam juga sebuah coat cokelat tua yang membalut tubuhnya. Yang paling membuat Keylani terkaget adalah warna matanya, dia memiliki warna mata cokelat terang yang membias indah ketika terkena pantulan sinar matahari. Keylani merasa anak laki-laki ini begitu istimewa dan berbeda. “Terimakasih banyak, Nak. Maafkan gerobak tua nenek yang mendadak terlepas rodanya dan menghambat perjalanan mu”, sang nenek bertutur lembut pada si anak laki-laki. “Nenek memiliki sesuatu untukmu sebagai tanda terimakasih karena telah membantu mengumpulkan ubi-ubi ini yang sebelumnya berserakkan hingga kembali satu”, imbuhnya pelan. Si anak laki-laki terlihat bingung, matanya berpendar ke sekitar mengawasi pergerakan sang nenek yang baru Ia temui. Ketika itu, Ia bertatapan mata dengan gadis kecil yang mungkin adalah cucu si Nenek. Anak perempuan berambut pendek yang seketika tersenyum lebar saat tatapan mereka bertemu, sedikit menahan senyum karena anak perempuan ini kehilangan dua gigi depannya. Senyum si anak perempuan menenggelamkan matanya, sejenak Ia merasa terpaku. Kenapa senyumnya tak terlihat seperti orang disekitarnya, kenapa Ia berharap untuk terus menatap senyum itu selamanya. “Ini sayang, terimalah ubi rebus buatan Nenek. Tak seberapa, tapi ini akan menghangatkanmu di musim hujan begini”, Perkataan lembut sang nenek yang baru Ia tolong membuyarkan lamunannya akan si anak perempuan didepannya. Ia pandangi ubi rebus yang nenek ulurkan, sepanjang hampir lima belas tahun Ia hidup di dunia baru kali pertama ada seseorang yang memberikannya sebuah ubi yang direbus. Benar-benar di rebus, si anak lelaki kemudian mengulurkan tangan mengambil ubi tersebut. Memandangi bentuknya, warna kulit si ubi yang keunguan dan juga asap yang terlihat ketika Ia sedikit membuka bungkusnya. Mata cokelatnya sedikit berkilat cerah, menatap kagum akan satu hal baru yang Ia temui. Akan berapa banyak hal baru yang Ia jumpai nantinya begitu tinggal di desa ini. Jantungnya berdegup tak sabar. Keylani masih memerhatikan gerak gerik anak lelaki didepannya yang hanya menatap ubi dalam diam. Ia pun tak kuasa menahan tanya , “Apa ini pertama kalinya kau melihat ubi rebus?” Nenek Arini yang mendengar pertanyaan Keylani, menjitak pelan kepala sang cucu. “Lani sayang, jangan bertanya seperti itu. Sudah, cepat pergi susul Paman Leo. Mungkin Ia kesulitan membawa gerobak baru kemari”, Sang nenek memerintahkan cucunya dengan lembut. “Nenek, aku hanya bertanya. Dia terlihat melamun menatap ubi rebus” gerutu Keylani dengan suara kecilnya. Sang nenek hanya menatapnya malas, dan akhirnya Keylani beranjak untuk melangkah pergi menghampiri sang paman yang entah menyasar kemana hingga tak kunjung tiba. “Tak apa, Nek. Ini memang pertama kalinya seseorang memberikanku ubi rebus yang masih berasap”, Si anak lelaki tadi kembali berucap setelah tersadar dari lamunan. Suaranya begitu indah, Keylani sempat berpikir si anak lelaki begitu dingin karena tak juga berbicara dan memiliki ekspresi datar di wajahnya. Tapi hanya karena ubi rebus, Keylani melihat binar mata anak lelaki ini berubah. Itulah mengapa Ia melontarkan tanya sebelumnya. “Siapa namamu, nak?, Bolehkah nenek tahu?” Sang nenek menatap mata cokelat anak muda di hadapannya. “Namaku Daviant, Daviant Wijaya. Usiaku menginjak lima belas pada tahun ini”, sahut si anak lelaki. Mendengarnya Keylani kembali tersenyum lebar, Ia dengan semangat mengulurkan tangan kanannya tak lupa dengan matanya yang membentuk bulan sabit. Daviant sedikit terkaget dengan uluran tangan gadis kecil di depannya, “Aku Keylani Anindita. Usiaku tiga belas tahun, mari kita berteman Davi” , Ucapnya ceria. Daviant dapat melihat semangat dan tekad dalam mata hitam jelaga milik Keylani. Tersenyum tipis, amat sangat tipis. Si gadis kecil bahkan telah akrab memanggilnya Davi. Ia ikut mengulurkan tangan kanannya juga menyambut tangan kecil Keylani yang halus dan terasa dingin. Menggumamkan sapaan ringan sekali lagi pada sang gadis kecil. “Halo, Keylani,” Besuara dalam hatinya Ia meneruskan kalimatnya “Teman pertamaku”. Keylani masih memandangi mobil Davi yang melaju menuju rumah kepala desa, sedikit tertawa karena pastinya mobil itu telah melewati perjalanan yang melelahkan melewati jalanan desa yang belum seluruhnya beraspal. “Kenapa kau masih melamun disini sayang, segeralah pergi menuju ke perkebunan”, ucap sang nenek yang melihat sang cucu begitu nyaman melamunkan kepergian teman barunya . Keylani memajukan bibirnya, merajuk karena Ia harus kembali berjalan menuju perkebunan. Namun, belum sempat lima langkah Ia ambil, Paman Leo telah terlihat kembali dengan sebuah gerobak yang Ia dorong. Menyelamatkan kaki Keylani yang Ia rasa ingin lepas karena harus berlarian sedari pagi. “Baru kali ini aku begitu bahagia memandang wajahmu, Paman”. Ia layangkan kembali sebuah godaan untuk adik dari ayahnya tersebut. “Apa maksudmu anak kecil, benahilah gigimu terlebih dahulu sebelum menggertakku.” Si Paman tak mau mengalah, berbalik melontarkan ejekan pada keponakan kesayangannya. Mendengar ejekan sang Paman akan gigi kesayangannya, mata Keylani berkaca-kaca, memanyunkan bibir kecilnya dan mulai menunjukkan tanda-tanda akan menangis. Pipi putihnya memerah entah karena dingin atau karena menahan tangis. Sang Paman yang melihat gelagat Keylani menjadi panik, Ia bergegas mengusap-usap kepala kecilnya, menggumamkan kalimat maaf dan memeluknya hangat. Bisa habis Ia diomeli Ibunya apabila membuat si cucu kesayangan keluarganya ini menangis. Keylani tersenyum bodoh dalam percobaan tangisnya, Ia tahu benar sang paman akan menyerah saat Ia melakukan ini. Sungguh gadis kecil nakal yang begitu pintar. “Ada apa ini, kenapa mendadak kalian berpelukan?, Apa Keylani habis terjatuh kembali?”, Sang nenek menghampiri putera bungsu dan cucunya. Melepas pelukan hangat sang Paman, Keylani berkata “Tidak Nek, aku hanya sedang mengerjai paman”, ucapnya tanpa dosa. Mendengar itu maka tak terelakkan kejar-kejaran terjadi antara Ia dengan si paman. Nenek Arini hanya dapat menggelengkan kepala, telah sangat terbiasa dengan tingkah kedua kesayangannya yang selalu bertengkar setiap saat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD